"Bergaul boleh. Tapi tahu batasannya."
Dari detik ke detik, menit ke menit, dan berubah ke jam yang mengerikan. Ruangan luas yang terisi campuran anak kelas X IPA 2 dan XII IPA 1 terlihat penghuninya bersitegang keras. Keringat dingin jadi teman di kala otak mulai panas. Hari ini, hari ke-5 PAS di SMA Mardika Raya.
Syafriz yang duduk bersebelahan dengan kakel perempuan bernapas lega. Setidaknya dirinya tidak duduk bersebelahan dengan laki-laki. Karena ia takut dengan hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Misalnya saja, tidak sengaja bersentuhan tangan. Itu akan membuat Syafriz merasa kurang menjaga diri sebagai perempuan muslim.
Teet, teet.
"Baik anak-anak, kurang 5 menit lagi untuk mengerjakan ujian," ucap tegas Bu Nia. Terdengar bunyi helaan napas pelan dari sebagian besar murid.
"Oke ini bener, bener, yang ini satuannya belum aku tulis. Nah Newton," kata isi otak Syafriz yang bekerja keras sesuai tugasnya masing-masing.
Teeeett...
Bunyi bel berbunyi, pertanda lembar jawaban harus dikumpulkan. Sejenak Syafriz melihat keadaan sekitar. Ada yang masih duduk sibuk menghitung, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal akibat pusing, ada pula yang menghitung kancing bajunya.
Tingkah laku mereka membuat Syafriz tertawa kecil sambil berjalan mengumpulkan lembar jawaban ke meja depan.
"Alhamdulilaah, Engkau telah memudahkan urusan hamba yang satu ini, ya Allah, " ucap lirih Syafriz.
"Hai, Ka. Lumayan gampang kan soal-soal fisikanya?" Tanya Syafriz dari bangkunya tepat di depan Rika. Rika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Emang nomor berapa sih yang susah?" Tanya Syafriz memegang tangan Rika yang terjulur ke depan.
"Yang uraian nomor dua, seharusnya jawabanku 0,11x 10^-7. Tapi gara-gara aku salah rumusnya jadi keliru, Sya."
"Tenang, Ka. Selama kamu udah berusaha berikan yang terbaik. Pasti deh, dapat hasil yang terbaik pula," hibur Syafriz.
Tidak sengaja, Syafriz melihat anak kelas XII IPA 1 yang duduk di bangku paling belakang tersenyum cengir kepadanya.
Syafriz membalas dengan tersenyum simpul lalu membalikkan badan ke depan. Ia buru-buru membereskan peralatan ujian.
Tanpa Syafriz sadari, pemilik sepasang mata cantik menatap bengis ke arah Syafriz dari jendela luar kelas. Bersama teman-temannya yang lain, ia menyebar kebencian.
Gawai canggih yang awalnya untuk memotret sosok anak kelas XII IPA 1 tersebut, kini ia remas pertanda kesal hanya sebab sosok Ednan tersenyum kepada Syafriz.
Syafriz keluar dari kelas yang ramai menggendong tasnya. Berhubung ini ujian mapel yang kedua berakhir mendekati waktu dhuhur. Ia ingin pergi ke masjid.
"Aaa, Syafriz. Aku kangen deh," ucap Onita tiba-tiba di depan kelas memeluk Syafriz manja tapi rambutnya malah diacak oleh sahabat-sahabat Syafriz yang lain
"Lo kenapa sih, Onita. Cuman pisah kelas buat PAS semester ini aja kangennnya udah kebangetan. Ups, gue juga kangen deh," kata Sasa yang langsung menghambur memeluk Syafriz.
"Iii, sumpah lo nyebelin banget, Sa," sahut si Onita dan Tintin.
Syafriz tertawa senang melihat mereka berhamburan memeluk Syafriz. Setelah acara peluk-pelukkan sudah selesai. Mereka berjalan menuju masjid. Sasa terlebih dahulu angkat bicara.
"Sya, tahu nggak lo diisukan bakalan jadi kapten basket perempuan semester depan."
"Kok bisa?"
"Ya bisalah, secara lo mainnya udah jago banget. Terus waktu pertandingan pertama kemarin, kamu yang nge-shoot bola ke ring paling banyak. Bahkan Kak Sika yang statusnya kapten, udah percaya banget waktu di tengah pertandingan nganggukin kepala ke lo kan? Karena kalo gue perhatiin di tengah pertandingan, teman-teman lo udah frustasi karena kecolongan poin terus sama lawan," balas Onita panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl Basketball Captain (On Going)
Teen FictionGadis berbulu mata lentik. Sosoknya mungkin dikagumi seluruh penjuru sekolah. Ada juga yang merasa sakit mata melihatnya. Kisah hidupnya dilalui antara tangis dan tawa. Hadirnya sosok masa lalu mungkin mampu membuatnya bangkit kembali. Setelah bany...