———
Arazella Bryan kebingungan menatap wall cabinet tertutup yang berisi Yellow mustard dan sejumlah bumbu dapur didalamnya. Kaki mungil Arazella berulang kali berjinjit, berusaha mencapai tempat tinggi itu, namun tak kunjung membuahkan hasil. Gadis berambut cokelat terang itu terdiam sesaat. Lalu mengalihkan pandangannya pada deretan bun wijen, telur mata sapi, irisan sayuran yang sudah tertata rapi diatas meja. Dan—saus kuning yang berada jauh disana adalah tahapan yang terakhir.
Arazella menghela napas pelan, sepertinya tidak ada opsi lain kecuali memanjat kitchen set yang ada didepannya. Dengan gerakan lambat seraya terus bergumam doa Bapa Kami, satu persatu lutut Arazella menyentuh top table. Jemari yang awalnya mencengkram sisi penutup wall cabinet, kini mulai meraba, mencari wadah cairan kuning itu.
"Ah, ini dia!" Pekik Arazella kegirangan, saat memperoleh apa yang ia inginkan. Tetapi, tampaknya Arazella terlalu bersemangat, gadis berumur 16 tahun itu tiba-tiba kehilangan keseimbangannya. Ia hampir terjatuh kebelakang, jika saja lengan kekar itu tidak menangkapnya lebih cepat.
Kelompak mata bulat Arazella mengerjap beberapa saat, berupaya mengumpulkan kesadarannya. "M—mas Abi?" Cicit gadis itu terkejut, menyadari Abiya Bryan; Kakak sulungnyalah yang telah menolong dan tengah menggendongnya kearah bar stool.
Gawat! ini tidak lebih baik dari pada menyentuh lantai.
"Eumh, M-mas sudah pulang?"
Tidak ada jawaban untuk pertanyaan retoris seperti ini.
Arazella menggigit bibir dalamnya, setelah mendapati keterdiaman Abiya. Pertanyaan basa-basi seperti ini seharusnya tidak ia lemparkan. Abiya benci sesuatu yang buang-buang waktu dan tidak ada maknanya.
Kini, lelaki dengan postur tegap itu mendudukkan Arazella di kursi tinggi itu. Menghadapkan Arazella kearahnya. Tampaknya, sebentar lagi persidangan akan dimulai. Mata elang Abiya mulai memindai tubuh padat adiknya dimulai dari kaki hingga kepala. Selanjutnya, melonggar dasi yang melilit leher dan melipat kedua lengan didepan dada.
"Ceroboh."
Ujaran sarkasme dan ekspresi datar Abiya benar-benar membuat keberanian Arazella mencelos. Jika semua orang mengatakan bahwa lelaki itu tampan, berintegritas tinggi, mapan, dan ramah saat berada diluar, maka situasinya akan berbanding terbalik saat berada dirumah. Abiya akan berubah menjadi sosok yang keras, tegas, dingin, dan pemarah. Terlebih lagi terhadap Arazella, adik kecilnya.
Kepala gadis itu merunduk, tatapannya tak lepas dari jemari yang bertaut khawatir, bibir kecil Arazella meracau pelan, "Maaf, Mas Abi."
Abiya menggeram seketika, ia tak suka ketika Arazella berbicara tanpa menatapnya. Lantas, dagu bak porselen itu pun diangkat, hingga kedua iris berbeda warna itu bertemu.
"Ara tadi, eumh, laper Mas. Rencananya mau buat burger sendiri, sudah siapin semuanya. Tapi yellow mustardnya--"
Telapak tangan besar dan berurat Abiya terangkat, berhasil membungkam kalimat Arazella. Gadis penurut itu kembali membisu, dan menunggu perkara berikut yang akan dipermasalahkan kakak sulungnya.
"Dan yang ini?" Telunjuk Abiya mengarah pada mini skirt diatas lulut dan potongan crop top Arazella yang terlalu rendah, menampilkan belahan dadanya. Pakaian itu terlihat lucu, pas, dan—sexy pada tubuh kelinci Arazella. Abiya sangat menyukai pemandangan seperti ini jika gadis itu hanya berkeliaran dikamarnya. Karena Abiya benci memikirkan kemungkinan bahwa Arando Bryan; adik lelaki yang juga tinggal bersamanya melihat Arazella, baju tidur sialan, dan pose menungging saat memanjat kitchen set yang memancing birahi.
Kilatan cemooh dan amarah yang terpancar didalam tatapan Abiya memacu detak jantung Arazella.
"Apakah ada pembelaan untuk pelanggaran kali ini?" Lelaki itu tersenyum sinis, ia tahu bahwa Arazella tak punya jawaban. Gadis itu benar-benar sedang membangkang.
Abiya mencondongkan tubuhnya semakin dekat dengan sang adik, kini ia dapat semakin menghirup aroma vanilla kesukaannya dari tubuh rapuh Arazella. "Kamu pikir selama Mas pergi, kamu bisa bebas melakukan apapun yang kamu mau?"
Titik tatapan Abiya berpindah pada bibir pink penuh yang sedari tadi terus mengacaukan pikirannya. "Aturan tetaplah aturan, Ara."
"Dan semuanya punya konsekuensi."
Dengan gerakan cepat dan telaten, Abiya berpindah menyusun burger untuk siap dihidangkan dan membawanya kehadapan Arazella. Lelaki itu memang bertalenta dalam segala hal.
"Kamu masih lapar, kan?" Tanya Abiya dengan senyum manis yang sangat Arazella tidak sukai. Lelaki itu sedang menyusun rencana busuk untuk membuatnya lebih takut lagi. "Ara?"
Kegugupan menyelemuti tubuh kecil Arazella. Lupakan tentang mengisi perut. Yang ia inginkan hanyalah kembali kekamarnya. "I—Iya Mas."
"Good."
Pujian sang kakak semakin memicu ketegangan dalam diri Arazella. Tanpa diduga, Abiya malah menggigit seperempat makanan cepat saji itu dan tanpa aba-aba menyatukan bibirnya yang mengkilap penuh saos pada bibir lembut Arazella. Gadis itu yang terkejut menerima perlakuan Abiya, secara spontan membuka mulutnya yang kecil.
Abiya mencoba mendominasi. Lelaki itu menekan tengkuk Arazella dengan keras, bergerak liar tanpa peduli pada adiknya yang ketakutan setengah mati.
Telapak tangan Arazella yang awalnya hanya menggenggam kerah lapel jas Abiya dengan erat, kini beralih menepuk dada bidang lelaki itu sekuat tenaga. Pasokan oksigen didalam tubuh Arazella mulai menipis. Dan dengan gerakan tak rela, Abiya melepaskan sang adik.
"Makan." Perintah Abiya dengan suara rendah.
Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Arazella kembali patuh. Gadis itu mulai mengunyah potongan burger yang ada di mulutnya. Sementara Abiya, lelaki itu bersandar pada sisi mini bar dan tersenyum kecil sembari memperhatikan ulahnya. Bibir yang membengkak, mata yang sembab, dan rambut cokelat terang yang berantakan.
Adik bungsunya semakin menggairahkan.
———
TBC.
Hi. I'm back!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Brother
Romance|Mature-content| Dimata semua orang-khususnya gadis-gadis disekolah Arazella; yang kerap dipanggil Ara itu, Abiya Brayn adalah sosok kakak lelaki yang super duper keren. Tampan, ramah, sopan, berintegritas tinggi, dan bergelimang harta. Namun, sikap...