BAGIAN 4

101 8 0
                                    

Gunung Karacak berdiri kokoh seperti hendak menentang langit. Di bawahnya, membentang sebuah lembah yang makin lama makin menjorok ke bawah bila berjalan menuju timur. Di sebelah timur lembah yang cukup terpencil, terdapat sebuah gubuk sederhana terbuat dari kayu. Namun bagian dindingnya ditutupi kamar yang selalu basah. Agaknya lumpur itu didapat dari dasar telaga yang tepat berada di sebelahnya.
Gubuk itu memang tersamar oleh pepohonan yang banyak terdapat di sepanjang tepi telaga. Sehingga penduduk sekitar tak ada yang menyangka kalau di tempat itu berdiri sebuah gubuk. Seorang laki-laki setengah baya keluar dari gubuk itu. Bertelanjang dada, dengan celana pendek yang merupakan kain panjang dibalut sedemikian rupa untuk sekadar menutupi aurat bagian bawah. Kulitnya hitam. Hidungnya persis paruh betet dengan kelopak mata agak dalam. Sepasang matanya bersinar tajam ketika memandang sesuatu. Di kepalanya terdapat sorban putih. Siapa lagi kalau bukan Banghadur Gupta?
"Hihihi...! Hasil tadi malam lumayan juga. Harta ku telah banyak bertumpuk. Dan..., kurasa telah cukup untuk membangun sebuah istana megah. Kemudian aku akan menjadi rajanya. Maharaja Banghadur Gupta! Hihihi...!" oceh Penyihir Sakti dari Benggala.
Laki-laki dari India ini tertawa sendiri, lalu duduk di atas batu depan gubuk tadi. Tengah tertawa begitu, burung-burung yang berada di sekitar tempat itu mendekat. Demikian pula buaya-buaya yang ada di dalam telaga, keluar dan mendekat ke arahnya. Ular-ular berdatangan dari semak-semak. Bahkan segala hewan yang berada di sekitar tempat itu.
"Dengarkan baik-baik!" ujar Penyihir Sakti Dari Benggala pada hewan-hewan itu seperti merasa yakin kalau mereka mengerti ucapannya. "Bila kelak aku menjadi mahajara, maka kalian kuangkat menjadi bala tentara ku. Kita akan menjadi suatu kerajaan kuat. Lalu, satu persatu kerajaan di dunia ini akan kita taklukan. Dan akan menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak kurang ajar pada kerajaan kita. Aku ingin agar setiap orang yang mendengar nama Banghadur Gupta akan menggigil tubuhnya karena ketakutan!"
Seketika terdengar suara riuh hewan-hewan itu sebagai sahutannya. Tak jelas apa yang dikatakan binatang-binatang itu. Namun Banghadur Gupta agaknya mengetahui. Dia terkekeh senang sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Hehehe...! Jadi kalian setuju aku menjadi maharaja? Hihihi...! Bagus! Tapi..., tadi kudengar ada yang meragukan kerajaan kita, kenapa? Apa karena kita kurang kaya? Kurang kuat balatentaranya? Atau...."
"Hauummm...!" Mendadak seekor harimau loreng mengaum keras, sehingga kepalanya terdongak ke atas dan mulutnya terbuka lebar.
"Hahaha...! Sahabatku yang perkasa! Jadi, itulah alasanmu? Raja negeri ini lebih kaya dari kita? Dan dia juga memiliki bala tentara kuat? Itu mudah saja. Kalau begitu, mengapa tidak kita rebut kekayaannya? Kemudian kita patahkan kekuatan bala tentaranya?!" sahut Banghadur Gupta, lantang.
Harimau tadi kembali mengaum. Suaranya tetap menggelegar seperti tadi. Sementara kawanan serigala saling melolong bersahutan. Demikian pula kawanan banteng liar yang melenguh panjang dengan napas kasar. Yang lainnya pun memperlihatkan sikap sama. Kalau tidak, tak mungkin Banghadur Gupta terus mengekeh.
"Hahaha...! Kalian setuju? Bagus! Itu baru prajurit-prajurit setia. Barang siapa yang tak setia padaku akan kupenggal lehernya. Dia lebih baik mati!"
Hewan-hewan itu kembali mengeluarkan suara khas masing-masing, membuat Banghadur Gupta mengangguk-angguk puas.
"Kalau begitu, malam nanti juga akan kita adakan pesta besar-besaran di istana kerajaan negeri ini!" lanjut si Penyihir Sakti Dari Benggala. "Dan seperti yang kukatakan tadi, kita rampas kekayaan mereka. Lalu kita patahkan kekuatan bala tentara mereka!"
Hewan-hewan itu mengeluarkan suara lebih keras ketimbang tadi. Dan Banghadur Gupta kembali mengangguk-angguk. Tapi pada saat itu terlihat belasan ekor burung terbang dari arah selatan menuju ke tempatnya.
"Hei, ada apa di sana?!"
Pertanyaannya itu tak perlu dijawab, sebab Penyihir Sakti Dari Benggala segera mengetahui apa penyebab terbangnya burung-burung itu.
"Rajawali raksasa?! Kalian melihatnya?!" tanya Banghadur Gupta tampak kaget. Namun di satu isi terlihat seringai senyum kegembiraan. "Ini berita bagus untukku! Perlihatkan! Di mana rajawali raksasa itu berada!"
Dua ekor burung kecil terbang berputar sebentar di atas kepala. Dan bersamaan dengan melesatnya Banghadur Gupta dari tempat duduk, maka secepat itu pula dua ekor burung tadi melesat.
Mata Penyihir Sakti Dari Benggala jelalatan beredar ke sekeliling. Kemudian bibirnya tersenyum ketika memandang ke tempat yang ditunjukkan kedua burung. Semak-semaknya kelihatan menyingkir ke pinggir. Dan di sekitar itu pun debu-debu menepi membuat lingkaran besar yang samar dipandang mata.
"Ini dia!" seru Banghadur Gupta gembira ketika melihat setumpuk benda lembek berbau tak enak. Mirip tahi kerbau! "Dia membuang hajat di sini. Berarti terbang ke sana..., sana!" tunjuk Banghadur Gupta ke utara.
Dan mendadak, Banghadur Gupta bersuit nyaring. Dan tak lama seekor kuda jantan berbulu coklat berbelang putih muncul. Dengan sigap laki-laki berkulit hitam ini lompat ke punggung dan menggebahnya kencang-kencang.
"Ayo, lari sekuat-kuatnya! Kerahkan semua tenagamu. Kita harus cepat-cepat menyusulnya. Rajawali itu harus kumiliki!"
"Hieee...!" Seperti mengerti kata-kata Penyihir Sakti Dari Benggala. Sebentar saja, mereka telah melewati padang datar seluas ratusan tombak. Kuda itu terus berlari, dan belum juga memperlihatkan tanda-tanda letih. Bahkan larinya masih mantap seperti semula.
"Titik itu! Aku yakin pasti dia!" seru Banghadur Gupta dengan wajah berseri-seri. "Lekas pacu tenagamu lagi! Cepaaat!"
Namun, kuda coklat itu tak lagi punya persediaan tenaga. Larinya masih kencang seperti tadi, namun tak berubah. Bahkan ketika Banghadur Gupta memukul-mukul pantatnya, larinya semakin lambat. Pukulan itu bukan pukulan untuk memberi semangat. Karena geregetan dan kesal, Penyihir Sakti Dari Benggala memukul kuat-kuat hingga kuda itu kadang meringkik kesakitan. Dan sedikit pun Banghadur Gupta tidak menghiraukannya. Hatinya malah kesal dan marah melihat kudanya berlari semakin lambat.
"Celakalah kau! Apa ingin kepalamu kupenggal? Lekas lari yang kencang!"
Namun, kuda itu tetap berlari seperti tadi. Hewan itu bukan berarti tak mengerti apa yang diperintahkan majikannya. Juga bukan tidak takut oleh ancaman itu. Tapi tenaganya memang sudah terkuras habis. Malah saat ini pun tenaganya telah berusaha dikempos habis.
"Brengsek kau! Cepat! Lebih cepat lagi...!" teriak Banghadur Gupta sambil menepuk pantat kuda keras-keras.
Kuda coklat itu meringkik kesakitan. Namun Banghadur Gupta tak peduli. Mata dan hatinya hanya tertuju pada satu titik di langit luas. Titik hitam itu bergerak pelan, namun terlalu tinggi di angkasa.
"Suiiit...!"
Banghadur Gupta bersuit nyaring. Suitan itu tidak bisa dianggap sembarangan, karena mengandung getaran sihir. Bahkan mampu mengadakan hubungan batin antara dirinya dengan hewan yang diminati. Kalau saja ada seekor hewan yang mendengar suitan itu, niscaya akan berpaling dan mendekat padanya serta siap menerima perintah. Namun titik hitam di atas langit itu tak bergeming. Dan itu membuatnya geram.
"Kurang ajar! Kau coba melawanku, he?! Tak satu hewan pun yang tak bisa ku peroleh! Termasuk kau! Kau akan segera kumiliki!" desis Banghadur Gupta, geram.
Kembali Penyihir Sakti Dari Benggala bersuit Lebih nyaring dibanding sebelumnya. Beberapa ekor burung yang berada di sekitarnya mengalihkan terbangnya dan mengikutinya. Sementara itu titik hitam di angkasa yang dikejar sejak tadi, kelihatan merendahkan terbangnya secepat kilat. Sehingga, Banghadur Gupta bisa melihat jelas sepasang sayap terentang demikian besar.
"Astaga! Jadi cerita itu benar! Dan aku tidak bermimpi! Kutemukan rajawali raksasa yang benar-benar langka!" decak laki-laki ini penuh kekagum-kagum. Tapi hal itu membuatnya lengah. Karena dalam sekejap, rajawali raksasa itu kembali membubung jauh ke angkasa.
"Suiiittt...!"
Banghadur Gupta kembali bersuit. Saat itu juga rajawali tadi menukik. Gerakannya seperti menahan sedotan luar biasa yang datang dari bawah. Sayapnya dikepak-kepakkan untuk mengatur keseimbangan.
"Kurang ajar! Rupanya kau betul-betul bertenaga, ya? Rasakan yang ini!" dengus Banghadur Gupta.
Kembali Penyihir Sakti Dari Benggala bersuit. Kali ini disertai tenaga dalam sepenuhnya, sehingga memekakkan siapa pun yang mendengar.
"Suiitt...!"
Hasilnya terlihat nyata. Rajawali raksasa itu menukik tajam, tak tertahankan lagi.
"Hihihi...! Baru tahu rasa kau sekarang!"
"Hieeekh...!"
Namun Banghadur Gupta agaknya melupakan sesuatu. Akibat suitannya tadi, kudanya meringkik lirih dengan tubuh ambruk terkulai.
Bruk!
"Hup!"
Karuan saja laki-laki ini terkejut. Buru-buru dia melompat. Padahal saat itu kedua sayap rajawali raksasa itu telah menaungi mereka.
Wuusss...!
"Uhh...!"
Banghadur Gupta dalam keadaan tak siap. Sehingga tanpa ampun tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, lalu terjerembab bersama kuda tunggangannya yang sekarat ketika kedua sayap rajawali raksasa itu terkepak-kepak.
Waktu yang singkat telah cukup bagi rajawali raksasa itu untuk kembali melesat ke angkasa ketika pengaruh sihir Banghadur Gupta hilang dalam pikirannya. Sementara laki-laki berhidung mancung dengan kepala bersorban itu masih terengah-engah ketika bangkit berdiri. Bola matanya memandang kesal ke arah rajawali yang telah membubung semakin tinggi.
"Awas kau! Suatu saat nanti, kau akan kumiliki!" umpat Banghadur Gupta, geram.
"Hihihi...! Dasar serakah! Sebaiknya sesuatu yang bukan milik kita tak perlu dikejar-kejar. Hasilnya akan seperti tadi!"
Mendadak terdengar suara dari belakang. Nadanya jelas mengejek. Banghadur Gupta menoleh. Matanya memandang tajam pada seorang laki-laki tua berambut putih yang tengah berdiri seenaknya sambil bersandar di batang pohon. Kedua tangannya terlipat di dada. Di pinggangnya tersampir sebuah guci.
"Orang luar sebaiknya tidak usah ikut campur kalau tak ingin celaka!" dengus Banghadur Gupta dingin.
"Maaf kalau penilaianmu begitu, Sobat. Namaku Ki Demong. Siapa Kisanak ini? Dan datang dari mana?" ucap laki-laki tua yang ternyata Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Kau tak perlu tahu. Dan juga aku bukan sobatmu!" desis Banghadur Gupta masih ketus. Nadanya sama sekali tidak bersahabat. Apalagi ketika berbalik dan meninggalkan Ki Demong begitu saja.
"Hei, Sobat! Tunggu dulu...!" cegah Pemabuk Dari Gunung Kidul, seraya mengikuti.
"Aku bukan sobatmu! Apakah kau tak tahu malu?!" sahut Banghadur Gupta tanpa menoleh ataupun menghentikan langkahnya.
"Ya, ya..., aku tahu!" Kata Ki Demong. "Dalam perjalananku selama ini, sering kulihat orang-orang sepertimu. Berkulit hitam, memakai sorban dan bertelanjang dada. Serta..., maaf! Hanya memakai cawat!" Ketika mengucapkan kata yang terakhir, Ki Demong tertawa mengikik. "Mereka berdagang obat yang khusus untuk laki-laki! Harganya cukup mahal. Dan aku tak kuat membelinya. Karena kau tidak sedang berdagang, mungkin sudi memberikan padaku barang sebotol atau dua botol? Ayolah.... Itu tidak membuatmu rugi kan? Aku sangat memerlukannya!" lanjut Ki Demong.
Banghadur Gupta menghentikan langkah, lalu berbalik. Matanya memandang tajam, sampai-sampai Ki Demong bergidik ngeri. Namun dia berusaha menepis dengan tersenyum-senyum kecil.
"Dengar, Pemabuk! Aku bukan kawanmu! Dan akupun bukan penjual obat kuat. Jadi jangan ganggu aku lagi! Kalau tak menuruti, jangan menyesal kalau kau akan mendapat celaka!" dengus Penyihir Sakti Dari Benggala, geram.
"Mendapat celaka? Celaka apa?" tanya Ki Demong berpura-pura.
"Kupatahkan lehermu!" desis Banghadur Gupta mengancam. Dan setelah itu, tubuhnya berbalik dan meneruskan langkahnya.
"Aduh, galak betul!" seru Ki Demong. "Bagaimana dengan kudamu? Dia sekarat. Apa kau akan meninggalkannya begitu saja?!"
Banghadur Gupta tak menjawab. Ki Demong terkekeh-kekeh sendiri. Diambilnya guci dari pinggang dan diangsurkan ke bibirnya. Ditenggaknya tuak dalam guci. Matanya tak lepas memandangi orang asing itu dari kejauhan.
"Dasar orang aneh! Dikiranya di dunia ini hanya dirinya saja yang hitam dan berhidung mancung!" umpat Ki Demong kesal.
Beberapa saat setelah Banghadur Gupta lenyap dari pandangan, dari arah lain dua orang berjalan ringan dan agak cepat. Ki Demong tersenyum. Wajahnya berseri-seri ketika melihat salah seorang yang dikenalnya dengan baik.
"Sobatku, Rangga! Dari mana saja kau selama ini?" sapa Ki Demong.
Salah seorang yang tengah berjalan ringan itu menoleh. Dia tak lain adalah Rangga. Di sampingnya, seorang gadis cantik yang tak lain Malini.
"Apa kabar, Ki Demong? Mudah-mudahan kau selalu baik..." balas Rangga seraya menjura hormat.
"Wueeeh! Kau selalu menanyakan kabarku dan berharap aku selalu baik-baik. Padahal, tidak! Aku selalu kekurangan uang. Dan yang paling penting, aku tetap saja tak laku-laku di mata perempuan. Beda denganmu. Setiap kali bertemu, selalu menggandeng gadis cantik. Padahal kalau dipikir-pikir, kau ini kalah tampan dibandingkan aku!" cibir si Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan wajah sombong.
"Memang betul, Sobat. Kau ini kelewat tampan. Tapi sayang, tak ada yang tahu. Kenapa tidak kau katakan saja setiap kali bertemu? Katakan pada mereka bahwa kau laki-laki tertampan sejagat ini!" kata Rangga, sedikit berseloroh.
"Kau kira aku sinting, apa?!"
Rangga tersenyum-senyum ketika melihat sepasang mata Ki Demong membulat lebar.
"Ya, kadang-kadang aku memang berniat begitu. Tapi, perlu juga pendukung..." desah Ki Demong.
"Aku selalu mendukungmu! Kenapa, tidak?" sambar Pendekar Rajawali Sakti.
"Bukan kau yang ku maksud!" semprot Ki Demong.
"Lho, lalu apa?"
"Yaaah, seperti yang pernah kulihat di tukang obat yang suka berjualan di tengah keramaian. Obat pemikat perempuan!"
"Obat pemikat perempuan? Pelet?!"
Mata Rangga mendelik lebar. Malini tersenyum-senyum.
"Gila! Orang setampanmu tak perlu menggunakannya. Minyak pelet itu akan kalah pamornya ketimbang ketampananmu!" kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Minta pada orang asing? Memangnya dia punya minyak pelet?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Biasanya orang seperti mereka punya!"
"Bagaimana bisa seyakin itu?"
"Entahlah. Selama ini yang kulihat berjualan obat, yaaah, orang-orang seperti mereka! Dan yang membuatku lebih yakin, dia mampu memanggil burung-burung dan hewan-hewan. Mereka semua mendekati dan berkeliling di dekatnya. Dan..., yang satu ini kau pasti tak akan percaya!" jelas Ki Demong dengan wajah berbinar. Bibirnya tersungging senyum.
"Apa yang membuatku tak percaya?" tanya Rangga.
"Dia sedang mengakali burungmu!" Bola mata Ki Demong membulat lebar. Bibirnya masih menyungging senyum bangga.
"Burungku?" ulang Rangga.
"Jangan jorok kau, Rangga! Maksudku, burung rajawali raksasa tungganganmu yang edan itu?!"
Sungguh Rangga tak bermaksud jorok. Hanya Ki Demong saja yang terbiasa dengan hal-hal yang ngeres. Dan orang tua itu tersenyum dalam hati melihat wajah Rangga memerah bagai udang rebus, karena malu. Apalagi di sisinya ada Malini.
"Rajawali Putih sahabatkku...?!" desis Rangga, kaget.
"Nah! Kau tak percaya, kan? Aku tidak mabuk, Sobat. Kulihat setitik hitam di angkasa, lalu aku mengikuti. Titik hitam itu melesat turun, namun secepatnya kembali membubung ke angkasa. Aku terus mengikuti. Dan kulihat orang asing itu penasaran sekali. Dia bersuit dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam, sampai-sampai telingaku mau pecah rasanya. Namun tidak sia-sia. Karena ternyata titik hitam itu rajawali raksasa sahabatmu. Dia menukik tajam sambil mengibaskan kedua sayapnya. Sehingga orang asing itu jungkir balik dibuatnya. Lalu secepat kilat membubung kembali ke angkasa, menjadi setitik hitam lagi," jelas Ki Demong.

***

209. Pendekar Rajawali Sakti : Memburu RajawaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang