Happy reading ✩
°°°
Jalanan di luar rumah tampak lumayan sepi. Wajar sih, panas-panas begini siapa juga yang mau ke luar rumah? Ya, aku pun sama, ini hanya terpaksa. Beruntung, jarak dari rumah ke warung makan tidak terlalu jauh. Berjalan kaki di siang bolong dengan perut keroncongan juga masih sanggup kulakukan.
Akhirnya tidak sampai 10 menit aku sampai di Warung Nasi Kuningan. Lebih baik aku makan di sini saja. Toh, nasi di rumah juga habis. Aku saja tak tahu bagaimana caranya memasak nasi.
"Bu, pesan 1 porsi nasi, sayur asam, dan tempenya 3, ya. Makan di sini." Aku tersenyum sopan kepada ibu penjual di sana-kebiasaanku kepada orang-orang yang kutemui.
"Oh iya, Jang. Sakedap, nya (Sebentar, ya)." Aku mengangguk, ibu itu mengambilkan menu yang kupilih dari etalase dan diletakkan di piring, lalu memberinya kepadaku.
Aku pergi ke bangku panjang seraya membawa sepiring nasi dengan sayur dan tempe di atasnya—menu makanan favoritku sejak kecil—, lengkap berserta air putih.
Sembari makan, aku membuka handphone untuk memeriksa pesan masuk. Tiba-tiba sosok Bunda terlintas di pikiranku. Kuketikkan nama 'Bunda' di pencarian telepon, kemudian kutekan. Berdering. Tidak diangkat. Aku menghela napas sedikit cemas.
Ting!
Suara pesan masuk. Ah, kupikir dari Bunda, ternyata bukan.
Rio R.
Ping!Dahiku mengernyit. Kenapa pula dengan bocah satu ini? Jelas sekali ia hanya iseng.
Anda
Ada apa?Rio R.
'Gak.Anda
Ya. OK.Aku mematikan layar handphone. Mencoba makan dengan menikmati pemandangan luar dari dalam sini. Namun, hanya tampak jalan raya yang gersang. Tidak enak dipandang. Aku membuang muka, menatap sisa makanan di piring. Berharap bisa pulang ke kampung saat liburan semester nanti. Yah, semoga saja terwujud, aku sudah amat rindu dengan udara sejuk di siang hari.
"Eh, Hafiz?" Terdengar suara familiar yang menyebut namaku. Aku menoleh. "Hai, Fiz! Makan di sini?" Rupanya Riana, teman seangkatan dari kelas 2-3, kami lumayan akrab karena sama-sama anggota OSIS. Anaknya super aktif dan mudah akrab. Ia kemari bersama temannya.
Aku tersenyum, kemudian menjawab, "Hai .... Iya, Ann, di rumah lagi kosong." Mataku lalu tertuju pada anak di sebelahnya, ia hanya tersenyum simpul memandangku.
Ah, menyebalkan sekali, pikiranku kembali bercampur aduk sekarang.
"Kalian ... ke sini beli sayur matang?" Aku berusaha mengalihkan pikiran.
"Iya, Mama yang suruh aku, hehe. Kebetulan kita lagi main, jadi aku minta antar, deh." Riana nyengir, ia menghampiri ibu yang melayaniku tadi, membeli sesuai permintaan mamanya.
Di sisi lain, aku dan anak yang menunggu Riana hanya terdiam. Aku melanjutkan aktivitas makanku yang tertunda. Tak ada topik yang bisa kukembangkan menjadi obrolan. Padahal aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aneh.
"Ah, kamu itu Hafiz dari kelas 2-1?" Anak itu menghilangkan kekikukkan di antara kami.
"Oh, iya, memang kenapa?"
"Ohh, yang populer di kalangan anak perempuan," gumamnya.
'Apa maksudnya di kalangan anak perempuan?' batinku. "Entahlah. Mungkin, iya. Kamu tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Competition
Teen FictionNamanya juga masa-masa sekolah, bersaing itu sesuatu yang lazim. • • • Start: 1 Sept 2021 Finish: -- 🔥DILARANG KERAS PLAGIAT🔥