CHAPTER 11: DRUNK

165 20 7
                                    

Pusat perbelanjaan di kota memang selalu dipenuhi dengan orang-orang juga gemerlapnya dunia hiburan. Salah satu tempat yang menjadi tujuan Eve di area tersebut adalah toko komik.

Eve memasuki sebuah bangunan dengan pintu kaca tebal berhiaskan berbagai poster anime di permukaannya. Ia celingukan di antara rak-rak kayu jati yang berjejer rapi. Lantas gadis itu langsung berseri begitu menatap deretan komik-komik tebal berjudul Shounen Jump.

Jemarinya bergerak lincah, mengambil salah satu komik dan membawanya ke sudut ruangan. Tanpa merasa bersalah, gadis itu langsung merobek plastik pembungkus komik dan segera menyantap suguhan cerita di dalamnya.

"Wah, cerita One Piece minggu ini keren banget," gumam Eve. Tak butuh waktu lama baginya untuk terlarut dalam bacaan tanpa tahu kalau di depan toko, ada Chifuyu yang sedang kehabisan napas.

Lelaki itu menyandarkan dirinya pada dinding. Tenggorokannya terasa tercekik akibat berlari tanpa henti, berusaha mencari kawan gadisnya.

"Sial, ke mana perginya gadis itu? Aku harus mencari ke mana lagi?" keluh Chifuyu sembari tetap memasang tatapan waspada ke area sekitar. Berkali-kali ia juga merutuki motornya yang harus masuk bengkel lagi.

Nihil. Tak ada tanda-tanda gadis itu di sana. Kemudian lelaki itu pun kembali melajukan langkahnya. Ia pergi menjauhi toko komik.

Tak lama setelah itu, Eve keluar dari bangunan abu-abu tersebut. Perasaannya puas setelah membaca habis komik kesukaannya tanpa membayar. Dulu, dulu sekali ... ia biasa melakukan hal ini bersama Baji dan Mikey.

Semuanya terasa menyenangkan pada masa itu. Lambat laun, anggota mereka bertambah. Untuk pertama kalinya, Eve bertemu dengan Draken, Kazutora, Mitsuya dan Pah. Eve yang selama ini selalu terasing di dalam rumah sendiri pun merasa bahagia meski nyatanya teman-teman Mikey menganggapnya bocah rese.

"Hei cepat angkat ekornya! Aku mau lihat reaksi kucing itu!"

Napas gadis itu seketika tercekat. Kini pandangannya fokus pada gerombolan anak berandal di sudut gang gelap. Di sana ada lima orang lelaki yang tampak asyik menyakiti seekor kucing hitam.

"Coba tebak, apakah ekornya akan putus?" Salah satu anak berandal itu menarik ekor si kucing lalu mengangkatnya hingga membuat sang hewan malang mengeong kesakitan. Namun seakan tuli, kelima anak itu malah tertawa terbahak.

"Kurang ajar!" sentak Eve. Ia sudah tak tahan lagi. Gadis itu berlari lalu melayangkan pukulannya ke rahang si lelaki yang tengah menyiksa sang kucing hitam.

BUAG!

"Sialan! Siapa kau?!" sentak laki-laki itu sembari susah payah menahan pusing.

BUAG!

Satu pukulan Eve layangkan kembali hingga tubuh si lelaki terdorong ke belakang dan menabrak keempat kawannya. Gadis itu lanjut menghajar kelima preman tersebut hingga wajah mereka dipenuhi memar ungu.

Ayaka Natsumi bagaikan hewan buas yang siap melahap mangsanya. Kulitnya masih mulus, tak tergores sedikit pun meski nyatanya kelima lelaki di depan selalu berusaha memberikan serangan balasan.

Merasa harga diri akan tercoreng apabila sampai pingsan di depan seorang gadis, para preman pun langsung lari terbirit-birit sambil melayangkan sumpah serapah.

"Dasar bangsat! Awas saja kalau ketemu lagi!"

"Kali ini kau menang, tolol!" Salah satu dari preman tersebut melemparkan sebuah kaleng emas ke arah Eve sebelum pada akhirnya kabur menyusul kawanannya.

HAP! Eve menangkap kaleng tersebut dan langsung menenggak isinya karena kelelahan.

"Pweh! Apa ini? Pahit!" gerutu gadis itu sambil melempar minuman di tangan ke arah sisi-sisi dinding pertokoan. Tanpa bisa diduga, perlahan pandangannya mendadak kabur. Eve sampai harus repot-repot menahan bobot tubuhnya dengan berpegangan ke dinding.

A-apa yang terjadi?

Tak hanya itu, dunia pun terasa jungkir balik. Semua hal berputar bagai di dalam sebuah pusaran air. Eve tidak bisa menahannya lagi. Gadis itu pasrah lalu duduk meringkuk di atas aspal.

Apa anemiaku kumat lagi ya? pikirnya.

Cahaya senja yang menelusup masuk di antara celah gang menyirami tubuh Ayaka Natsumi dengan nuansa damai nan hangat. Di tengah rasa pusing yang dideritanya, Eve menikmati pemandangan tersebut.

Cahaya senja yang berwarna emas itu selalu berhasil membawa kenangan sang gadis kembali ke masa lalu. Masa di mana ibu dan ayahnya masih bisa tersenyum tanpa beban. Eve merindukannya. Ia ingin orang tuanya kembali.

Sejak kalian pergi ... aku sendirian ... selalu sendirian.

"Eve!" Pada akhirnya cahaya senja yang membawa berjuta kenangan itu padam. Ada sosok manusia yang berdiri di depan gang. Matsuno Chifuyu berjalan tergopoh menghampiri Ayaka Natsumi.

Lelaki itu memeriksa keadaann kawannya sambil harap-harap cemas. Sebab hidungnya menangkap aroma alkohol di sekitar gadis itu. "Astaga, apa yang kau lakukan?! Aku panik mencarimu tahu!"

Eve mengangkat kepalanya lalu menoleh dengan tatapan sayu.

"Kau pucat sekali," kata lelaki bersurai pirang itu. Ia buru-buru mendaratkan telapak tangannya di dahi Eve. "Eh, kau dingin, Eve. Kau ini minum alkohol atau bagaimana sih? Bau sekali tahu!"

Eve menggeleng. Tidak punya tenaga untuk menjawab. Ia sendiri pun tak tahu menahu apa isi kaleng emas yang baru saja ditenggaknya.

"Baiklah." Chifuyu tiba-tiba berjongkok, membelakangi kawannya. "Naik. Aku yakin di rumahku ada obat yang bisa menangani mabukmu."

Gadis itu setuju. Ia bergelayut di punggung sang pengawal seraya memejamkan kelopak netranya. Sementara itu Chifuyu mulai berjalan, menjauhi gang menuju sebuah area perumahan yang letaknya tak jauh dari situ.

"Hei." Suara Eve terdengar serak.

"Hm?"

"Siapa kau?"

Chifuyu mengerutkan kening. Seketika simbol perempatan imajiner muncul di wajah lelaki itu. "Aku Chifuyu," katanya.

Eve terkekeh. "Oh, kukira Mikey."

Chifuyu cemberut. Ada rasa perih yang menusuk di hati yang kini berusaha ia abaikan. Tapi mau bagaimana lagi, lelaki bersurai pirang itu harus selalu berada di dekat Ayaka Natsumi. Menghapus debaran jantungnya untuk gadis itu tentu bukan perkara mudah.

Lelaki itu pun menunduk hingga untaian poninya menutup sebagian wajah. Hingga kemudian, Eve bersuara lagi.

"Tapi aku suka kalau kau yang datang menjemputku."

DEG! DEG!

"Yang benar?" Ribuan kupu-kupu seketika berterbangan di dalam perut sang lelaki. Ia tidak bisa bohong kalau saat ini dirinya merasa bahagia.

"Iya, terima kasih ya."

Memang, semudah itulah Ayaka Natsumi mengobrak-abrik hati Chifuyu Matsuno. Seolah hanya gadis itu yang memiliki kunci hati sang lelaki.

Tokyo Revengers EveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang