⋆✩. | Swastamita

15 2 0
                                    

..⃗.🕊•̩̩͙⁺゜ ·˚

Dahulu kala, saat aku masih dalam masa asuhan sang bunda, kala aku bertubuh mungil bak pohon besar yang sedang bertumbuh dewasa.

Aku pernah berkata,

"Aku benci matahari yang semakin lama semakin terang, namun semakin menghilang."

"Aku tidak ingin orang-orang yang aku sayang bersikap seperti apa yang matahari lakukan pada dunia, berlaku egois kepada penikmatnya kala ia semakin bersinar nan semakin indah, namun secara perlahan meninggalkan senyum tulus orang yang sedang menatapnya."

Sampai saat ini, aku masih percaya itu.
Aku juga tidak ingin egois, tapi bolehkah aku meminta jika orang-orang yang ku sayang bisa bersamaku selamanya. Tanpa menjadi matahari seperti yang aku tulis? Namun, yang aku harapkan adalah, aku menjadi matahari egois itu. Aku ingin pergi saat orang-orang yang aku sayang sedang tersenyum bangga menatapku untuk yang terakhir kalinya. Aku menginginkan itu.

Manakah yang akan kalian pilih?

Menjadi seorang matahari egois, atau menjadi penikmat cahaya indah dari matahari itu?

..⃗.🕊•̩̩͙⁺゜ ·˚

Waktu berputar bersamaan dengan semua takdir yang mengikutinya, aku semakin dewasa. Aku telah tumbuh menjadi sebuah pohon yang memiliki ranting-ranting jalan kehidupan yang beragam. Aku sudah menemukan apa yang seharusnya aku katakan untuk Swastamita yang selanjutnya.

Kini, aku akan berkata ;

"Matahari terbenam itu sangat indah, hanya orang-orang tertentu yang dapat mengetahui keadaannya di dunia ini."

"Setelah aku dewasa, aku mengetahui arti yang sebenarnya. Matahari yang terbenam tidak selamanya berarti pergi tanpa kembali. Ia akan kembali dalam bentuk yang sama, namun dalam warna yang berbeda. Matahari kan kembali menyapa penikmatnya kala pagi mulai terbuka.”


Matahari tak sepenuhnya kan terus menenggelamkan wujudnya, tapi ia akan kembali dalam raga dan jiwa yang berbeda setiap harinya. Layaknya seorang manusia, ia akan kembali dengan jiwa barunya di fajar yang melanda keesokan harinya.

Namun, bagaimana jika seseorang atau yang kita gambarkan sebagai matahari itu hanya menampakkan jiwa dan raganya di sisi orang tersayangnya tanpa adanya sebuah wujud yang harusnya juga ada?

Akankah kita tetap menerima keberadaan matahari itu?

Atau kita membantah takdir yang sudah ditetapkan alam semesta dengan sebongkah air mata?

➴➵➶➴➵➶➴➵➶➴➵➶➴➵➶.

𝐀𝐤𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐒𝐰𝐚𝐬𝐭𝐚𝐦𝐢𝐭𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang