1. How we meet?

1 0 0
                                    

Namaku Elouise Mattea, tidak terdengar seperti nama Indonesia pada umumnya memang. Ibu dan ayah menikah di tahun 2010, lalu di 2012 aku lahir bersamaan dengan tahun lagu Elouise milik the lumineers rilis. Ayah bilang ibu menyukai lagu itu, tiada hari tanpa ia dengar dari 2 bulan menjelang kelahiranku.

"Aku ingin memberi nama anak kita Elouise ya, nama belakangnya terserah kamu," begitu kata ibu pada ayah saat aku berusia 8 bulan dalam kandungan.

Dan, Mattea adalah nama ibuku, yang ternyata juga tidak terdengar seperti nama Indonesia. Kata ayah aku sangat mirip dengan ibu, bentuk bibir dan mataku. Aku tidak tau benar mirip atau tidak, karena 7 bulan setelah aku hidup di dunia, tuhan mengambilnya.

Itu adalah sepenggal kisah kenapa aku bisa diberi nama Elouise Mattea. Aku suka nama ini. Aku menyayangi nama ini karena, ibu dan ayah.

Sebenarnya aku tidak ingin memberitahu ini, tapi karena sudah menceritakan sedikit kisahku. Maka ku beritahu saja, hari ini aku berusia 16 tahun! Waw! 7 October 2028, aku tak ingin memberi tahu karena tak ingin terkesan seperti berharap ucapan selamat atau barang kali kado.

2 jam lagi, aku dan ayah akan pergi ke sebuah tempat yang telah ia janjikan, konser music Jazz, ya aku dan ayah adalah penyuka musik Jazz. Awalnya aku tidak begitu tertarik, tapi ayah selalu memutarnya. Seperti tidak ada pilihan, aku harus menyukainya juga.

Aku merasa kasian, ayah menyiapkan dirinya sendiri, belum lagi aku. Ya terlihat kini didepanku ayah sedang kerepotan menyiapkan barang- barang yang ehmm... sebenernya tidak perlu dibawa. Aku ingin menolong tapi tidak di izinkan.

"Enggak Elouise, kamu lagi ulang tahun, ini hari spesialmu, ayah gamau kamu capek, dan berkeringat, hari ini kamu ratunya"

Demi apapun, ayahku paling keren.

"Ayah, gak mau coba nikah lagi?" Dengan gamblang tanpa pikir panjang aku mempertanyakannya.

Pertanyaan konyol aku tau! ayah yang tadinya sibuk tiba tiba berhenti dengan menghampiriku.

"Kenapa? Kamu bosan karena hanya tinggal berdua dengan ayah?"
"Nggaakk!!  Sama sekali gak kayak gituu" elakku, mana mungkin. Ayah sudah pake komplit buatku.
"Begini, aku sudah 16 tahun dan belajar tentang hal hal seperti itu... maksudku..." aku jadi bingung sendiri menjelaskannya.
"Aku merasa mungkin, ayah butuh teman tidur? Atau sedikit kesepian, dan mengurusku seorang diri juga cukup melelahkan buat ayah..."

Ayah tersenyum lembut, ia mengusap kepalaku. "Ayah mencintaimu, dan ibumu"

Satu kalimat yang menjawab pertanyaanku. Ayah tidak berniat untuk menikah lagi. Tuhan, kalau boleh minta aku mau jodoh yang seperti ayah. Yang sangat mencintai istrinya dan anaknya. Sangat bertanggung jawab, dan tidak kasar.

Selain itu, ayahku sangat bertalenta! Ya aku mau pamer bertapa kerennya ayahku ini, dia jago main musik, dan bisa membuat pottery. Hehehe kebetulan ayahku penjual pottery. Hanya usaha kecil kecilan yang ternyata mampu menghidupkan aku tanpa berkekurangan.

"Kita ke tempat ibu dulu ya?"
"IYAAA, udah ayah siapin?"
"Anggrek kuning, tujuh tangkai"
Ayah menitipkan bunga tersebut padaku, ya Anggrek adalah bunga kesukaan ibu, kuning adalah warna favoritnya.
Aku mengacungkan jempolku pada ayah, lalu kami berangkat menggunkan jeep tua milik ayah, yang sudah hidup 10 tahun lebih, ia beli ketika aku umur 6 tahun.

Hanya butuh waktu 15 menit, kami tiba dipelataran makam. Aku bersemangat bertemu ibu, karena ada banyak yang mau aku ceritakan tapi harus ku singkat agar tak terlambat pergi menonton konser.

Jazz with me.n.uTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang