O1

2K 224 18
                                    

정적

"Bisa bicara sebentar?"

Remaja yang tadinya hendak pergi meninggalkan kursi dimana ia menyantap sarapan berdua dengan lawan bicaranya, kembali duduk. Tanpa merubah raut wajahnya, ia menunggu pria dewasa di sebrangnya bicara.

Hening, cukup lama. Remaja yang bahkan dengan wajah datarnya masih terdapat kesan manis itu mulai merasa bosan. Bahkan untuknya, satu detik itu berharga. 

Satu detik, dapat mengganti waktu tidurnya yang belakangan berantakan. Ini merupakan pekan ujian, dimana Renjun banyak menyiksa dirinya sendiri dengan belajar habis-habisan.

Cukup sudah telinganya panas mendengar banyak ejekan tertuju padanya. Bukan tanpa alasan, Renjun berpikir ia pantas mendapatkan semua itu karena selama bersekolah setahun ini tak pernah kedapatan mengeluarkan suara. Teman-temannya memperlakukannya berbeda lantaran tak bisa bicara. 

Memang, mereka tak menunjukkan dengan jelas. Namun Renjun bisa merasakannya. Tak jarang pula yang terang-terangan membicarakan dan membuat Renjun tak nyaman, seperti mengajak Renjun bicara duluan. Menanyakan sesuatu, namun pergi di tengah Renjun menuliskan jawabannya di kertas atau iPad-nya. 

Jadi, setidaknya Renjun punya sesuatu untuk dibanggakan. Lebih tepatnya, Renjun berusaha menyumpal mulut sampah orang-orang di sekitarnya dengan berbagai prestasi yang ia dapatkan.

Sama halnya dengan bintang, Renjun bersinar di gelapnya kehidupan miliknya. Kesunyian, identik dengan malam. Begitupun eksistensi Renjun dalam kehidupannya.

Tanpa adanya Doyoung, Renjun bukan apa-apa. Doyoung memberikan kehidupan untuk Renjun yang telah banyak ditinggalkan. Bahkan dengan kedua orang tuanya, tuhan mengambil mereka dengan kejadian yang sungguh tak terduga. Hanya Renjun sebenarnya yang tak menduga.

Pria yang merupakan adik dari ibunya sekaligus lawan bicara Renjun kini, mengelap mulutnya, tanda makannya selesai.

"Boleh mengundang kekasihku untuk makan malam dengan kita?" Doyoung bertanya dengan senyuman harap yang jarang Renjun lihat, pria itu tak pernah menuntutnya untuk melakukan sesuatu. Selalu mendahulukan kebahagiaan Renjun meski anak itu telah lupa rasanya bahagia.

Jika sedang malas menulis atau mengetik, Renjun hanya akan menjawab dengan mengangguk, menggelengkan kepala, atau mengedikkan bahu tanda Doyoung harus memikirkan ulang omongannya.

Doyoung bilang, pria itu enggan belajar bahasa isyarat. Renjun tidak perduli, salahkan dirinya sendiri yang membuat mereka sulit berkomunikasi.

Kali ini, Renjun mengedikkan bahunya asal. Entah, bukannya ia tak suka Doyoung membawa kekasih ke tempat tinggal mereka. Hanya, Renjun tak merasa pantas menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh datang kemari.

"Janji, Taeil tak akan mengganggu."

Renjun mengambil kertas kecil yang senantiasa ia bawa di kantung celananya bersama pulpen. Di sana Renjun menuliskan, terserah. Yang langsung membuat wajah Doyoung sumringah.

"Terima kasih! Ayo berangkat."

Mereka berdua bangkit, berangkat bersama seperti biasanya. Dengan Doyoung lebih dulu menghantarkan Renjun ke sekolahnya.

Di sekolah, Renjun sadar ia bukan sesuatu yang penting untuk diingat keberadaannya. Jadi cenderung membatasi geraknya. Awalnya Renjun bersemangat ingin mengikuti kegiatan seni, tapi pamannya itu melarang dengan mengembel-embeli Renjun banyak hal. Termasuk akan membawakan guru seni langsung ke rumah mereka.

Mulanya Renjun berpikir Doyoung hanya membual, nyatanya kini setiap akhir pekan akan ada guru seni yang datang ke rumah mereka. Seorang wanita yang banyak menceritakan pengalaman hidupnya pada Renjun. 

QUIETUDE | JAERENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang