Dear, Diriku yang Ada di Masa Kecil

48 2 0
                                    

Pemalang, 2 Januari 2022

Dear diriku,

Hari ini sabtu tanggal 27 bulan April tahun 2002, kamu lahir. Tangisanmu menggema di seluruh penjuru ruangan, ada sepasang insan tersenyum lembut menyambutmu. Salah satu dari mereka merengkuhmu melantunkan azan di telinga kanan dan iqomah di telinga kirimu. Kamu lahir di kota Klaten, jaraknya sangat jauh jika dibandingkan dengan tempat aku tinggal di masa ini. Seluruh penjuru rumah bahagia. Kakek dan nenekmu pun begitu sanak saudaramu.

Hari ini kamu putuskan untuk lahir ke bumi. Bumi yang kamu saja tidak tahu apa isinya dan bagaimana cara bertahan sampai hari aku menuliskan surat ini. Tapi sungguh, kamu disayangi, meskipun bukan mereka, meskipun hanya aku, kamu tetap disayangi. Hingga akhirnya kamu yang belum genap satu tahun harus dibawa ke Bogor, karena ayahmu salah satu buruh pabrik di sana.

Hari-harimu di sana terlihat seperti biasa, minum susu setiap pagi, bermain dengan ibumu pun juga ayahmu, atau tetangga disamping kontrakan yang ternyata saudaramu. Ya, kamu tinggal di kontrakan kecil sederhana, hanya ada kamar dan dapur, lalu kamar mandi ada di luar dan digunakan bersama penghuni yang lain. Meskipun begitu, kamu bahagia. Apa lagi saat kamu ulang tahun yang ke tiga. Kue vanilla, balon-balon berterbaran di depan rumah kontrak ayah ibumu. Kamu meniup lilin dengan satu hembusan kuat hingga air liurmu keluar bersamaan dengannya. Sungguh lucu dan menyenangkan saat semua temanmu menyanyikanmu lagu selamat ulang tahun.

Aku tidak perlu menceritakan ini seharusnya karena kamu pasti mengalaminya. Entah kamu tidak tahu ada perselisihan apa antara ibumu dan ibu saudaramu yang mengontrak rumah di sebelahmu. Kamu selalu mendengar kata "Kampret" meluncur dari mulutnya dan setiap kali kamu tanyakan apa artinya itu kepada ibumu, ibumu tidak menjawabnya. Aku di masa ini pun masih tidak tahu ada apa diantara mereka. Tapi asal kamu tahu, ibu saudaramu itu sama asalnya dengan ibumu. Di kota Klaten. Lalu ayah dari saudaramu itu adalah kerabat ayahmu dimana mereka sama-sama dari Pemalang. Oh aku harus memberitahumu satu hal, nama saudaramu itu Yesi.

Kamu seharusnya tidak akan lupa saat-saat dimana kamu dan ayah ibumu pergi ke Cibubur. Kamu bahkan berfoto di sana, menggunakan topi menaiki ayunan dengan kedua tangan berpegangan pada talinya. Jujur saja saat ini kenangan bagian yang itu adalah kenangan bahagia favoritku, semoga kamu juga ya. Oh jangan lupakan saat kamu melewati bulan Ramadhan di sana. Menanti-nanti azan maghrib di depan tv, kemudian tarawih 23 rakaat. Tentu saja dipertengahan tarawih kamu selalu duduk atau tidur di sajadah dengan alasan lelah. Tapi kamu tidak sepenuhnya salah dengan alasan itu karena kamu masih di usia 5 tahun. Sampai saatnya hari raya idhul fitri tiba. Dan kamu sekeluarga tidak bisa pulang ke kampung halaman ayahmu karena tidak punya uang yang cukup. Dan kembali lagi peralihan dari kesedihan itu mengarah ke Cibubur. Kamu tahu, sampai sekarang pun kamu masih selalu mencari peralihan saat kamu sedih, hanya karena alasan agar tidak terlalu banyak air mata yang terbuang. Ya, saat aku sedih aku suka menonton tayangan yang lucu, atau menggambar dan melukis, atau seperti sekarang ini menulis surat untukmu.

Sebenarnya pada saat kamu berumur 3 tahun kamu pernah mengunjungi kampung halaman ayahmu. Nama kotanya Pemalang. Kalau aku artikan sekarang ini semacam penghalang, mungkin Pemalang dulu menghalangi sesuatu yang entah apa aku tidak tahu. Di sana kamu bertemu saudaramu, adik dari ayah adalah bulik. Ya kamu menyebutnya bulik. Dan anaknya bernama Fitri. Fitri punya banyak teman, bahkan teman khayalan pun dia punya. Kamu bermain dengannya waktu itu dan kalian berfoto dengan balon kuda poni milik Fitri yang diberi nama Finto. Lalu di lain hari dia bilang padamu kalau ada yang menjahatinya saat bermain, entah instingmu sebagai kakak atau hanya ingin dianggap kuat kamu melawan anak yang menjahati Fitri. Kamu memelototi anak itu yang bermana Egi, tapi kalau sekarang dia berganti nama menjadi Ninis. Tentu saja Egi takut dan lari pulang menangis karena matamu yang memang sudah besar dari lahir, mata belo.

Lihat sejauh kamu lahir sampai kamu memberikan perlawanan kepada orang lain kamu tidak pernah mengeluh. Kamu hebat, aku hanya bisa berkata itu. Tetap semangat, karena di masa kecil ini bahagiamu semu. Semakin halaman bertambah maka semakin banyak rintangan yang kamu hadapi. Bahagia itu semu, tapi kalau kamu bisa memaknainya dengan baik, itu akan menjadikannya nyata, nyata bersemayam di ruangan terkecil di hatimu.

Terimakasih diriku, ini penghujung suratku yang pertama untukmu. Kamu yang ada di masa kecil ini harus tetap menjadi hal berharga yang aku lindungi. Aku pamit, sekian.

Salam hangat,

Lia

The Letter To MyselfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang