Sasuke meletakkan peralatan kerjanya, dan memutar kursinya ke arah jendela. Dia merenung menatap pemandangan di bawah sana, dari kamar penthousenya yang terletak di lantai paling tinggi gedung itu, mobil-mobil di bawah hanyalah tampak bagaikan titik-titik berwarna-warni yang bergerak lalu lalang.
Pemandangan yang tidak menarik.
Sasuke membunuh rokoknya di asbak dan mendengus, hidup sungguh membosankan. Dia memang bisa dikatakan lelaki yang sangat beruntung. Di usia yang ketigapuluh, Sasuke bisa dikatakan sudah mencapai puncak kehidupannya, sebagai seorang arsitek jenius, dia tidak perlu mencari pendapatan, semua orang berlomba-lomba untuk menggunakan jasanya, bisa dikatakan dia hanya tinggal duduk dan uang datang kepadanya.
Yah, dan yang lain-lain kemudian mengikuti datang kepadanya karena dia punya uang.
Sasuke berdiri dari kursinya dan mengambil jaketnya, dia memutuskan akan keluar dan mencari secangkir kopi di kedai yang buka hingga tengah malam. Insomnia ini seolah sudah menjadi sahabatnya, dan yang bisa dilakukannya hanyalah duduk merenung dalam kesendiriannya.
Begitu turun dari lift di lantai paling bawah, Sasuke melangkahkan kakinya di lobby, penjaga pintu di depan tersenyum kepadanya, dia sudah biasa melihat Sasuke keluar tengah malam, berjalan kaki menuju cafe terdekat dan baru pulang hingga menjelang pagi.
Dengan langkah tenang, sambil menyulut kembali rokoknya untuk melawan udara dingin yang langsung menyergapnya, Sasuke menuju ke cafe di ujung jalan yang selalu menjadi tempat nikmatnya untuk merenung dan menyesap secangkir kopi yang harum dan lezat, dia memilih tempat duduk favoritnya, di pojok yang sedikit tersembunyi, membuatnya leluasa duduk dan berpikir sepanjang malam sambil menyesap kopinya.
Seorang pelayan yang sudah sangat familiar dengan kedatangannya langsung mendekatinya dan menawarkan buku menu, meskipun dia sudah tahu apa yang akan dipesan oleh Sasuke, secangkir espresso yang kental dan menguarkan aroma kopi yang tajam. Sasuke akan memesan setidaknya tiga cangkir sampai menjelang dia meninggalkan cafe itu ketika dini hari.
Lalu dia melihat perempuan itu, sedang membersihkan sebuah meja berminyak sisa pengunjung sebelumnya. Sasuke selama ini sering melihat perempuan mungil itu mengambil shift malamnya sebagai pelayan cafe ini, sepertinya dia khusus di bagian bersih-bersih mengingat sebagaian besar pekerjaannya adalah membersihkan segala sesuatunya, piring kotor, meja, bahkan mengepel lantai.
Tanpa sadar Sasuke mengernyit, seberapa sulitkah hidup perempuan itu sampai dia mengerjakan pekerjaan berat macam ini di shift malam pula? Sasuke hampir tidak pernah merasakan hidup berkekurangan, karena itulah dia merasa tidak bisa memahami apa yang terpampang di depannya.
Perempuan itu sangat mungil, jemarinya kelihatan rapuh untuk bekerja sekeras itu, dan tiba-tiba saja pikiran Sasuke berkelana ke masa lalunya, kepada tubuh mungil yang dulu pernah ada di pelukannya, yang sekarang sudah tidak bisa lagi digapainya.
Benaknya menggelap dalam kemuraman, bayangan masa lalu itu adalah satu-satunya hal yang ingin dilupakannya sekarang. Perhatiannya teralih lagi ketika melihat perempuan itu membawa begitu banyak piring dan gelas dalam satu nampan, lengan kecilnya tampak rapuh, membuatnya sedikit oleng dan terhuyung-huyung.
Sasuke berdecak tak senang, menyadari bahwa pelayan lain, yang notabene laki-laki, tidak ada satupun yang bergerak untuk membantu perempuan ini. Dengan jengkel dia berdiri, dan kemudian dengan gerakan mulus dan tegas, mengambil nampan itu dari tangan si perempuan.
"Kau akan menjatuhkan dan memecahkan semua piring dan gelas ini kalau kau membawanya sekaligus seperti itu." Sasuke bergumam dingin, menatap ke bawah, ke arah perempuan itu yang mendongak menatapnya sambil ternganga kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush in Rush ( Sasuhina )
FanfictionSasuke dan Hinata, dua anak manusia dengan perbedaan yang sangat bertolak belakang, dua anak manusia yang seharusnya tidak pernah bersua ini pada akhirnya harus bersimpangan jalan dan saling terkait. Pada mulanya Sasuke hanya memanfaatkan Hinata un...