11

10 7 32
                                    

Dari ketinggian seratus kaki di atas daratan, angin yang kencang menyapu beberapa helai rambut pria yang paruh baya itu. Ia menangis dan memohon dengan sosok yang berada di depan sosok pria yang masih muda dan mengenakan leather jacket berwarna hitam legam.

Malam itu menjadi waktu terakhir dirinya berdo'a kepada Tuhan untuk terakhir kali, pria yang berdiri dan mengacungkan pistol handgun tersebut terkekeh kepada pria yang paruh baya—yang hanya bisa pasrah di depannya.

"Aku ingin hidup normal—aku berjanji untuk tidak berbuat jahat lagi, Tuan! Aku masih punya anak dan istri—" ronta pria paruh baya itu yang merasa tersudut dan tak bisa kabur kemana pun. Pria yang berwarna biru laut itu pun masih menodongkan handgun di tangan kiri dengan cengkraman yang kuat.

"Sudah berapa banyak dosa yang kau perbuat?"

"Maaf?"

"Kau tuli rupanya." Pria itu menembakkan peluru tajam yang melesat yang nyaris mengenai kakinya, pria paruh baya itu menangis dan memohon agar dirinya tetap selamat dengan aman.

"Aku hanya mencuri uang perusahaan, aku hanya bersetubuh dengan anak magang." Suara tembakan itu makin menggila dan makin menjadi-jadi ke segala arah di depan pria yang tengah berputus asa itu, pria yang bermanik biru itu tertawa dan mengacungkan senjatanya tepat di kepalanya.

"Kau membosankan," ucap pria yang mengacungkan senjata ke

"Sudah kan?! Aku sudah mengaku semua dosaku! Jadi lepaskan aku!" mendengar deringan gawai milik pria yang bermanik biru pun, ia mengangkat gawainya dan sang penelpon pun berkata, 

"Qu'il meure."

(Matikan dia). 

Sang penelepon itu mengakhiri percakapannya, dan pria yang bertato di lehernya itu menaruh telepon kembali ke saku celana yang ia gunakan. Tanpa basa-basi, pria itu tersenyum kepada pria paruh baya itu. 

"Istirahatlah dengan tenan." Pria itu menarik pelatuknya dan dengan cepat peluru tajam itu menghujam tepat pada jantungnya. Menembuskan tulang-belulang milik pria yang kini sekarat di depan pria yang bermanik biru laut, darahnya yang menyeruak keluar luka yang tak ingin memaafkan apa yang terjadi pada sang Tuan yang pemilik tubuh ini.

Tak ada keseimbangan sedikit pun, pria bermanik biru itu mendorong jasad itu untuk sebagai bentuk penghormatan terakhir pada mayat yang ia matikan oleh tangannya sendiri. Pria itu tak menunjukkan ekspresi di raut wajahnya, taka da rasa takut, ngeri, sedih, ataupun murka terpancar di wajahnya.

Semuanya terasa datar, hambar dan hitam-putih. Sudah kesekian kali, di tangannya ia membunuh jiwa-jiwa yang ia tak mengenalnya, demi kepuasan tuannya. Ia terdidik dari kecil menjadi pria yang patuh, teringat ia adalah seorang anak pungutan dari Tuannya yang dididik dengan baik.

"Sungguh jiwa yang penuh dosa," gumamnya melihat jasad itu terhuyung-huyung di atas langit dengan kecepatan gravitasi yang membawa mayat itu menuju ke atas tanah yang keras dan dipenuhi manusia-manusia yang berdosa nan pantas dihukum.

Suara sirine dan lampu mobil polisi kini mendekati jasad itu dari kejauhan, pria yang bermanik biru itu menyalakan kretek dan mengisapnya di bibir bagian luar dengan perlahan. Sambil memandang langit yang dipenuhi gugusan bintang, ia menghembuskan kepulan asap yang keluar dari mulut yang penuh itu.

Lalu ia menelepon tuannya dan diangkat oleh lawan bicara yang diduga adalah Tuan dari sang pembunuh yang bermanik biru laut.

"Halo?"

"Bintang mati sudah tiada, Tuan Incognito."

***

HOTEL VENICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang