Senin, 12 September 2007
Rupanya semesta sedang murka sampai-sampai ia mengeluarkan kilatan petir yang amat dahsyat. Kelamnya langit malam itu, membuat sang bocah lelaki semakin intens dalam ketakutannya.
Tanpa arah. Tanpa tujuan. Tanpa bekal. Hampa dan kelam. Itulah kalimat yang bisa mendeskripsikan sang bocah lelaki tersebut saat ini.
Ia bagaikan bayi macan yang kehilangan induknya di tengah hutan. Namun bedanya, ia tak memiliki siapa-siapa. Memiliki raganya pun tidak.
'Pulang' adalah satu-satunya 'hal' yang tidak bisa ia pahami sampai saat ini. Karena ia belum pernah merasakan apa itu 'pulang' dan 'rumah'. Ia tak punya seseorang bahkan ruang yang bisa ia jadikan tempat singgah begitu saja.
Tatkala langit semakin redup, seperti kilatan dua pasang bola mata sang bocah lelaki tersebut. Tidak ada secercah harapan sedikit pun. Hujan yang turun semakin deras nampak melengkapi kemalangannya.
Ia merekam baik memori itu, sebagai hari terkelamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
thunderstorms '21
Teen Fiction"You hold so much sadness in your eyes. I can almost touch the scars of your soul and cry." "So?" "Please, let me embrace you. With all of my loves that i can give for you, Gistara." "No... you can't." Albi tak kuasa menatap tulusnya dua pasang bo...