Prolog

11 1 1
                                    

"Biasanya, cewek yang gampang marah itu gampang nangis juga," ucapnya sambil menatap wajahku. "Soalnya, cewek gitu jauh lebih ekspresif dibanding yang lain"

Aku masih ingat jelas kalimat itu. Kalimat yang pertama kali dia ucapkan padaku dulu. Kalimat yang membawa kami pada pertengkaran-pertengkaran yang membuat rindu. Kalimat yang membawa kami mencicipi manisnya remaja putih abu.

Ah, rasanya sudah lama sekali. Aku rindu mata indahnya. Aku rindu senyum manisnya. Aku rindu tawa kelakarnya. Aku rindu dia.

Tapi rindu saja nyatanya tak cukup untuk membuat dia ada di sini sekarang.

"Tahun baru nanti, kita terbangin seribu lentera bareng ya, Mel?"

Aku masih ingat jelas kalimat itu. Janji dalam tanda tanya yang sampai sekarang masih aku tunggu. Tahun baru yang dijanjikan dulu sudah lama terlewat. Begitu pun tahun baru-tahun baru sesudahnya. Janji itu terlupakan begitu saja. Lentera-lentera itu masih tersimpan rapi di gudang, tak tersentuh udara.

Ah, dia. Rasanya rindu ini begitu sesaknya. Foto di dalam dompetku yang kini telah memudar tak mampu membuatku ingat jelas wajahnya. Rasanya sudah begitu lama. Berapa lama? Aku tak menghitungnya. Yang kutahu tahun baru-tahun baru itu kini terlewati begitu saja tanpa ada canda dengannya lagi.

Aku ingat mata indahnya. Aku ingat senyum manisnya. Aku ingat dia. Tapi nyatanya aku tak mampu mengingat bagaimana keseluruhan wajahnya.

Bagaimana jika ditahun baru nanti dia kembali dan aku tak mengenalinya? Bagaimana jika dia kembali tapi dia yang tak mengenaliku? Bagaimana jika ternyata semuanya telah berbeda?

Aku tak ingin munafik. Karena waktu yang terlewat pun tak hanya beberapa. Tak hanya sedikit saja. Walaupun aku masih memiliki rasa, aku tak berani menjamin semuanya akan tetap sama.

Dia tidak pernah memintaku untuk menunggu. Dia hanya mengucapkan janji itu. Lentera-lentera itu.

Apa salahnya jika aku berharap dia akan kembali?

Apa salahnya jika aku menganggap ucapan itu janji bahwa dia akan datang lagi?

Gudang rumahku kini terkunci rapat. Tak ada yang kuizinkan membukanya. Tak ada yang kuizinkan membersihkannya. Biar saja lentera-lentera itu disana. Sebagai pembuktian bahwa aku masih memiliki rasa padanya.

Tapi, kamu, ketika lentera yang keseribu ada, apakah kamu masih akan tetap di sini?

Seribu LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang