PM: 2.56
Jun, 8 2019Angin berhembus pelan, menyapu lembut anak rambut di dahiku. Sejuk sekali, aku menghela napas, menahan rasa kantuk yang mulai berat.
Di sebelah ku ada Anaan yang sudah sejak tadi memejamkan mata, tenang sekali, dia bernapas pelan, wajahnya yang tampan membuatku enggan memalingkan pandangan.
"Wajahku tidak akan berubah, bahkan jika kau menatapku seperti itu Aamaya." Anaan membuka matanya, balik menatapku.
Aku tersentak, segera mengubah arah pandangan, pura-pura tidak mendengar.
Anaan tertawa geli, entah kapan namun ketika aku sadar, tangannya telah jatuh di kepalaku, mengelus rambutku pelan, seperti tanpa dosa Anaan melakukan hal itu dengan santai.
Aku segera menepis tangannya, tindakan tiba-tiba ini tentu saja membuat pipiku bersemu merah.
Sementara itu orang yang seharusnya bertanggung jawab untuk pipiku yang memerah, hanya terkekeh tidak peduli.
"Jangan main-main Anaan," ucapku ketus.
"Aku bisa serius jika kau mau Aamaya," balasnya.
Aku mengernyit, tidak paham, atau lebih tepatnya enggan untuk paham. Kata-kata itu membuatku sadar, ku rasa ini mungkin saatnya mendengar bagian lain dari cerita Anaan.
Aku menatapnya, hingga sesaat kemudian, suara Anaan yang lembut mengenai telingaku.
"Aamaya, kau tahu, kita bisa menjadi seperti apa yang kita inginkan, segalanya tergantung padamu dan aku. Karena kita adalah pemeran utama dalam kisah kita sendiri." Anaan balas menatapku, kemudian tersenyum lembut.
Aku sadar, hari ini Anaan tidak akan melanjutkan kisahnya, arah pembicaraan ini akan menjadi jawaban atas pertanyaanku di kantin tadi, bukan tentang dia tapi tentang kami.
"Seperti apa yang kita inginkan? apa kau tahu apa artinya?" Aku bertanya.
Anaan tidak mengangguk, juga tidak menggeleng, namun suara lembutnya kembali berdengung di telingaku.
"Aamaya, beberapa hari yang lalu, kita adalah sepasang yang asing, aku begitu enggan memulai pembicaraan, sementara kau begitu tak ingin mendekat bahkan untuk sekedar menyapa, aku menatap matamu yang sepi namun tak pernah redup bahkan sekali, membuatku sadar jika aku tidak memulai lebih dulu, aku akan menjadi orang yang paling rugi."
Hening sejenak, angin sekali lagi berhembus pelan, menerbangkan lembut anak rambut di dahiku, Aanan menggapainya perlahan, lantas menaruh helai rambut itu di telingaku.
"Aamaya, apa kau tahu sejak hari pertama aku membantumu membuat bunga dari kertas, hingga ketika kau bertanya dengan canggung siapa namaku, Aamaya sejak hari itu, duniaku yang begitu kecil entah mengapa menjadi lebih lapang."
"Kita bisa menjadi seperti apa yang kita inginkan, ini adalah jawabanku Aamaya." Anaan menyentuh lembut ujung jariku. Mata coklat terangnya menatapku penuh harap.
Pagi tadi, saat di kantin, setelah menghabiskan seporsi bubur hangat, aku entah mengapa dengan aneh bertanya perihal aku dan dia ini sebenarnya apa.
Ibu kantin yang menyaksikan itu bahkan tidak paham, apa sebenarnya yang aku dan Anaan tengah lakukan.
Saat setelah aku mengucapkan pertanyaan itu, rasa malu datang begitu cepat, ingin rasanya menghilang dari bumi, atau mengubur diriku agar tidak lagi terlihat.
Tapi sekarang, Anaan benar-benar menjawabnya, entah aku harus bahagia atau menangis, karena jawaban itu sama sekali tidak membuatku yakin pada diriku sendiri.
Jelas bahwa aku dan dia hanya mengenal satu sama lain beberapa hari yang lalu, perubahan ini terlalu cepat, aku bahkan belum sampai pada klimaks dari kisah yang ingin ku ceritakan padanya.
Kisah Anaan juga baru sampai pada prolognya, aku ingin mendengar lebih banyak, mengenal lebih dekat, lalu setelahnya kita akan bisa menjadi seperti apa yang kita inginkan.
"Kau masih enggan Aamaya, aku tahu, itulah mengapa, jika kau memang tak ingin kita bisa tetap menjadi teman." Anaan membuyarkan lamunanku yang telah jauh bersauh.
Sekali lagi menatap mata coklatnya yang sangat ku sukai, mata itu telah sayu, redup seakan kehilangan harap yang tadi begitu terang.
Aku tidak ingin mengecewakan siapapun, terlebih diriku sendiri. Segalanya telah jelas sejak awal, sejak pertama kali aku bertanya siapa namanya, sejak itu aku paham, perasaan ini tidak akan menjadi nyata jika aku tetap enggan untuk menerimanya.
Anaan juga mengerti, memaksa hanya akan membuat keadaan semakin rumit, hingga akhirnya dia ingin aku yang menentukan.
Kita memang bisa menjadi seperti apa yang kita inginkan.
Aku adalah pemeran utama, begitu pula Anaan.
Anaan telah memilih pilihannya sendiri, namun hasil akhirnya hanya akan tergantung padaku.
"Anaan, aku ingin jadi seperti apa yang kau inginkan," ucapku pelan.
Mata Anaan yang telah redup kembali menampakkan kecerahannya, aku tersenyum, mungkin ini bukan pilihan terbaik, tapi sudah lebih dari cukup untuk membuatku yakin, jika aku menolaknya, di masa depan aku benar-benar akan kehilangannya.
"Kau harus memegang kata-kata mu Amaaya." Anaan menggenggam erat jemariku.
Aku tersenyum, ini kali pertama aku memberanikan diri untuk memilih, juga kali pertama bertemu seseorang yang membuat pipiku bersemu merah, membuat jantung berdegup lebih kencang, membuatku sadar jika aku tidak selalu sendirian.
Aku dan Anaan begitu mirip untuk berbagai aspek, walau aspek itu sangat menyedihkan untuk diceritakan, setidaknya cukup untuk membuatku yakin, jika setiap pertemuan memang bukan hanya sebuah kebetulan.
Aku ingin mempercayai diriku sendiri, setidaknya sekali ini, aku ingin bersama pemuda ini, ingin mendengar suaranya yang lembut, ingin melihat senyumnya yang manis, ingin menatap mata coklatnya yang terang, dan ingin membuat kisah yang panjang, tentang aku dan dia sebagai pemeran utamanya.
"Aamaya, bisakah aku menjadi bagian dari kisahmu yang panjang?"
"Tentu, seperti yang telah ku katakan, kita bisa menjadi seperti apa yang kau inginkan Anaan."
Seperti apa yang kita inginkan, mari buat kisah kita untuk waktu yang lama, aku ingin mendengar kisahmu lebih banyak, dan akan ku ceritakan segala tentangku kemudian, hingga nanti kita sampai pada epilog, aku harap kita akan selalu menjadi apa yang kita inginkan.
Anaan, aku mencintaimu-Aamaya.
Amaaya, aku juga-Anaan.
Spoiler: ga boleh spoiler dong ya, tunggu aja selanjutnya, apa Amaaya dan Anaan bisa jadi seperti apa yang mereka inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia Yang Telah Mati
Ficção AdolescenteKita sepasang manusia yang ingin hidup, namun kehidupan tidak begitu menginginkan kita. Kita terluka lagi dan lagi, patah enggan tumbuh kembali, hingga pada akhirnya aku tinggal sendirian, sedangkan kau mati dalam sunyi. Kita pada dasarnya saling me...