Semenjak matahari terbenam, bukannya semakin sepi, festival ini semakin ramai. Meski hanya ditemani oleh lentera-lentera yang gantungan dari ujung rumah satu hingga rumah yang lain, tetapi orang-orang tetap saja berkeliling ke sana kemari dengan dihiasi oleh gelak tawa.
Aku sendiri juga tidak berpikir untuk pulang sekarang, Pasalnya, aku semakin berjalan masuk festival bersama dengan putri malu yang ada di sampingku. Dia tampak menikmati festival yang sedang berlangsung, terbukti dari bagaimana matanya menatap sekeliling dengan lebar dan tidak akan berkedip.
Bukankah dia sangat lucu? Seperti anak kecil yang tidak pernah bermain keluar. Tentu saja ini membuatku tidak menyesal untuk mengajaknya. Ia bahkan menggandeng tanganku dengan erat. Ini yang namanya keberuntungan, kan?
Tarikan kecil yang kurasakan di ujung lengan membuatku menoleh padanya. Sayangnya, mata Putri Malu tidak tertuju padaku ia hanya memandang pusat kota yang ramai dengan alunan musik dari minstrels yang menyanyikan lagu rakyat.
Putri Malu menarikku untuk berlari mendekati mereka. Semakin jelas aku melihat pusat kota, semakin jelas pula pemandangan para rakyat yang menari bersama. Aku mengintip Putri Malu yang bertepuk tangan mengikuti irama musik.
"Mau menari juga? Kau pandai menari, kan?"
Ia menoleh padaku dengan pandangan berbinar tidak sabar. Sebenarnya aku tidak terlalu bisa menari tarian rakyat. Sebagai ksatria yang lahir dari keluarga bangsawan bertingkat Count, aku hanya belajar dansa untuk acara formal saja—meski sekarang juga jarang kugunakan karena hanya berdiri di samping Pangeran Mahkota untuk menjaganya selama pesta berlangsung.
"Apa benar boleh melakukannya?"
Aku mengangguk dan mendorong punggung mungil itu dengan perlahan. Ia melangkah kecil, lalu menoleh padaku untuk memastikan.
"Tunjukkan padaku tarianmu yang paling keren!"
"Tapi, Zelts! Aku tidak mau menari sendiri." Matanya masih ragu-ragu menatap keramaian. Mungkin ia memang belum terbiasa karena lingkungan hutan tempatnya tinggal tidak seberisik ini. "Kalau Zelts mau, ayo menari bersama!"
"Eh?" Aku menatapnya terkejut. "Tidak-tidak."
"Ayo!"
Ia menarik tanganku. Aku bisa saja menahan kakiku untuk tetap diam berdiri di tempat, lagi pula kekuatan tangan Putri Malu tidak ada apa-apanya. Namun, kakiku malah melangkah mengikutinya, bergerak menuju pancuran air yang menyala oleh sihir.
Ia menyentuh kedua tanganku, lalu berayun bersama. Gerakannya yang lambat lain berubah menjadi lebih cepat membuatku tanpa sadar mengikutinya. Entah bagus atau tidak, aku hanya berusaha mengekori setiap langkah Putri Malu yang ringan dan lincah.
Rambut hitamnya bergoyang, gaun putih yang ia kenakan berkibar setiap ia berputar, dan kulitnya yang lembut memantulkan cahaya temaram dari sihir dan lampu gantung. Pusat duniaku ada padanya, berputar mengelilingi dirinya. Rasa berdebar dan pusing seolah efek dari mabuk ini memenuhi kepala dan badanku, tetapi aku tidak pernah membenci hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just the Two of Us (END)
FantasyHanya berisi cerita pendek untuk ujian WGA 2021. Mengenai kisah cinta pada pandangan pertama antara kesatria pribadi Pangeran Mahkota dan seorang peri hutan. Genre: Fantasy, Romance, Historical Word count: ±3.500 Desember 2021