———
Arazella mengerang. Berani bertaruh, pergelangan tangannya pasti memerah. Sesudah kunsen hitam suram itu tertutup, Abiya menariknya dengan kasar kearah kamar mandi. "M-mas Abi kenapa?" Mata beningnya berkaca-kaca. Arazella tidak menyukai Abiya yang seperti ini. "A-Ara minta maaf, Mas."
Tidak ada tanggapan. Abiya memilih bungkam, diangkatnya tubuh mungil adiknya itu untuk duduk diatas wastafel kaca. Reaksi Abiya berikutnya tidak terbaca oleh Arazella. Telapak tangan berurat itu menahan tengkuk Arazella, memaksakan lumatan yang begitu tergesa-gesa, keras dan menuntut seolah menyalurkan semua emosinya pada bibir ranum yang sedang Abiya dominasi.
Dada Arazella membusung kala Abiya melemparkan gigitan kecil pada bibir bawahnya. Keduanya bertukar saliva, lidah Abiya mengintervensi seluruhnya. Tangan kecil Arazella tidak tinggal diam saat menyadari rongga didadanya terasa sesak, ia menepuk pundak Abiya semampunya, namun perlawanan itu tidak berarti apapun bagi sang kakak. Pada akhirnya Arazella hanya patuh, membiarkan Abiya melakukan sesukanya.
Abiya tersenyum tipis kala mendapati Arazella tertunduk lesu setelah ia puas menyesap bibir kecil itu. "Mas benci kamu dekat sama Gerald." Telunjuk kokohnya mengangkat dagu Arazella. Abiya bersorak girang dalam hati mendapati hasil karyanya pada bibir Arazella yang membengkak.
"Amarah Mas bangkit membayangkan Gerald bisa saja melihat kamu dengan pakaianmu tadi malam." Ibu jari Abiya bergerak mengusap pipi lembut Arazella, sedangkan pandangannya memuja. "Dasar laki-laki cabul." Desis Abiya selanjutnya.
"M-maf Mas Abi," Hanya itu yang mampu Arazella utarakan. "Ara janji mau jauh-jauhan sama Mas Gerald." Ucap Arazella menenangkan Abiya, sembari memberikan pelukan hangat. Didalam pikiran Arazella, Abiya hanya sebatas seorang kakak laki-laki yang sangat menyayangi adik perempuannya. Perilaku dan kerasnya Abiya saja yang salah diekspresikan oleh lelaki itu.
Sembari mengecup pipi kiri Abiya, gadis itu berbisik, "Ara juga sayang sama Mas Abi."
Detik selanjutnya Abiya terbatuk kecil, ia terlihat salah tingkah. Dan saat Abiya lengah dengan pikirannya sendiri, tanpa aba-aba Arazella meloncat menuruni wastafel yang sediang ia duduki itu. Berjalan menuju pintu keluar.
Namun langkah kecilnya terhenti, "Kamu mau kemana lagi, Ara?" Abiya kembali memanggilnya.
Pundak Ara menurun disertai hembusan napas lelah, gadis itu berbalik. " Bukannya marahnya udah selesai ya, Mas?" Tanya Arazella lugu. "Ara mau ke kamar, Ara belum packing Mas. Tiga puluh menit lagi kan kita harus berangkat."
Langkah lebar Abiya berhasil membawa Arazella ketempatnya semua; terduduk diatas wastafel—kali ini tanpa perlawanan dan kekerasan seperti beberapa saat lalu. "Kita berangkat tiga jam lagi. Kamu ikut Mas, lewat udara saja."
Dahi Arazella berkerut, namun pertanyaannya sengaja ia redam. Tidak ingin membuka celah untuk berdebat dengan kakak tertuanya itu. "Jangan kemana-mana." Titah Abiya, lalu berjalan kearah dinding kaca yang menampilkan pemandangan perbukitan yang menyejukan. Jemari lelaki itu menari-nari diatas posel pintarnya, menekan nomor-nomor yang hendak ia tuju.
Pandangan Abiya sesekali menangkap Arazella yang masih patuh ditempat. Gadis itu terlihat sangat manis. Setelah menyelesaikan beberapa urusannya, Abiya berjalan mendekati sekumpulan lemari rias yang berada dipojok ruangan dan mengambil electric shaver, facial wash, dan penyanggah rambut.
"Ara bantuin Mas, ya?" Pinta Abiya menyerahkan seluruh peralatan yang ia bawa.
"Iya, Mas. Ara mau." Balas gadis itu antusias. Arazella tidak ada bedanya dengan gadis-gadis lain seusianya. Suka berdanda dan mendandani orang lain.
Lengan Abiya mendekap pinggul Arazella. Mengikis jarak diantara keduanya. Sementara Arazella dengan piawai memasang penyanggah rambut dan memijat pahatan sempurna wajah Abiya. Sesekali gadis itu tertawa, menggambar bentuk-bentuk unik pada busa yang melekat.
"Mas tahu gak?" Tanya Arazella membuka pembicaraan. Sedangkan tangannya yang cekatan menyusuri permukaan wajah Abiya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis.
"Hm?" Balas lelaki itu seadanya. Bola mata Abiya tertutup rapat menikmati pergerakan mesin cukur dan sensasi dingin yang ia rasakan.
"Kata Mas Ando, Mas Abi kayak jokes bapak-bapak facebook." Arazella sempat terkekeh pelan tanpa suara.
Kening Abiya mengerut. Ia tampak tidak terima. "Kenapa?"
Seraya menaikan bahunya, Arazella menjawab. "Garing dan can't relate." Bungkamnya Abiya membuat Arazella tergesa-gesa memberikan klarifikasi. "Tapi Mas Abi jangan marah lagi ya sama Ara, please. Soalnya Ara cuman diem waktu itu Mas, Ara gak ketawa kok."
Abiya hanya menarik ujung bibirnya kecil. Lalu mengusap puncak kepala Arazella lembut. Hal itu menjadi pertanda, Abiya tidak terlalu menanggapi perkataan adik perempuannya itu.
"Mas Abi brewoknya bagus, kenapa harus dipotong? Komentar Arazella setelah menuntun dagu Abiya kekanan dan kekiri untuk melihat perbedaan dari kedua sisi. Ia baru menyadari bahwa Abiya lebih cocok menumbuhkan janggut tipisnya. "Mas Abi takut dapet istri yang malas beres-beres ya?" Tuduh Arazella menghakimi Abiya.
"Itu mitos, Ara. Jangan terlalu mendengarkan Bi Inong." Abiya melirik tampilannya pada kaca yang ada dihadapannya. Arazella mengangukkan kepalanya, menyetujui perkataan kakak lelakinya itu. Bi Inong—Asisten rumah tangga kepercayaan keluarga Bryan memang senang membual. Setelah percakapan itu, Arazella tidak lagi berkutik. Ia fokus mengerjakan pekerjaannya.
"Selesai!" Pekik Arazella bertepuk tangan. Gadis itu tampak sangat puas atas hasil kerjanya. "Kalau seperti ini tampilannya, orang-orang gak percaya Mas umurnya tigapuluh tahun."
Abiya mengangkat satu alisnya, "Jadi, selama ini menurut kamu Mas sudah tua?"
Bola mata Arazella membulat, kedua tangannya terangkat dan bergerak kekanan dan kekiri seolah menolak untuk menyetujui pertanyaan Abiya, beriringan dengan kepala Arazella yang menggeleng. "Eh, Enggak Mas. Bukan begitu maksud Ara." Lalu ia menggigit bibir bawahnya gelagapan, "Eumh, maksud Ara itu ..." Ujaran Arazella terhenti dan berubah menjadi tawa yang menggelegar kala Abiya mulai menghujamkan kecupan bertubi-tubu disetiap inci wajah adiknya.
"Mas jorok, ih." Arazella pura-pura berdecak kesal. "Air liurnya lengket-lengket diwajah Ara."
Abiya terkekeh kecil, kemudian menurunkan Arazella dari atas wastafel. "Sudah, anak kecil jangan banyak complain. Sekarang, siap-siap mau berangkat."
Gadis itu mencebikkan bibirnya pelan, "Iya, Mas." Namun tetap patuh pada perintah Abiya.
Sepeninggalnya Arazella, Abiya kembali mendapati handphonenya untuk menelepon seseorang, "Kosongkan jadwal saya untuk satu minggu kedepan, setelah itu reservasi Villa di Bogor." Abiya mengangguk, menyetujui balasan personal asistennya. "Iya, saya mau yang private."
"Satu lagi, presentasi untuk tender proyek tiga hari kedepan dipimpin oleh Arrando, pastikan dia tahu dan katakan saja itu perintah dari Ayah."
Abiya tersenyum licik, Arrando akan sangat kewalahan untuk mempersiapkan presentasi besar itu. Satu hukuman bagi pembangkang.
———
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Brother
Romance|Mature-content| Dimata semua orang-khususnya gadis-gadis disekolah Arazella; yang kerap dipanggil Ara itu, Abiya Brayn adalah sosok kakak lelaki yang super duper keren. Tampan, ramah, sopan, berintegritas tinggi, dan bergelimang harta. Namun, sikap...