Bagian I

37 7 0
                                    

"Kamu yakin?"

"Udah kesekian kalinya aku sangat yakin kalau mengambil keputusan." Jawabku.

"Tapi, sebelumnya kan..."

"Kamu ragu sama keputusan aku?" Aku memotong ucapannya.

"Sama sekali nggak. Ini emang keputusan tepat buat kalian. ..."

Omongannya yang seakan meragukanku membuat aku hampir ingin berubah fikiran mengenai hal ini. Tapi aku harus menyelesaikan secepatnya. Aku tidak mau berlama-lama terjebak di dalam masalah ini. Aku harus siap. Aku harus membuat dia menjelaskan semuanya.

"... Cuman, apa ini gak terlalu buru-buru?"

***

Pesisir kota, dengan kondisi perkampungan gersang dan bau dari sungai yang memupuk limbah rumah tangga di dalamnya. Pohon rindang pun bisa dihitung jari. Jari dari satu tangan. Jaraknya pun jauh sekali satu sama lain. Seperti percuma kehadirannya. Aroma khas pula setiap waktunya terhirup dari asap-asap pabrik di sekeliling kampung. Membuat sempurna sekali kondisi pesisir kota ini untuk orang yang ingin menurunkan imunitas kesehatannya dengan tinggal di sini.

Keluargaku salah satunya. Kakek bilang dulu ia sering berenang di sungai itu. Aku terheran-heran. Memangnya sekuat apa kekebalan tubuh manusia pada masa kakek. Sampai-sampai mereka kuat berenang di sungai yang sekarang akupun tidak mau menyentuh airnya sama sekali. Kakekku tertawa ketika aku berbicara padanya terkait hal tersebut.

Ternyata memang dulu kondisi pesisir di sini adalah lokasi nomor satu bagi masyarakat pribumi untuk tinggal. Dengan banyaknya pohon-pohon di sekitar, sungai yang jernih, asap-asap pabrik yang tidak perlu dihirup. Karena memang tidak ada pabrik dan pihak pimpinan melarang adanya pembangunan pabrik-pabrik di sekitar.

Lagi-lagi aku terheran, mengapa walikota sekarang malah bertolak belakang dengan prinsip pemimpin di masa kakek. Padahal akan jadi lokasi nomor satu di dunia mungkin jika tetap mempertahankan keasrian nya.

Aku menghela nafas.

Seharusnya aku tidak tinggal di sini. Seharusnya aku bisa tetap menikmati ladang hijau luas dengan sejuknya udara yang berhembus. Seharusnya aku bisa bermain dengan puas bersama teman-teman.  Seharusnya aku tidak menghirup asap-asap ini setiap hari. Seharusnya aku bisa merasakan segarnya menikmati sungai yang jernih, yang terhindar dari tumpukan limbah pabrik dan rumah tangga. Seharusnya.

Aku berbaring di kasur setipis 2 jari. Di kamarku yang luasnya pun tidak lebih dari enam kotak keramik setiap sisinya. Selalu aku memimpikan kehidupan yang nyaman dan tentram. Helaan nafasku sekarang panjang yang pastinya diselimuti debu pabrik dan seketika aku teringat jika aku harus ke markas segera. Adam menungguku.

"Lama banget, tahu." Sambutan Adam setibanya aku di markas.

"Maaf, Dam. Aku lupa hehe."

"Hah? Kita sudah menyiapkan ini dari 2 minggu yang lalu. Masa kamu gak ingat. ...

... Ohhh, aku tahu. Pasti kau lupa karena sibuk dengan hal itu kan? Sudahlah. Kita fokus dulu sama yang satu ini." Kata Adam.

Adam satu-satunya sahabatku yang ada di pesisir kota ini. Tidak banyak anak-anak di sini. Juga tidak banyak yang sering berlalu lalang bermain di pesisir kota ini. Ketika anak-anak beranjak remaja, sekitar usia 13 tahun ke atas mereka langsung mencari kesibukan bekerja untuk menghidupi kehidupannya yang pas-pasan. Ada juga yang menganggur abadi. Padahal usianya sudah lebih dari 30 tahun tapi pekerjaan pun tidak punya. Hanya pasrah dengan kemiskinan yang sudah terlabel padanya sejak muda.

Kehadiran Adam membuatku senang. Aku ada kesempatan untuk menikmati sedikit masa muda dengan bermain. Walau kami terpaut usia 3 tahun. Adam yang lebih tua pun sudah mempunyai pekerjaan serabutan untuk menghidupinya. Apapun itu akan ia kerjakan selagi bisa mendapat upah. Makanya bertemu dengannya pun tidak setiap hari karena pekerjaan dia.

Bertemu di Pesisir KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang