Selamat membaca, Kadal-Squad!
.
.
.
.
.
Lima belas menit sudah seorang gadis duduk di tepian gerbang kampusnya. Dia tidak sendirian sebetulnya, sebab seorang wanita paruh baya yang menemaninya sejak dia berada di situ telah lumayan banyak bercerita. Tiap ada orang lain yang lewat entah masuk atau keluar gerbang, gadis itu terpaksa mengubah raut mukanya jadi biasa saja, seolah ia tidak sedang bicara dengan siapa-siapa.
"Permisi, Bu, tapi udah waktunya pacar saya pulang."
Sebuah suara mengagetkan Salfa dan membuatnya menoleh. Sebuah kotak kecil berwarna hijau tosca terpampang tepat di depan wajahnya yang letih sore itu. "Genta? Kapan datangnya, tiba-tiba muncul dari belakang," balas Salfa heran sembari melirik pada ibu-ibu yang menepi sejak sapaan Genta tadi, kemudian perlahan pergi meninggalkan sepasang anak manusia di situ. Salfa merasa tak enak, karena cerita ibu tadi sangat menyedihkan, yaitu tentang bagaimana beliau meninggal tepat setelah melihat anak semata wayangnya meninggal dalam kecelakaan yang sama. Tapi ya mau bagaimana, sekarang perhatiannya sudah beralih pada kotak yang diberikan Genta. Ia membukanya. "Gelang? Cantiknya ... buat aku, kan?"
"Ya masa buat ibu-ibu tadi, Sal?" balas Genta, yang sedetik setelahnya menyadari raut Salfa. "Kenapa kamu? Ibu tadi cerita apa aja?" tanyanya kemudian. Selama setahun menjalin hubungan dengan status yang jelas sebagai 'pacar', juga sebagai partner yang sama-sama menjalani kehidupan 'aneh' di mana selalu berinteraksi dengan mereka yang tidak terlihat, Genta sudah sangat hafal bagaimana gerak-gerik Salfa ketika menyembunyikan sesuatu.
"Biasa, cerita sedih selalu mengundang empati, kan?" jawab Salfa enteng kemudian memasang gelang pemberian Genta di tangannya. Secara tak sengaja, ia mendapati gelang yang sama sudah terpasang di tangan Genta. Sama-sama berwarna hitam, namun inisial di gelang masing-masing berbeda. G di gelang milik Salfa, dan S di gelang milik Genta. Selain itu, ada tambahan charm matahari di gelang Salfa, sedangkan di gelang Genta terdapat charm bintang. "Bisa-bisanya."
"Suka?" tanya Genta sambil tersenyum tipis.
"Apapun pemberian yang kamu kasih, Ta, aku akan suka. Selalu."
"Kalau aku kasih sakit hati, kamu juga suka gitu?"
Spontan Salfa menyikut perut Genta hingga pemuda itu mengaduh. "Aku udah pernah ya, sakit hati karena kamu. Kalau masih kamu kasih lagi, kita nggak akan sama-sama lagi," ujarnya kemudian menghampiri motor Genta yang terparkir, meraih helm-nya. Menganggap permbicaraan tersebut hanya serupa angin lewat. "Cari makan dulu ya, Ta?"
"Siap, Sayang."
Genta menanggapi permintaan Salfa, namun pikirannya masih tercuri pada raut gadis itu yang tidak bisa bohong bahwa ada yang sedang sangat mengganggunya. Bahkan setelah ia memanggil gadis itu dengan kata 'Sayang', tak ada respon yang biasa Salfa berikan berupa sipu malu yang khas, karena memang antara mereka, panggilan tersebut masih kaku. Jangan lupakan, dasarnya sejak awal mereka berteman dekat di SMA, dan persahabatan yang sempat hancur karena cinta di antaranya itu tidak bisa dilupakan begitu saja. Bahkan setelah berpacaran, mereka lebih cocok dikategorikan pasangan humoris ketimbang romantis karena lebih banyak meributkan hal tidak penting akibat persahabatan yang lekat itu. Ya, bagaimana pun sepasang sahabat bisa disamakan dengan orang tidak waras, kan? Mereka menggila bersama, saling ejek dan mencerca namun tetap berjalan beriringan. Jadi bagaimana bisa mereka beromantis ria? Genta yakin sesuatu yang mengusik perasaan Salfa bukan hanya sesepele mendengarkan cerita hantu ibu-ibu tadi. Ada sesuatu yang lebih serius dari itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
AWAKENED 2 [Be Delayed]
HorrorSatu tahun pasca kejadian teror mengerikan yang dialaminya, Salfa mendapati kemampuan indera keenamnya naik ke level yang lebih tinggi, di mana menyita hampir seluruh kewarasannya. Di saat yang sama, hubungannya dengan Genta yang ditentang membuatny...