Hot Chocolates, Winter

116 20 7
                                    

Dingin.

Ah iya, ia lupa bahwa sekarang sedang musim dingin. Musim natal.

Mantel merah miliknya yang sudah tak layak ia gunakan disimpan di dalam tas abu-abu.

Kampret, ingin saja ia membacok adiknya sekarang.

"Ho--"

"Hoi--"

"Hoi!"

Ia menoleh. Ah, hanya seorang gadis. Gadis yang meneriakinya tadi menatapnya dengan sayu.

"Masuklah ke rumahku."

"Huh?"

Ia hanya menjawab, "Namaku Guinevere. Salam kenal."

Perkataan yang ingin Aamon ucapkan seolah menyangkut di tenggerokan.

***

"Minumlah. Aku tau kau kedinginan."

Aamon menggeleng. "Apa ini? Kau sedang meracuniku?"

Ah, kelihatan di sana ada secangkir cokelat panas, hanya saja, warnanya sedikit lebih gelap berbanding cokelat panas biasanya.

"Jangan menghinaku! Coba dahulu baru kau bisa berkomentar."

Aamon meneguk secangkir cokelat panas itu dengan was-was. Ia risau kalau saja gadis di hadapannya itu seorang pembunuh bayaran. Hei lagipula, tidak ada salahnya berjaga-jaga bukan?

"Emm, enak."

Guinevere berdecak. "Hanya enak?"

"Sedikit lezat."

Alisnya dinaikkan. "Sedikit lezat? Maksudmu apa, huh?"

"Benar-benar enak."

Gadis itu tersenyum. "Nah, itu baru benar!"

***

"Hoi! Apa tidak ada pakaian buat pria sepertiku?"

Guinevere menggeleng. "Aku tinggal sendiri. Jarang sekali kakakku menginap disini."

"Aku harus memakai gaun, katamu?" Aamon menahan amarahnya. Oh, ia seorang laki-laki tulen! Mengapa harus memakai pakaian wanita.

"Dan kau ingin terus kedinginan dengan memakai baju basahmu itu?" Guinevere menyoal, lantang.

Tidak punya pilihan lain, Aamon terpaksa menurut dengan memakai gaun berwarna ungu dengan sedikit bunga-bunga di samping.

***

"Mau berbagi ranjang? Aku tak punya alas untuk kau tidur."

"Kau gila? Aku seorang pri--"

"Okay, kalau begitu, kau tidur sahaja dilantai. Toh, bukan masalahku."

Dia seorang putra raja. Tentu saja tidur dilantai sama seperti sedang menginjak-injak harga diri.

"Ayo berbagi ranjang."

***

"Aku sudah menginap di sini semalaman, aku pamit."

Gadis itu tak menatapnya. "Iya? Oh, syukurlah, beban sudah tidak ada."

"Terima kasih atas kebaikanmu."

Pintu utama ditutup perlahan. Air mata yang Guinevere simpan, mulai jatuh bercucuran.

"Kau sudah melupakan aku ya, Aamon?"

***

"Gusion sialan! Wajahku!" Kedengaran suara budak perempuan berusia lima tahun itu sedang memarahi temannya.

"Guinevere jelek! Lesley lebih cantik!"

Budak yang bernama Guinevere itu tampaknya seperti sedang menahan tangis. "Tapi kau tidak perlu melakukan itu ke wajahku, kan?"

Tanah mengotori wajahnya.

"Itu salahmu! Ibuku suka sekali denganmu! Aku ini seorang putra! Biarkan aku yang memilih wanita yang ingin kunikahi!"

Ah, bocah.

Guinevere yang sudah menangis mulai berteriak. Lalu ia ditenangkan oleh laki-laki yang tampaknya berusia delapan tahun.

"Hei, jangan pedulikan adikku. Ayo main? Salam kenal, namaku Aamon."

***

Tujuh tahun selepas Aamon mengunjungi rumah atau lebih tepatnya gubuk tuanya, Guinevere tidak berharap lagi. Toh, tidak ada keajaiban yang membuatkan laki-laki itu muncul secara tiba-tiba. Ia tahu, Aamon sibuk. Pasti.

Guinevere yang kini berusia 25 tahun memilih untuk bekerja sebagai penulis buku. Tepatnya buku horror. Ia meminati hal-hal mistis seperti itu.

Sepertiga malam, seharusnya semua sudah tidur, ia malah mendengar ketukan di pintu rumahnya.

Sialan, Guinevere menggigit bibirnya sembari tangan mengambil sapu yang ia letak di sebelah pintu kamar. Mantap, sekarang ia ketakutan.

"Siapa ya?"

Tidak ada suara di balik pintu rumahnya itu.

Lama sekali, Guinevere baru saja beraba-aba untuk berlari masuk ke kamarnya.

"Cepat bukakan pintunya, aku kedinginan."

Huh?

"Sekali bikinkan aku secangkir cokelat panas."

Aamon?

Kukira kamu sudah melupakanku?

Mengapa kamu baru datang sekarang? Aku kesepian.

Pintu rumahnya itu ia bukakan lebar. Matanya melalak, menatap wajah laki-laki yang berdiri di hadapan.

"Sudah puas menatapku? Apa aku terlalu tampan?"

Dan memeluknya, kuat. Bagai tak ingin melepaskan.

"Aku merindukanmu."

"Aku juga."

"Kemana saja kau tujuh tahun ini?"

"Mencari adikku, Gusion. Nakal sekali dia."

Guinevere tertawa. Aamon menatapnya serius.

"Aku punya permintaan natal."

"Apa itu?"

"Untuk terus hidup bersamamu. Terus bersamamu, selamanya."

end.

sungguh tidak romantis tapi yaudahlah.

Hot Chocolates, Winter. [GuinAamon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang