part 1

17.6K 80 0
                                    

Amara sangat kehilangan inspirasi, untuk semua tulisan yang tengah digarapnya.
Jangankan untuk merampungkan novelnya, untuk mengejar target beberapa puisi dan cerpenpun, ia tak lagi bergairah.
Semangatnya pudar bersamaa pupusnya asa, ditinggal sang kekasih.

Single mom dengan seorang putri itu, sebenarnya tidaklah akan kesulitan, jika ingin menemukan pengganti dari sang belahan jiwa yang telah dijemput takdir. Bagaimana mungkin mata jutaan pria diluar sana, tidak akan tertarik dengan molek tubuhnya. Hal itu ditunjang pula dengan paras ayu nan lembut khas Indonesia.
Ditambah lagi nada bicaranya yang lembut dan manja. Membuat semua hati bergetar, kala perbincang dengan wanita dua puluh tujuh tahun (27th) itu. Namun ia lebih memilih sendiri, sementara berbenah hati nan remuk.

Ratusan hari sudah dilaluinya dengan sepi. Ia berupaya fokuskan menggeluti dunia literasi, demi cita untuk sang buah hati. Satu-satunya harta berharga, peninggalan sang suami untuk dirinya.
Hari berganti bulan, begitu cepat berganti tahun, dilaluinya hampa. Mungkin jika tiada Luna, iapun mantap memilih menyusul belahan jiwanya. Memberikan separuhnya lagi jiwanya yang sudah tidak utuh.
                          * * * * * * *

Hingga memasuki tahun ke dua kematian Noah, Amara masih kerap kali berkunjung ke sana, sebuah makam bertulisan Noah bin Abdul Satar, dimana sebagian jiwanya ikut terkubur.
Setiap Jum'at, selepas waktu shalat jumat, bunga-bunga di makam tersebut, seperti sudah dijadwalkan untuk diganti dengan yang baru.
Tangan lembut nan mulus itu sendiri membawakannya, menatanya dengan hati-hati, bersama kepingan hati dan uraian air mata yang masih saja tertumpah setiap kali kunjungan. Tanpa didampingi siapapun, ia ingin lebih privasi dengan sisa asanya.

Siapapun disana sudah hafal dengan dirinya, apalagi sosok Mbah Khusni, penunggu makam.
Ia pegawai tertua dan sebatangkara, usia rentanya yang memasuki 74tahun, tidak meredupkan semangatnya untuk terus berjuang dengan keringat sendiri.

"Sudah nyekarnya, non Amara?"
Sapanya menundukan sedikit tubuhnya yang memang sudah mulai membungkuk.

"Iya Mbah, sudah. Oh iya, ini ada sedikit camilan untuk Mbah. Tadi pas baru sampai saya ga liat Mbah, jadi nyekar dulu aja." jawabnya sembari mengulurkan tangan, menyerahkan sebuah bungkusan yang digenggamnya.

Perempuan muda itu menghentikan langkahnya didepan pos petugas.
Senyuman tidak pernah lupa menghiasi wajah ayunya.

"Oh iya mbah, sekalian saya titip ini. Tambahnya menyerahkan segulung bunga usang, bekas minggu lalu.

"Iya non, sini Mbah buang.
Terimakasih banyak ya nak, tidak usah repot-repot membawakan mbah makanan."

"Tidak repot kok mbah, tadi sekalian lewat.
Mara balik dulu ya mbah!" jawabnya masih dengan penuh kesopanan.

"Nak Amara!"
Mbah Khusni sedikit berteriak, melambaikan tangan kembali pada Amara yang baru beberapa langkah meninggalkannya.
Tubuhnya yang mulai renta, tampak sedikit tergopoh, juga kesulitan menghela nafas, menyusul Amara yang menghentikan langkahnya.

"Ya Mbah, ada apa ya?"
Ia menoleh kembali, sebelum sampai ke mobilnya.

Dari arah pandangan, kakek itu berjalan agak cepat menekatinya, lagi.

"Oo.. Itu, mbah lupa tadi mau tanya. Itu siapa yang dari tadi menemanimu, nak?"
Pandangannya menunju ke sudut mobil Amara.

Bola mata ibu muda itupun seketika mengitari arah yang ditunjuk kakek tersebut.
Raut bingung terpancar dari wajah cantiknya.
Menyeringitkan dahi, dan sedikit mengangkat kedua bahu, pertanda bingung.

"Mbah baru kali ini melihatnya. Temannya non Amara ya?"
Imbuhnya lagi.
Sedari tadi mbah Khusni bertanya sedikit canggung, tidak seperti biasanya.
Ia tidak henti memilin ujung kemeja lusuh yang ia kenakan.

Bercinta dengan arwahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang