03

29 8 18
                                    

Gemerisik angin menelusuri jari, Meisya masih betah mengamati pohon-pohon yang menjulang tinggi, memandang ke arah para pengendara dan pejalan kaki, memang kebiasaannya saat berangkat bersama Ibu yang mengendarai mobil pada pagi hari.

Alunan nada klasikal masih pada takhta pertama di dalam mobil, betapa kelakarnya hingga menguji kesenangan Meisya.

Ibu tidak mengumbar kekesalan pada waktu yang tidak tepat, bukan pula tampak jenuh dengan posisi Meisya di sampingnya yang tengah latihan bernyanyi atau barangkali sambil menikmati. Namun, Ibu hanya tersenyum tipis dan tetap mendayung kepala sebagai tanda terima.

Meisya istimewa dengan caranya.

Meski pada awalnya, dengan atau tanpa Meisya lakukan untuk lebih jauh mendalami dunia klasik, Ibu tidak mengizinkan secara mutlak.

Kini yang diterima Meisya adalah kebebasan. Entah itu ditempati selamanya atau berujung sementara.

Ibu mengecup kening Meisya, sesaat mengusap rahangnya secara lembut.

Tak di rasa lokasi sudah sampai tujuan, Meisya terkekeh kecil ketika masih menatap tatapan mendalam sang Ibu. "Mau sampai kapan kita harus dengan posisi yang seperti ini?"

Ibu beringsut mundur, "Entah, Ibu kali ini mengantarmu. Biasanya kita berdua jarang bersitatap saat pagi. Jadi posisi barusan adalah sebagai penggantinya. Keren, bukan?"

Meisya cepat-cepat mengecup pipi kiri sang Ibu, "Lain kali kita harus sering seperti ini. Kalau begitu, aku pergi. Hati-hati di jalan, Ibuku tercinta!"

Setelan turun dari mobil, Meisya mengayunkan tangan beberapa kali pada Ibu. Lambat laun mobil tersebut menghilang oleh kabut pagi buta.

Perempuan itu pun melangkahkan tungkainya menuju lobi, menyusuri koridor hingga menempati lantai kedua. Tempat kelas tambahannya berada.

Jadwal kelas umum jika hari ini memang libur, namun karena ia masih mengingat bila masuk tambahan ekstra kelas, sekarang waktunya untuk berada di sekolah.

Kelas sepi, situasi terlihat dingin hingga merasuk sukmanya.

Lantas Meisya memejamkan mata dan berdoa, setidaknya ia harus punya citra baik di hadapan Tutornya nanti. Selagi berdoa, nampak bagaskara menyinari kedamaiannya.

Sekejap aksanya menatap para cahaya itu masuk ke rongga jendela kelas perlahan-lahan. Dibarengi dengan guyonan beberapa murid yang sedang berjalan menuju ke sini, terlihat di jendela koridor.

Kelas Piano Wolzer hanya punya delapan anggota, masing-masing sudah diatur sebagai pasangan sesuai nominasi.

Termasuk dirinya yang sudah mempunyai sepasang calon juara, ya, Meisya memang menginginkan kejuaraan itu ada melekat padanya.

"Tahu tidak, kalau salah satu anak unggulan A ternyata memilih kelas kita dibanding dengan kelas Rytalles!"

"Kamu dapat informasi itu dari mana?!"

"Dari artikel form! Kamu sepertinya belum membaca artikel ekstra sekolah sampai ke akar ya? Dari pada itu, aku menyesal sekali tidak masuk jajaran kandidat sebagai pasangannya!"

"Tetapi, bukankah yang kita bicarakan ini adalah anak dari keluarga Pundiga?"

Siswi itu mengangguk cepat, "Benar sekali! Lebih tepatnya si bungsu Pundiga."

[.]

Giliran Meisya berlatih suara, peserta penyanyi dan satu pasangan sedia piano lain pun sudah berpulang dan kini hanya ada dirinya dengan Tutor Lolyta.

Beliau mengetuk-ngetuk jarinya sembari memandangnya ramah. "Bagus, melodi dan daya tarik kamu sudah duduk pada tempatnya. Cara berimprovisasi pun cukup memikat hati, namun satu kekurangannya adalah kamu masih belum menelaah bagaimana suatu rasa itu bisa bersemayam dalam jiwamu."

"Suara kamu indah, tetapi penyampaian kamu belum tersampaikan secara sempurna. Itu yang harus kamu asah."

Meisya tadinya merasa ikut antusias bisa menampilkan kesesuaiannya, namun diakhir rajutan kata itu seakan menohoknya tepat pada lubuk hati.

Kedip-kedip, aksanya menahan goyah dan berusaha memandang Tutor Lolyta amat sangat baik. "Baik, Bu—"

"Shalom aleichem!"

Tiba-tiba seseorang mengucap salam seraya terengah-engah, sepertinya habis berlari.

Tutor Lolyta begitu juga Meisya turut menoleh menghadap pintu yang terbuka tergesa, Meisya tidak mendengar salam si pria. Justru perlahan melotot karena eksistensinya, hei? Bukankah dia yang menggangguku kemarin sore?

Meisya mengerjap-ngerjap tak percaya, sekejap meminimalisir rasa kesal yang tiba membuncahnya tanpa permisi.

Tutor Lolyta menyambut pria itu ketika mengatakan, "Dari mana saja kamu? Ibu cari-cari kamu di ruang kepala sekolah."

Si pria menghela napas amat kasar, rongga dadanya masih memompa naik turun tanpa jeda. "T-tadi saya ada perlu sebentar ke parkiran, apa saya telat Bu?"

Tentu saja, kendati Tutor Lolyta malah menggeleng dan sesaat tersenyum. "Ya sudah, kita mulai saja untuk pertemuan pertama,"

"Meisya, kamu akan kolaborasi dengan anak unggulan A ini selama enam bulan. Setelah kalian berdua belajar telaten bersama saya, kalian akan gladi resik sesudah itu direkam untuk bukti dokumentasi. Jadi ketika atau sebelum di hari-H nanti, rekaman itu bisa kalian saring dan mengasah apa yang harus dikoreksi."

Sebaliknya, Tutor Lolyta melirik pria di sampingnya dan berkata, "Kenali diri kamu, kamu akan terus bertemu dengan Meisya."

Pria itu baru tersadar, ternyata perempuan yang ditemuinya kemarin sore ada bersamanya saat ini. Lebih-lebih speechless ternyata keduanya dipasangkan dalam satu nominasi.

Kemudian salah satu tangannya terangkat. “Saya Pundiga Jake Sim, panggil saja Jake.”

Meisya sedikit terperangah, Jake... jadi orang tidak sopan ini betulan Kakaknya Sella nih?

Salam tidak Meisya balas dan hanya menjawab dengan berkata, “Meisya, aku Li Baise Meisya.”

.
.
.

[Tbc.]

[Kakaknya Sella alias kakak sepupu ya]

Sebelumnya rencana under/tepat 700 word. Eh kelebihan sedikit, gaoaoa... semoga kalian tetap suka?

Btw, perjalanan mereka masih panjang dan kisah romansa keduanya pun belum dikembangkan. Apalagi dengan konfliknya (?)
Hehe stay tuned aja! <3

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[2] Blue and Grey | JAKE ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang