2. Tanpa tujuan

48 9 1
                                    

Hening mendominasi atmosfer perpustakaan sekolah siang ini. Lelaki dengan rambut gelap tengah fokus mengerjakan latihan soal yang diberikan oleh guru pembimbing olimpiadenya. Sesekali ia menggaruk kulit kepala yang terasa terbakar setelah membaca soal yang tak ia pahami. Dan ia tersenyum puas beberapa kali begitu berhasil mengerjakan soal tersebut.

Tiba-tiba saja sesuatu penuhi pandangannya yang tadinya menatap buku. Sesuatu itu juga buku, kok. Bedanya, buku yang tengah penuhi pandangannya ini bergambar pocong.

Sontak Chan memundurkan badannya karena terkejut. Ia menahan teriakan kaget mengingat peraturan perpustakaan yang melarang pengunjungnya membuat keributan. Tapi, pelaku yang membawa buku bergambar pocong tersebut malah tertawa terbahak-bahak sambil memposisikan diri untuk duduk di depannya.

"HAHAHA!" ia pegangi perutnya yang terasa kram karena tertawa. Minho orangnya.

"Sssst!" beberapa orang di sekeliling mereka meminta Minho untuk diam.

"Iya iya maaf." ucap si pelaku pada orang-orang tadi.

Chan berusaha tak peduli. Ia bangun tembok setebal mungkin agar Minho tak mengganggunya kali ini. Buku yang ia baca pun ia taruh di depan wajahnya. Membuat akses Minho untuk pandangi Chan sedikit terhalang. Pemuda ini berusaha kembalikan fokusnya yang sempat dibuyarkan.

"Belajar apa, sih? Lo ikut olimpiade, ya?" tanya Minho sambil diam-diam berusaha turunkan buku yang halangi mereka. Tapi sialnya, buku tersebut dipegang kuat oleh tangan Chan.

Minho dekatkan wajahnya ke buku tersebut, sedekat mungkin hingga ujung hidungnya bersentuhan dengan covernya. "Lo tahu, nggak? Gue abis basket tadi sama temen-temen sekelas. Kenal Changbin, 'kan, lo? Dia tadi pas mau shooting celananya dipelorotin sama Juyeon!" ia bercerita sambil setengah berbisik.

"Sempaknya polkadot, anjir!" ia kembali tertawa, kali ini dengan volume yang lebih kecil. Tapi Chan tak bereaksi sama sekali, dan hal itu buat Minho sedikit kesal.

"Lo ngerjain apa, sih? Kimia?" ia baca rentetan aksara di depannya. Kemudian ia ambil kertas yang ada di dekatnya dan tuliskan sesuatu di sana. Ia sobek kertas tersebut dan selipkan dari bawah buku yang batasi dirinya dengan Chan.

Senyum bangganya merekah, ia yakin Chan sudah membukanya.

H2 + O2 —> HOHO

Kalau begini, siapa yang tidak emosi?

Maka, Chan selehkan buku yang batasi mereka kemudian dekatkan wajahnya dengan wajah Minho. Ujung hidung mereka bahkan nyaris bersentuhan. Tatap tajamnya seolah tusuk mata Minho yang membulat terkejut. Bibir Minho juga mengatup rapat dan napasnya refleks ia tahan kuat-kuat.

"Mau apa lo sebenernya? Mau gue tidurin lagi?" bisik Chan.

Minho merasa bodoh sekarang. Ia sendiri tak tahu kenapa ia di sini. Begitu lihat Chan dari jendela perpustakaan, ia langsung saja berjalan masuk tanpa ada tujuan. Dan kini, Chan sudah menanyainya mengenai hal itu.

"E-enggak gitu, bego!" ucapnya asal, ia memundurkan wajahnya dengan harapan Chan akan melakukan hal serupa. Tapi, tidak. Chan justru mendekatkam wajah mereka lagi.

"Jawab gue."

Minho netralkan napasnya, kemudian beri tatapan yang tak kalah sengit. "Beliin gue makanan, baru gue keluar dari perpus."

Chan membuang napasnya kesal, kemudian ia kembali ke posisi semula. Hal itu buat napas lega keluar dari mulut Minho diam-diam.

"Lo masih punya kaki, 'kan?"

"Dibilang gue abis basket. Capek."

"Kita baru kenal kemarin."

"So?"

"Gue nggak mau jadi temen lo."

"Gue juga." jawab Minho tak mau kalah.

Chan mendengus lagi, "terus ngapain lo ganggu gue?"

"Ask your pouty lips then." Minho menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi lalu melipat tangannya di depan dada.

It's obvious, right? Minho likes him. And Chan is not a fool.

"Makanan apa?"

"Yes! sandwich dua, sama susu coklat dua, terus kalo ada snack kentang Frenchise gue mau dua." ia rogoh sakunya dan berikan selembar uang lima puluh ribu pada Chan.

"Tunggu di sini."

"Iya gue di sini, kok!" lihat senyum lebar yang tanpa sadar ia pamerkan ini. Dan juga wajah yang kembali datar setelah ia sadar akan tingkah bodohnya.

Chan membalik badan, berjalan ke pintu, dan menutupnya kembali setelah keluar dari perpustakaan. Senyum tipisnya datang tanpa diundang. Alasannya? Senyum Minho tadi, binar di matanya saat ia bilang akan belikan makanan untuk Minho, juga telinga merah saat wajahnya ia dekatkan ke wajah Minho.

Oh, sungguh. Chan mengiyakan apa yang Minho mau karena ia lelah diganggu. Tapi, sebenarnya ada alasan lain yang buat ia tak betah berada di dekat Minho.

Degup jantungnya.

Wajah datar andalan Chan dan kalimat kekesalan memang jadi benteng pertahanan terkuat yang Chan miliki. Tapi, di balik benteng tentu ada yang bersembunyi. Dan begitu Minho bilang, "Ask your pouty lips then." Chan tak sanggup pertahankan bentengnya. Maka dari itu ia lebih memilih untuk menjadi babu Minho kali ini daripada harus tersenyum bak orang dungu di depan pria itu.

Kenapa pesona Minho curi perhatiannya begitu mudah? Padahal, mereka baru bertemu kemarin. Nama Minho pun Chan tahu dari mulut ke mulut.

Ia mengguncangkan kepalanya begitu sadar akan apa yang baru saja terjadi di otaknya. Akalnya baru saja dipenuhi Minho.

-

Minho tak ada. Chan yang tengah meneteng sekantung kresek putih penuh makanan yang dipesan Minho pun tatap bangku yang tadi mereka duduki. Kosong. Buku-bukunya juga tak ada di mejanya.

"Dilarang makan di perpus." ucap si penjaga perpustakaan yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.

Chan menggeleng pelan, "Nggak, Pak. Saya nyari Minho."

"Nggak ada Minho di sini."

"Iya, Pak. Saya keluar." Chan si penakut yang taat aturan pun keluar dengan wajah bingung. Pandangannya ia edarkan ke sekelilingnya, dan akhirnya ia temukan Minho yang tengah tertidur di taman dengan kepala ia taruh di atas meja.

Chan menahan amarahnya. Sudah kali ke berapa Minho mengerjainya hari ini? Berapa kali Minho membuatnya kesal dan naik pitam?

Chan dudukkan dirinya di depan Minho. Niatnya ia mau banting kantong plastik yang ia genggam ini ke atas meja. Tapi, begitu lihat wajah damai Minho yang tengah tertidur, ia urungkan niatnya. Ia taruh plastik itu perlahan ke atas Meja kemudian ia terdiam.

Chan tak paham akan tingkah pemuda di depannya. Kemarin, ia tak sengaja mengganggu tidur Minho dan diminta pertanggungjawaban seolah dirinya baru saja ditipu oleh pinjaman online. Dan tadi, Minho tiba-tiba datang mengganggunya dengan tujuan memintanya untuk membelikan makanan. Padahal, jarak kelas Minho ke kantin lebih dekat dari pada ke perpustakaan.

Dan dengan pujian yang ia dengar dari mulut orang yang tengah dipikirkan, juga senyum dan telinga merah yang lebih muda tadi, Chan jadi tahu. Semuanya jelas. Minho menyukainya, bukan?

Terlalu larut dalam pikirannya hingga ia tak sadar bahwa jari-jarinya sedari tadi mengusak pelan rambut lembut Minho. Ia sisir dengan hati-hati seolah rambut Minho adalah barang yang mudah pecah. Halus, Chan menyukainya.

"Suka banget kayaknya sama rambut gue." tiba-tiba saja Minho bersuara. Chan lantas menarik tangannya dan menyembunyikannya ke bawah meja. Sementara Minho kini sudah tegapkan tubuhnya.

Wajahnya bengkak. Di pipinya juga terdapat cetakan khas krang tidur tidak nyaman. Tapi Minho malah tersenyum tipis dan raih tas plastik di dekatnya.

"Makasih." ia tersenyum setengah sadar.

Seseorang tolong terangkan kenapa senyuman tersebut buat jantung Chan bekerja lebih cepat, lagi dan lagi?

~TBC~

kepanjangan nggak ya? nggak kan? :]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our Blue Life Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang