2. Gemuruh

1.6K 230 95
                                    

Ada kalanya waktu melindapkan diri. Mengulur detik demi detik dan menjadikannya lebih lama dari hitungan menit. Momen-momen itu datang tak beraturan layaknya ombak. Saat mereka hadir, hantamannya sekeras gelombang pasang.

Ini adalah satu dari sekian ratus momen di mana waktu mengabur. Tepat saat sepasang mata Raya bersua dengan Wirga, berandalan itu terkunci dalam teritori yang tak pernah ia masuki.

Wirga Gumelar, 12 IPS 3, ketua ekskul jurnalistik—siapa yang tidak mengenalnya? Pemuda itu adalah personifikasi dari istilah 'murid teladan'. Ia yang tidak pernah membolos, berkelahi, merokok; ia yang merupakan juara langganan berbagai lomba menulis dan debat; ia yang selalu dielu-elukan oleh guru-guru dan populer di kalangan murid sekolah untuk alasan yang jauh berbeda dari Raya.

Dalam tujuh belas tahun hidupnya, tidak pernah terbersit dalam benak Raya jika garis hidupnya akan bersilangan dengan pemuda itu. Wirga Gumelar yang maha sempurna dan tidak pernah kehilangan ketenangannya adalah antitesis seorang Pramudya Raya. Layaknya dua ufuk yang berseberangan, kedua pemuda itu hidup di  sudutnya masing-masing; tanpa ada niatan untuk bersinggungan antara satu dengan yang lain.

Karenanya, yang terjadi sekarang—yang terjadi sekarang adalah skenario terburuk yang bisa menimpa Raya.

Apabila dirinya yang berdiri saat ini adalah Raya di hari-hari biasanya, tangannya pasti sudah mencengkeram kerah kemeja Wirga. Persetan jika ia meronta. Wirga tahu rahasia si berandalan yang bahkan tak pernah ia titipkan pada tembok dan dinding kamarnya. Wirga melihat ciuman pertamanya. Raya harus membungkamnya.

Namun, Raya yang berdiri saat ini adalah Raya yang berbeda dari hari-hari biasanya. Ciuman tanpa aba-aba tadi berujung pada teriakan keras dan pinggang yang membiru. Raya tidak mempertimbangkan–tidak pernah terbersit satu kali pun selama ia hidup—bahwa, Tuhan, patah hati bisa sebegini menyakitkannya.

Sepasang mata Wirga membulat sempurna. Pada sepasang manik itu, Raya bisa melihat pantulan dirinya; matanya yang sembab, wajahnya yang memerah, tubuhnya yang gemetaran—semuanya terpantul dengan sempurna di manik cokelat lawan bicaranya.

Detik itu, Raya tahu apabila waktu tidak bisa diputar ke arah sebelumnya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, pemuda itu berbalik. Secepat kilat ia meninggalkan Wirga yang terduduk di persimpangan koridor, masih dengan ekspresi kaget yang hampir-hampir tidak pernah muncul di wajah rupawan itu.

Saat ini, yang Raya inginkan hanyalah menghilang tanpa jejak.

Tanpa sisa.

.

.

.

Breakwater (c) Aresiaccino

.

.

.

Bunyi bel istirahat yang biasanya ditunggu-tunggu oleh Wirga tidak bisa mengurangi penatnya. Semalaman suntuk ia terjaga, padahal hari ini ada kuis Matematika yang sudah menyiksa otaknya. Duduk di dekat jendela kelas di mana ia bisa melihat bayangannya terpantul, Wirga menyadari kantung matanya tambah tebal. Pantas saja sejak tadi pagi teman-temannya mengerubungi Wirga dengan sejuta pertanyaan, mulai dari: 'Wirga, lo ngapain masuk kalau sakit?', 'Eh, lo nggak mau pingsan, kan?' ditambah opini—'Ga, menurut gue lo hari ini lebih nyeremin dari hantu film Conjuring,'—yang sama sekali tidak Wirga tanyakan.

Ingin marah, tapi Wirga sepenuhnya sadar kalau itu kesalahannya sendiri. Ia tidak bisa apa-apa selain merutuki diri sendiri.

Pemuda itu bisa tenggelam dalam pikirannya hingga istirahat selesai kalau tidak ada tangan yang menepuk pundaknya. Wirga hampir-hampir memaki sebelum melihat sosok yang menyentuhnya tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BreakwaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang