Prolog√

16 4 2
                                    

Waktu bergulir semakin cepat. Malam dingin berteman dengan secangkir kopi manis. Yang jika diminum, menciptakan sensasi kenikmatan. Angin malam menembus manja di jendela yang sedikit dibuka. Membuat bulu kudukku berdiri remang-remang. Dan hati yang berdesir tiba-tiba.

Membuka lembaran demi lembaran buku yang di hadapanku. Mengingatkanku tentang masa kecil kami yang indah tanpa beban. Terpampang foto agak kusam dimakan waktu, foto kami berlima. Muka-muka polos yang sedang tertawa bermain.

Tatapanku teralih pada sosok temanku yang badannya lebih tinggi dari teman-temanku yang lain. Dia punya tatapan dingin dan seakan tidak peduli semenjak peristiwa adiknya meninggal. Tapi dia masih senang jika diajak bermain.

Dia bahkan lebih suka denganku berdua ketika teman-teman yang lain sedang asyik main di sungai. Aku, satu-satunya yang paling cantik dari mereka berempat. Ya, karena aku perempuan sendiri. Hehe.

Teringat percakapan kami yang selalu terulang bagaikan kaset.

"Esok, kamu tampan sekali jika selalu senyum dan tertawa," ungkap jujur gadis kecil itu.

"Apasih, Sya. Kamu berani menggoda ya," tanya Esok yang langsung menerbitkan senyum.

"Aku beneran, Esok," bela Syafriz.

"Masak?" Jawabnya membuatku kesal dan ingin mencubit lengannya. Esok menghindar dan berlari. Kami berlari dan tertawa. Setelah cukup lelah, kami duduk kembali. Esok memegang dadanya tanda kesakitan. Tapi dirinya berusaha terlihat baik-baik saja di hadapanku.

"Esok, kamu janji nggak akan ninggalin kami ya," ucapku tiba-tiba sambil mengulurkan jari-jari kelingking.

"Iya, Syafriz yang paling cantik. Esok janji." Esok menautkan jari kelingkingnya di jariku. Kami saling tersenyum.

"Hoy, kalian. Yok main ke sini sama-sama!" Kami mengangguk dan berlari senang menuju sungai yang jernih penuh ikan kecil.

Beberapa hari kemudian, kabar tak terduga pun datang. Esok dilarikan ke rumah sakit besar, jantungnya lemah. Kami tak pernah tahu apa pun tentang penyakit Esok. Kami menangis melihat Esok di sana sedang berjuang dengan bantuan selang-selang dan benda yang ditempelkan di tubuh Esok.

Ibu Esok memarahi kami dan ayahnya menahan istrinya itu melakukan kekerasan. Dan.

"Tiiiiiiiiit!" Suara itu.

"Dokter dokter!"

Dokter dan para suster melakukan yang terbaik tapi jika Tuhan sudah berkehendak demikian, itu sudah takdir. Mau dibagaimanakan? Kami menangis dan satu per satu memeluk Esok yang sudah dingin dan pucat. Esok melanggar janji yang sudah terikat pada kami.

"Esok, bangunlah. Nanti kita main bareng-bareng lagi ya."

"Kalian apakan anakku? Hah?!!!!" Ibu Esok benar-benar menangis terpukul.

"Udah bu. Nak, tolong kalian pulang dulu ya. Sudah berjam-jam kalian di sini. Nanti dicari bapak ibu kalian. Makasih sudah menemani Esok selama ini. Maaf ya bapak tidak bisa mengantarkan kalian," kata ayah Esok menyuruh kami pulang.

Erik, Rahmat, Doni, dan aku berjalan lesu keluar dari rumah sakit mencari ojek untuk pulang. Kami benar-benar jatuh.

Setelah itu, pertemanan kami masih bertahan sampai kelas 6 SD. Namun, setelah tragedi yang membuatku pasrah dan sakit. Mengapa pertemanan kami tidak bisa bertahan sampai selama-lamanya?

Tangisku pecah, air mataku jatuh pada buku di hadapanku. Masa-masa diriku mulai berbeda pun bermula. Kini aku dihadapkan oleh realita kehidupan. Apakah aku masih bisa bertahan?

The Girl Basketball Captain (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang