Enjoy the story!!
Ketika rumah bukan lagi tempat 'pulang'
- Leiden"Dengan ini kami menyatakan bahwa saudara Michael Gerard Ravendra resmi bercerai dengan saudari Christine Ardianti Rahayu Ferdian!!"
Tok!
Tok!!
Tok!!!
Suara palu diketuk secara 3 kali tersebut menggema di satu ruangan penentu akhir yang sebagian besar berisi manusia² yang tdk berguna.
Hari itu.. Hari Kamis, 6/2008 September Kedua orang tua Nathan resmi bercerai.
Hari dimana semua nya berawal, Hari dari semua hari yang terus menoreh luka. Seolah luka yang selama ini Nathan terima, masih belum cukup untuk membuat Nathan merasakan sebuah Penderitaan dan arti sebenarnya dari sebuah kehidupan.
Kenapa?
Apa yang salah?
Pikiran Nathan hanya dipenuhi dengan banyak pertanyaan.
dari mana ini semua berawal?
Kenapa bisa begini?
Kenapa ayah memukul mama?
Kenapa?
Apa?
Apa yang salah?
Dan masih banyak lagi Apa, kenapa dan bagaimana yang ada dipikiran Nathan.
Batin nya terus bertanya tanya, ketika ia terus dilemparkan pertanyaan Kamu mau ikut mama atau Papa? Dalam hati ia bertanya kenapa harus memilih? Memangnya kalian akan berpisah? Begitulah yang dipertanyakan Nathan.
■■■■■■■■■■■■●●●■■■■■■■■■■■■
【Hospice】
《《《《《《 ♤♤♤ 》》》》》》
Tapi itu dulu. Sekarang dia mengerti keadaan yang sebenarnya.
Bukan ia tak tau bahwa kedua orang tua nya memiliki masalah pertikaian, namun dirinya memilih diam bertindak seakan² tak mengerti keadaan apa yang sedang terjadi diantara kedua orang tua nya... Tidak. Nathan tak ingin mengetahui masalah orang tua nya, dia juga tidak mau mencari tahu alasan pertikaian kedua orang tua nya. terdengar egois memang, tapi biarlah. Lagi pula ; percuma, itu yang pikiran dan hati nya katakan.
Karna mencari tahu sama saja dengan menambah luka baru.
...
"Gahhh"
"hah..-"
"hah..-"
"hah..-"
Deru nafas yang memburu terdengar jelas di kamar minimalis tersebut beserta dengan keringat yang membanjiri peluh.
Mimpi buruk itu kembali, memutar semua memori kenangan pahit yang selama ini berusaha Nathan lupakan.
Netra hitam nya bergulir mencari sesuatu.
Tubuhnya bergerak bangkit dari kasur, mencari benda yang menjadi rutinitas nya setiap bermimpi buruk.
Cutter. Yah benar, Cutter. Benda itu yang selalu Nathan pakai disaat panik nya kembali menyerang."ahh ketemu!" gumam Nathan saat menemukan benda yang dicari nya.
Dengan tangan yang bergetar karna serangan panik, Nathan mulai menggoreskan cutter tersebut pada lengan kiri nya.
Gores dan tekan. Gerakan itu dilakukan secara terus menerus menembus kulit kuning langsat miliknya hingga cairan merah pekat mulai membanjiri lantai.
15 menit Nathan melakukan hal itu dalam kamar miliknya tanpa bermodalkan cahaya.
Tatapan mata Nathan mulai meredup, perasaan lega Nathan terima setelah melihat darah mulai berlomba keluar dari tangan kirinya hingga membanjiri lantai.
Bibirnya tersenyum kala matanya menangkap hasil karya tangan milik nya. Pedih dan senang dia rasakan disaat yang bersamaan. Perasaan nya ikut mengalir bersamaan dengan darah yang terus keluar dari tangan kiri Nathan tanpa ada niatan untuk menghentikan pendarahan tersebut.
Tangan kanan yang sedari tadi menggenggam erat cutter tersebut mulai mengendur, bersamaan dengan tubuh nya yang bergerak ke belakang menjadikan kasur nya sebagai sandaran.
Kepala Nathan menengadah menatap langit langit kamar, tangan nya terkulai lemas disamping tubuhnya dengan tangan kiri yang masih mengeluarkan darah sedangkan tangan kanan nya ia taruh diatas perut nya.
Sorot mata Nathan menyendu, kedua alis nya bertaut beserta bibir bagian bawah yang digigit oleh giginya.menandakan dirinya sedang menahan sesuatu. Matanya tampak berembun, sekuat mungkin ia menahan isakan nya agar tak keluar dari mulut nya yang tetap saja berujung gagal-
"Hiks" isakan nya terdengar saat ia sudah tak kuasa menahan pedih nya luka batin.
"hiks hiks" isakan nya semakin keras, dada nya semakin sesak disetiap isakan. Seolah semua oksigen yang berada di kamar nya telah di sedot habis tak tersisa.
Hingga akhirnya tangisan nya pun ikut terpecah, bersamaan dengan oksigen yang kembali ke dalam kamarnya. Ya benar.. Nathan sedang menangis. Nathan sudah sekuat tenaga agar berhenti menangisi keadaan dan menyakiti diri sendiri. Tapi Nathan tidak bisa menahan hal kecil tersebut.
Dia gagal, selalu gagal. Dia mengingkari janji yang sudah dijanjikan. Bibir tebal nya bergerak mengucapkan sesuatu dengan lirih, karena merasa lemas akibat selfharm tadi.
"maafh, maafin Nathan nek..-"
"Nathan ingkar janji lagi untuk kesekian kalinya" ucap Nathan dengan suara yang hampir menyamai bisikan
"Maaf.." bibirnya tersenyum setelah mengatakan satu kata tersebut dengan lirih bersamaan dengan netra hitam nya yang mulai menutup.
Entah pingsan atau tertidur kembali, namun yang pasti..
Nathan belum saat nya kembali.
Belum saat nya kembali ke sisi - Nya.
■■■■■■■■■■■■●●●■■■■■■■■■■■■
【Hospice】
《《《《《《 ♤♤♤ 》》》》》》
Sebagai penutupan chapter kali ini, kalian bisa follow akun instagram Vasa dulu :
- savfoy
KAMU SEDANG MEMBACA
Hospice
Teen FictionMati tanpa rasa sakit? Mustahil bukan? Rank #654 Kecelakaan Rank #8 Ravendra