01

649 68 1
                                    

Awalnya, semuanya terasa biasa saja.

Hari-hari yang Juang lewati layaknya anak delapan belas tahun pada umumnya. Bermain bersama teman-teman, sesekali nongkrong sampai pagi jika itu di akhir pekan, main game online di warnet, mencari keong di sawah tetangga untuk bebek peliharaan Ibu, sekolah, dan kegiatan lainnya layaknya anak delapan belas tahun yang normal.

Juang bukan anak bandel. Dia penurut meski seringkali selisih paham dengan Bapak. Jika sudah beda pendapat dengan Bapak, ia memilih melipir pergi dibanding adu urat. Kalau dengan Ibu, Juang tidak pernah membantah. Diam saja meski Ibu marah-marah sambil berteriak.

Lalu Bapak meninggal tiba-tiba. Serangan jantung -di depan pasar saat mencari penumpang untuk naik bentor (becak motor) miliknya. Satu bulan, sebelum Ujian Nasional tiba.

Dunia Juang seolah dijungkir balikkan Tuhan dengan paksa.

Tulang punggung keluarga kecil mereka berpulang. Menyisakan Ibu yang kini menjadi seorang janda tanpa pendapatan; Ayesha -si mahasiswi semester tua fakultas MIPA Universitas Jendral Soedirman (urusan skripsi dan wisudanya jelas butuh banyak biaya); Juang yang masih duduk di bangku kelas dua belas Sekolah Menengah Kejuruan; dan Aji -si bungsu yang kini duduk di kelas delapan, sekolah menengah pertama.

Kenyataan pahit itu bukan hanya tentang tulang punggung yang berpulang, namun kepergian Bapak memunculkan fakta lain bahwa pria itu meninggalkan sejumlah hutang yang kini jadi beban tanggungan ahli waris. Belum lagi dengan betapa rusuhnya keluarga Bapak yang mempertanyakan hak terkait tanah waris milik keluarga besar mendiang orang tua Bapak yang keluarga Juang tempati selama ini.

"kita masih berduka, bisa-bisanya Buk lik dan Pak lik nanyain tanah waris?" seru Juang dalam amarah.

"lha, perkara waris dan hutang piutang ini kudu segera di selesaikan. Biar tidak memberatkan almarhum. Kamu belajar agama, kan?" Pria tua dengan wajah yang mirip dengan Bapaknya Juang itu berujar. Paklik Dharma, adik Bapak paling kecil.

"kalau Paklik mau bicara tentang agama, harusnya kalian semua ini berembug bagaimana mengurus kami. Yatim-yatimnya Bapak ini sekarang jadi tanggungan kalian. Bukan ribut warisan duluan! Kalian bisa abai soal Mbak Yesha dan aku, karena kami sudah dewasa; tapi Aji masih kecil."

Mendengar kalimat Juang barusan, Buk lik mendesis tak sependapat.

"Juang... kamu di sekolahkan tinggi sama Bapakmu buat njawabi omongan orang tua?" ujar Buk lik Wina.

Ibunda Juang menggeleng kecil ke arah sang putra. Menegaskan untuk tidak lagi memperkeruh keadaan.

"biar di rembug dulu ya, Dik Win..." pinta Ibu dengan suara lemah lembut. "sekiranya mesti pindah, biar nanti kami cari tempat dulu."

Jawaban Ibu menjadi kelegaan untuk mereka. Namun luka baru untuk Juang.

Bahwa tidak ada yang namanya keluarga; perkara harta maupun tahta.

------

Jalan Juang || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang