[pre-arc] 01. Senandung Hutan

2 1 0
                                    

[765 M] Hutan Kabut Ungu, Wilayah Barat Kerajaan Nirina

Pria itu tersesat. Ia menatap lurus kedepan dengan linglung—pada kabut ungu yang menutupi pandangan, pada hening malam yang mengancam. Telinganya terus berdenging menulikan. Jalannya terseok dengan kaki pincang sebelah. Tangannya mati rasa meraih-raih dengan percuma. Tubuhnya perlahan membeku. Nafas yang semula memburu kini mulai tersengal. Tak mempedulikan darah yang deras mengalir dari pinggangnya juga luka yang memenuhi tubuhnya, pria itu terus berjalan. Seolah tak merasakan apapun—tak mempedulikan apapun, ia masuk semakin dalam pada gelapnya malam—semakin tersesat dalam senandung hutan.

Ayah! Ayah! Kesini! Aku di sini! Kemarilah!

Pikirannya telah lama buntu, namun suara itu seolah menyihirnya—menuntunnya untuk terus melangkah semakin masuk ke dalam hutan.

Tersesat dalam Senandung Hutan, senandung merdu yang diam-diam mematikan.

Pria itu menghentikan langkahnya. Tidak ada lagi kabut ungu. Tidak ada lagi suara berdenging. Pandangannya masih kosong lurus ke depan. Tidak peduli pada pemandangan di hadapannya yang sangat jelas. Tebing luas melingkar serupa lubang tak berdasar, bulan penuh yang nampak dekat, bintang-bintang yang berkelip, dan langit ungu yang menampakkan misteri.

Ayah! Ayah! Aku di sini! Kemarilah!

Suara itu terdengar semakin jelas. Berasal dari arah bawah.

"Lilian?" gumamnya pelan. Seolah kesadarannya perlahan terkumpul, pria itu berkedip. Ia menurunkan pandangannya, pada lubang besar gelap tak berujung di bawahnya.

Aaaak-

Namun belum juga satu detik berlalu, ia berteriak sangat keras. Matanya melotot, memerah dan berdarah. Pikirannya menjadi terpecah. Ia tidak bisa merasakan apapun selain ketakutan dan kesakitan. Kepalanya seperti hendak meledak, matanya berdenyut menyakitkan dan seolah jantungnya di pukul dengan palu ribuan kali. Ia kehilangan kontrol tubuhnya, lemas dan kehilangan keseimbangan.

Pria itu jatuh condong ke depan.

.

Ia tersadar. Namun rasa lengket dan perih membuatnya terus terpejam. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi, namun hanya rasa sakit teramat yang ia dapati. Tubuhnya mengejang, nafasnya menderu dan kepalanya terasa seperti hendak pecah. Ia merasa sangat lelah, seolah seluruh kekuatannya terkuras habis. Ia mencoba bergerak dengan gelisah. Semuanya, seluruh bagian dalam tubuhnya terasa menyakitkan. Bahkan kulit yang menyentuh lantai terasa seperti terbakar.

"Minumlah Tuan, anda akan merasa lebih baik."

Suara itu terdengar seperti anak lelaki remaja, terdengar berat namun sumbang. Ia merasa sebuah cairan mengalir dengan paksa di dalam mulutnya yang kaku. Ia tidak kuasa menolak, tidak kuasa pula menerima. Tersedak, pria itu merasa seperti akan mati.

Namun berbeda dengan kiranya, ia merasa sangat baik. Rasa sakit itu berangsur membaik dan di menit selanjutnya ia merasa sangat bugar. Semua terasa seperti mimpi. Mimpi buruk. Rasa sakit juga perasaan putus asa, itu seperti berlalu begitu saja. Seolah tidak pernah terjadi.

Pria itu mencoba menenangkan dirinya. Mentalnya belum sepenuhnya pulih dari perasaan horror beberapa menit yang lalu. Ia bahkan sempat berfikir lebih baik mati daripada merasakan rasa sakit tersebut.

Minuman apa yang telah diberikan padanya? Ia hanya pernah mendengar satu jenis air yang dapat mengobati segala jenis penyakit, itu adalah Air Mata Dewi. Air suci langka yang hanya diproduksi oleh Kuil Maladeva. Harga untuk setetes air itu setara dengan seluruh kekayaan bangsawan berstatus Count. Tidak mungkin bagi rakyat jelata sepertinya menikmati berkat dari sang Dewi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RAYYAN I : The Fallen EmpireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang