Kenapa sih, harus aku yang mengalami? Dari ketiga saudaraku, kenapa harus aku yang diajak ketempat bapak inilah, ibu itulah dan disuruh melakukan ritual ini dan itu, puasa sedemikian hari, dimandikan dengan berbagai macam bunga yang sudah ditambahkan koin, dan berbagai macam hal yang orang-orang sering bilang 'klenik'.
Jangan tanyakan kemenyan dan teman-temannya. Mereka selalu ada dan tidak pernah absen mendampingi.
Bukan aku tak suka dan tidak menghormati akan adanya hal-hal seperti ini. Tapi bagi kalian yang mungkin pernah dan sedang mengalami nasib sepertiku, mungkin akan sama jengahnya seperti yang aku rasakan. Aku ingin seperti orang lain, seperti adik-adiku. Normal. Tanpa harus bersinggungan dengan hal-hal seperti ini.
Kapan semua ini berakhir??? Jerit hatiku ketika aku sudah mulai bosan dan bahkan mungkin muak. Tapi, ketika aku mengeluh dengan menggunakan kalimat ini, kata-kata yang berupa bujukan halus sampai menyudutkan dan menghakimi datang bermunculan.
Dimulai dari "Gak papa ya, kan buat kebaikan kamu" atau "Ini dibadan kamu harus ada yang dibuang, dibersihkan. Gak papa ya, gak akan sakit kok" atau kalimat semacam "sabar ya, terpaksa ya, mesti nurut. Kasian orang tua kamu, mereka mau yang terbaik buat kamu". Sampai aku yang selalu disebut susah dibilangin, aku yang 'katanya' sulit percaya jadi menyulitkan prosesnya, mudah emosi, suka membangkang dan lain-lain.
Pernah aku membaca sebuah postingan disosial media berkenaan dengan apa yang pernah atau bahkan kupikir masih aku lakukan, jika semua ini tidak sesuai dengan kepercayaan yang aku anut. Aku selalu berpikir, jika semua yang aku lakukan ini mengandung dosa, sudah sebanyak apa dosaku?! Aku bahkan sudah yakin dosaku menggunung, belum lagi dosa-dosaku yang lain.
Aku harus bagaimana??? Aku ingin berhenti, aku ingin seperti saudaraku yang lain, seperti teman-temanku, yang tanpa perlu pusing dan lelah karena harus berkutat dengan semua hal ini.
Itulah serangkaian keluhan dan jeritan hati seorang Leana. Kelelahan hatinya yang diakibatkan oleh kelakuan para orang tua dikeluarganya hanya karena permasalahan dirinya yang belum menemukan tambatan hati diusianya yang sudah seperempat abad.
***
Namaku Leana Putri, nama yang cukup modern bukan? Tapi tidak dengan kehidupanku. Panggil saja tante Rida, kakak dari ibuku yang membuat kehidupannku tidak semodern namaku.
Bukan, bukan karena hidupku seperti orang-orang jaman dulu yang belum ada listrik atau gawai seperti sekarang. Tapi karena kepercayaan tanteku akan hal-hal seperti...bagaimana aku menyebutnya ya, klenik? Ah entahlah apa itu sebutannya. Karena yang pasti tanteku ini selalu saja mengajakku ketempat yang 'katanya' orang terpandang, tokoh agama, yang bisa 'menyembuhkanku'.
Sebentar, awalnya aku bahkan tidak mengerti. Karena aku merasa aku sehat, tidak sakit sama sekali. Tapi, tanteku selalu bilang jika aku harus 'diobati', badanku harus dibersihkan entah dari apa.
Dimulai aku yang disuruh mandi dengan bunga sekian rupa. Disitu aku masih belum paham dan tidak mau melakukannya karena merasa itu semua aneh. Tapi karena paksaan tanteku yang bahkan ibuku tidak bisa menolak, aku pun ikut-ikut saja dan tidak ambil pusing karena pikirku "ah sudahlah, daripada tanteku ini berisik" tapi aku salah. Hal itu ternyata berefek sampai sekarang. Imbasnya, ibuku yang harus 'mengembalikan kenormalanku' sampai aku merasa bosan dan muak.
"Lea, mau ya? Sekali ini aja kok. Terakhir, ibu janji", bujuk ibuku untuk kesekian kali.
"Kenapa sih bu, harus aku yang ngalamin ini? Aku bosen, aku capek, aku... muak. Aku mau kayak temen-temenku yang lurus- lurus aja. Kenapa sih harus mandi lagi mandi lagi, amalan ini amalan itu lagi. Buuu, ini semua gak beneer bu, agama kita ngelarang ini semua..." tapi semua kalimat itu hanya ada dalam ujung lidahku saja. Tak berani aku keluarkan karena merasa percuma. Karena pada akhirnya, aku yang akan disudutkan, disalahkan dan dicap anak yang sulit diatur.