Dear, Aku yang Ada di Masa Kecil

24 2 2
                                    

Pemalang, 4 Januari 2022

Dear diriku,

Memasuki surat ketiga, hari dimana kamu berpindah ke Pemalang. Sungguh banyak hal yang terjadi disini. Banyak sekali. Kamu datang ke sana dan menempati rumah baru. Ya rumahnya masih sama saat aku menuliskan surat ini, hanya bedanya aku tidak tidur di kamar yang kamu tempati.

Hari-hari disini berjalan seperti biasa, ibumu yang menyiapkan teh setiap pagi saat kamu akan pergi ke sekolah, ayahmu yang bekerja mengikuti kakekmu yang ada disini. Semuanya terlihat biasa, sampai akhirnya ibumu hamil lagi untuk anak yang kedua. Di usia kandungan mendekati 9 bulan dan kamu berada di kelas 2 SD, kamu seringkali sakit. Hingga pada suatu hari kamu masuk ke rumah sakit, ibumu yang tengah berbadan dua juga ikut ke sana. Aku tidak ingat pasti, tapi setelah adikmu lahir, ibumu menjadi seolah-olah tidak siap dengan kedatangan keluarga baru dengan keadaan keuangan yang cukup pas-pasan. Ibumu selalu meminta ayahmu untuk pulang ke Klaten, tapi ayahmu tidak menurutinya mungkin karena keadaan keuangan saat itu. Sampai suatu ketika ibumu memaksa untuk pulang ke Klaten, dia menarik lenganmu dan menggendong adik kecilmu berjalan menuju  ke arah stasiun. Aku ingat betul cengkramannya di tangan kananku. Aku tau kamu kebingungan saat itu. Hingga akhirnya pada separuh jalan menuju stasiun, om-mu menyusul menggunakan sepeda motor. Oh, aku juga tidak tahu dimana ayahmu saat itu. Lalu dengan dibonceng om, kamu dan ibumu juga adikmu yang ada digendongan dibawa menuju rumah kakekmu.

Sampai akhirnya kamu sekeluarga pergi menggunakan kereta ke Klaten, dengan pakaian yang lusuh di dalam kereta. Tentu saja keretanya tidak semodern di jamanku sekarang, keretanya ramai, penuh sesak, kamu bahkan tidak dapat tempat duduk. Hingga sesampainya kamu di Klaten, entah kenapa ibumu semakin parah. Dia gila. Mungkin memang pantas dipanggil begitu, kamu dan kakek-nenekmu di Klaten kewalahan untuk mengatasinya. Aku tahu bagaimana sulitnya saat itu, tiba-tiba orang di sekelilingmu menjadi asing. Akhirnya mereka semua menyerah dan kamu pulang ke Pemalang bersama ayahmu. Selang beberapa waktu ayahmu menyatakan cerai pada ibumu, kamu yang kala itu masih kelas 2 SD tentu saja tidak paham. Semua bilang demi kebaikanmu dan ayahmu, tapi semua orang tidak tahu bagaimana rasanya tumbuh tanpa seorang ibu. Ya, kamu mungkin mengunjunginya setahun sekali. Tetapi, siapa yang bisa menggantikan posisinya? Kamu dan adikmu adalah seorang perempuan, dimana kalian butuh sosok ibu untuk membimbing bagaimana menjadi perempuan yang baik. Adikmu, dia diasuh oleh sanak saudaramu yang ingin mempunyai anak kedua tapi tidak mendapatkannya. Dia diasuh dengan penuh cinta. Kamu sendiri bersama ayahmu.

Setelah bercerai ayahmu memutuskan mengontrakan rumah yang baru dan tinggal bersama kakek dan nenekmu juga bulikmu. Ayahmu bekerja dengan kakekmu yang berjualan mie setiap malam. Oh aku ingat betul setiap malam dimana aku memiliki PR dari sekolah dan aku tidak bisa mengerjakannya. Kamarmu tepat di depan ruang tengah, dan di ruangan tengah itu kamu bisa melihat Fitri yang selalu diajari oleh ibunya. Aku tahu kamu merasa iri, tapi mau bagaimana lagi? Kamu sering mendapat nilai 0 waktu itu, sering dihukum karena tidak mengerjakan PR juga. Sungguh, kamu tumbuh dengan cara yang menyakitkan. Tidak ada seorang pun yang peduli dengan bertanya bagaimana keadaanmu setelah ditinggal ibu. Bahkan ayahmu pun tidak.

Suatu hari saat kamu bermain bersama Fitri dan teman-teman lainnya di rumah. Entah kenapa secara tiba-tiba Fitri mengejekimu dengan berkata "dasar anaknya orang gila". Tentu saja kamu menangis, karena saat itu yang kamu pikirkan hanyalan rasa sakit teramat. Orang yang kamu bela tidak menjamin dia tidak akan pernah menyakitimu.

Atau kenangan yang lain saat kamu berhasil belajar sendiri dan mendapatkan peringkat 10 dan kamu mengatakannya ke nenekmu,dia tidak peduli dan lebih melihat ke arah Fitri yang waktu itu sering menjadi juara kelas. Kamu buktikan lebih keras lagi, hingga kamu mengikuti lomba bernyanyi. Ya, kamu pintar bernyanyi dan mendapatkan juara 1. Setelah itu nilaimu naik terus menerus. Hingga kamu SMP dan mendapatkan haid untuk pertamakali. Tentu saja kamu kaget, kakimu gemetar di kamar mandi dan jatuh terpeleset. Saat-saat seperti ini yang kamu butuhkan adalah sosok ibu, tapi tidak ada. Kamu sendirian. Selalu sendirian.

Ini mungkin kenangan yang menyakitkan, menguras air mata. Tapi setelahnya kamu mendapatkan hal lain lagi yang lebih dari saat itu, ingat yang aku katakan, bertambah halaman artinya rintanganmu bertambah pula. Jadi kamu harus lebih kuat lagi, jangan mudah percaya kepada orang lain karena mereka belum tentu mempercayaimu balik.

Jangan pernah berhenti berbuat baik, tetapi jika mereka yang kamu tolong malah menjahatimu, realistislah dan berhenti bersikap baik padanya. Itu hanya akan membuat lukamu semakin dalam.

Sekian dari surat ketiga ini, mungkin pahit bagimu, tetapi kamu tahu, aku selalu menyayangimu. Menerimamu meskipun kenangan itu tinggal di dalammu. Tidak apa-apa, kita lalui bersama.

Salam hangat,

Lia

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Letter To MyselfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang