Lentera Pertama

11 0 0
                                    

Vania, Agustus 2007

Aku duduk diam di kursi paling belakang. Siapa bilang jadi anak baru menyenangkan? Mereka memandangku dan berbicara di belakangku. Mencari teman baru? Bah, itu tidak masuk dalam agendaku.

Aku sudah berusaha datang pagi-pagi sekali hanya untuk diam dan tak ingin ditanya-tanya. Sengaja kupilih bangku paling belakang, tak peduli seandainya ada yang menempatinya sebelum aku. Jika dia ingin marah, marahlah nanti ketika aku peduli.

Aku benci berada di lingkungan baru. Aku benci bertemu orang-orang baru. Menyesuaikan diri tak pernah mudah, karena mereka selalu manis pada awalnya saja.

Aku tahu aku berbeda. Aku tak seperti mereka yang suka mengumbar tawa hanya untuk secuil pertemanan yang kutahu tak akan berlangsung lama.

"Eh, anak baru ya? Kenalin, gue Melisa," seorang gadis seumuranku mengulurkan tangannya. Dia manis, sebenarnya. Dengan rambut lurus hitam legam dan lesung pipi di sisi kiri wajahnya.

Tapi, apa aku mau menyambut uluran tangan itu?

"Gini, nih!" serunya sebal sambil mengambil paksa tanganku yang sedari tadi masih terlipat rapi di atas meja. "Nih, namanya kenalan" ucapnya bangga, seolah baru saja mengutarakan judul karya ilmiah yang mengagumkan.

"Nah, waktu salaman gini, elo harusnya nyebutin nam-- aduh!"

Saking terkejutnya dengan tindakannya barusan, aku tidak sadar ada seorang pemuda berjalan mendekat dari belakang gadis itu. Kepala gadis itu dipukul dengan gulungan buku yang dipegang pemuda itu.

"Kenapa sih elo suka nakutin orang?" tanya pemuda itu sebal.

Melisa menoleh. Wajah ceria yang ditunjukkannya tadi berubah sebal, walau kulihat ada binar-binar bahagia di sana. "Kenapa sih elo nggak bisa bagusan dikit kalo nyapa gue?"

Pemuda itu terkekeh. "Sori deh," dia melirikku, "tuh anak barunya takut sama lo nggak sadar apa. Tampang Nyi Garong lu tuh nyeremin abis masa nggak sadar juga, sih?"

Aku memandang mereka bergantian.

Mereka saling mengejek, tapi tak urung tersenyum. Mereka bertengkar, tapi hanya di luarnya saja. Ah, orang pacaran memang selalu menarik untuk diperhatikan.

"Kita nggak pacaran, ya!" sergah Melisa cepat.

Ucapannya seolah dia bisa mendengar pikiranku barusan. Kaget, tapi lebih bingung lagi ketika dia mengatakan mereka bukanlah sepasang kekasih. Karena aku tidak pernah salah menilai orang. Dan mungkin, karena hal inilah aku selalu membangun dinding pembatas tinggi antara aku dengan dunia luar. Karena aku tahu seperti apa asli setiap orang, dan aku benci kepura-puraan seperti itu.

"Gue ngomong gini soalnya tampang lo udah kayak nuduh kita pacaran. Heran deh gue, kok setiap orang selalu mikir gue sama Kenzo itu pacaran. Gimana bisa gitu ya?"

Eh, mungkin karena kalian berdua terlalu dekat hingga terlihat seperti pasangan? Mungkin karena binar di mata kalian ketika saling menatap? Mungkin karena kalian saling menyukai satu sama lain?

Tapi semua itu hanya di pikiranku saja, tidak ada satupun yang terlontar dari mulutku.

Ah, pikirku, mereka ini tipikal pasangan yang saling sayang tapi tidak mau mengutarakan perasaan masing-masing. Biarlah.

Pemuda bernama Kenzo itu memutar bola matanya, "by the way, gue Kenzo," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Sejenak aku mengamatinya, lalu berpindah ke tangannya. Kenzo Dan Melisa memperhatikanku yang memperhatikan tangan Kenzo. Pasti mereka berpikir aku tidak akan membalas uluran tangan itu.

Karena yang selanjutnya Kenzo lakukan adalah menarik sebelah tanganku, menggenggamnya Dan berkata, "Gini nih, ini namanya salaman. Habis ini elo harus sebutin nama lo, terus--"

Ucapan Kenzo terputus ketika Melisa dengan mudahnya memukul kepala Kenzo dengan buku yang tadi digunakan Kenzo untuk memukul Melisa.

"Kok lo copy-cat, sih?! Itu kan tadi yang ngomong gue!" seru Melisa tidak terima.

Dan pertengkaran mereka berlanjut hingga bel masuk berdering, hingga seorang guru masuk, Dan mendiamkan mereka. Seolah-olah pertengkaran antara Kenzo-Melisa adalah hal wajar yang selalu terjadi.

---

Waktu itu, kupikir habislah hidup tenang yang kuinginkan di sekolah Baru ini.

Karena kenyataannya, kedua orang itu memang tidak pernah membiarkan hidupku tenang, sampai suatu ketika tragedi itu terjadi. Tragedi yang membuat kami bertiga mati, dan tidak bisa kembali lagi.

Seandainya waktu bisa berputar, mungkin aku akan mengubah sesuatu hingga semuanya tidak berakhir seperti ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seribu LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang