PM: 5.59
Jun, 10 2019.Hampir senja, sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang, sementara itu di jalan gang sempit, sepasang manusia berjalan beriringan, bergandengan tangan, sesekali berbicara dengan suara rendah.
Sepasang itu adalah aku dan Anaan yang memilih pulang berjalan kaki karena aku melewatkan jadwal bus terakhir yang seharusnya ku tumpangi.
Sudah terlalu sore ketika kami akhirnya berdiri dari duduk kami yang begitu nyaman.
Dengan mata bengkak, jelas sekali bahwa aku menangis cukup banyak, cengeng sekali, namun ketika menatap wajah Anaan, tidak ada rasa jijik disana, justru perasaan lega seperti lepas dari beban yang begitu berat.
Kami bercerita panjang, bagian lain dari cerita Anaan akhirnya selesai kudengarkan, menyedihkan, namun aku tidak begitu kurang ajar hingga harus menyuarakan pendapat itu begitu keras.
Anaan tidak pernah ingin dikasihani, itulah mengapa dia menceritakan kisah-kisah itu padaku, seperti pasir di pantai yang tak akan pernah marah jika basah terkena ombak, begitu pula Anaan yang entah mengapa begitu mudah menerima nasib yang dititipkan Tuhan padanya.
Aku mulai berpikir, apakah Tuhan benar-benar adil? Jika iya mengapa kisah Anaan begitu menyayat hati, juga mengapa aku yang entah mengapa aku yang ingin mati tetap hidup sampai saat ini.
Mengenai tentang adilnya Tuhan, bukan urusanku untuk tahu, namun ketika mataku menatap Anaan, aku ingin sekali bertanya kepada Tuhan.
Pikiranku melayang jauh sekali, hingga ketika suara lembut Anaan membuyarkan segalanya.
"Aamaya kita sampai," ucapnya.
Aku berbalik ke arah Anaan, menatap wajah tersenyum itu membuatku enggan melepas genggaman tanganku.
"Masuklah, Bundamu pasti sudah menunggu."
Aku enggan membiarkan Anaan untuk pergi, namun jika ku bawa dia masuk, aku hanya akan jadi bahan candaan anak panti paling tidak selama satu minggu.
Pada akhirnya aku hanya tersenyum, melepas pelan tautan jemari kami, kutatap sekali lagi wajah Anaan yang begitu teduh, kemudian aku menunduk, dengan telinga sedikit memerah.
"Terima kasih," bisikku pelan.
"Untuk apa?"
"Karena sudah mengantarku pulang.
"Apa tempat ini bisa disebut rumah?"
Aku terdiam, mengangkat kepalaku yang awalnya tertunduk, terkejut sekaligus heran.
Pertanyaan ini, apa maksudnya?
Panti asuhan ini...
Kali pertama aku mendengar pertanyaan semacam itu, apa tempat ini bisa disebut sebuah rumah? Tempat untuk pulang? Aku tidak tahu, sungguh jika Anaan tidak bertanya aku mungkin tidak akan pernah sadar.
Apa sebenarnya arti dari sebuah rumah, sebuah panti asuhan yang seperti tempat penitipan jauh sekali untuk bisa berarti 'rumah'
Aku sekali lagi tersenyum, namun senyum yang ini pahit sekali, kupandangi Anaan yang kini tengah memandang bangunan bobrok panti asuhan, membuatku entah mengapa sedikit merasa malu.
Untuk apa malu? Aku tidak tahu.
Saat kupikir ini saatnya membiarkan Anaan untuk pulang, suara renyah seorang wanita paruh baya terdengar dari belakang kami.
"Aamaya baru pulang?" Tanya wanita itu.
Itu suara Bunda, aku berbalik kemudian menjawab pertanyaannya.
"Ya, bus terakhir tidak sempat ku naiki."
Bunda hanya tersenyum, tangannya penuh dengan kantong plastik, sudah jelas dia baru selesai berbelanja dari pasar, selarut ini, aku tidak tahu, tapi dia mungkin sengaja menunggu orang sepi agar harga barang yang ia beli bisa lebih murah atau mungkin gratis.
Bunda selalu begitu, tak punya cukup uang namun memaksa untuk mengasuh anak-anak sepertiku.
Hati wanita begitu baik, dunia kejam ini tidak layak untuk orang seperti dia, kadang aku membayangkan, mungkin akan lebih menyenangkan jika Bunda langsung ke surga saja, mengapa repot-repot harus tinggal di dunia, mengurusi anak-anak terlantar yang tidak berguna seperti kami ini.
Namun Bunda tidak pernah tahu isi pikiranku, aku tidak pernah mengatakannya, hanya diam memandangi Bunda yang bekerja begitu keras, cukup keras hingga membuat wajahnya terlihat jauh lebih tua dibanding orang-orang seumurannya.
Bunda tidak ingin dikasihani, dia telah berusaha begitu banyak hanya agar kami, anak-anak yang bahkan tidak punya sedikit pun hubungan darah dengannya, bisa tetap makan dan hidup dengan baik.
Aku menatap punggung Bunda yang berlalu memasuki dapur panti, ku pandangi sejenak punggungnya yang mulai bungkuk, sebab terlalu sering membawa banyak beban, ingin sekali menangis, tapi tangisanku hanya akan menambah beban Bunda, tidak berguna, lebih baik diam saja.
Semenit lengang, aku memilih untuk kembali ke kamarku, ruangan bobrok dengan banyak kekurangan dimana-mana.
Tapi tak apa, aku masih punya makanan untuk dimakan, masih punya tempat untuk tidur cukup nyenyak, lebih dari itu, sekarang aku tidak lagi sendirian, ada Anaan, remaja yang punya banyak cerita menarik untuk didengarkan.
Aku menjadi lebih tidak sabar, melempar tasku sembarang ke atas kasur, beriringan dengan rebahnya tubuhku, ku pandangi langit langit kamar yang mulai mengelupas karena dimakan rayap, sambil membayangkan cerita macam apa yang akan kudengarkan besok.
Atau mungkin aku bisa cerita tentang diriku, aku ingin bercerita tentang yang indah-indah saja, walau aku sebenarnya juga tidak tahu, apa yang indah di hidupku.
Bercerita saja, mungkin nanti kita temukan bagian yang indahnya.
Dibawah pohon rindang di belakang sekolah.
Bersama dia yang kucintai, bersama Anaan, yang membuatku merasa kalah padahal kisahnya yang belum sudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia Yang Telah Mati
Teen FictionKita sepasang manusia yang ingin hidup, namun kehidupan tidak begitu menginginkan kita. Kita terluka lagi dan lagi, patah enggan tumbuh kembali, hingga pada akhirnya aku tinggal sendirian, sedangkan kau mati dalam sunyi. Kita pada dasarnya saling me...