Aku lagi-lagi membubuhi sebuah tawa lekat kesedihan kepada diriku sendiri yang tengah mengetik sebuah cerita tentang gadis remaja yang membenci ayahnya.
Itu tidak lain adalah kisah autobiografi dari diriku yang memang sengaja aku ciptakan demi memuaskan hasrat tak terbendung dalam diri.
Sungguh lucu rasanya bila aku mengingat sebuah kepingan memori di mana aku menyumpah serapahi sosok lelaki yang aku anggap brengsek-seharusnya aku panggil dia ayah tapi rasa benci selalu menyeruak.
Aku mungkin akan tersenyum kala kita bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama terpisah oleh waktu dan dirinya yang menganggap bahwa ibuku melarang aku bertemu dengannya.
Aku akan senang hati menonjok mukanya yang mungkin akan membuat batinku berkecokol rasa benci kesumat meski dalam otak hormon endorfinku berkecamuk.
Sial. Aku tersenyum lagi. Bukan senyum tulus, ini seperti senyum iblis yang menemukan mangsanya. Ini berbahaya, terlebih bila disandingkan dengan hormon endorfin yang terus-menerus diproduksi tanpa adanya niatan untuk berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi Diri
RandomPerihal keluh kesah seorang gadis pengidap bipolar episode campuran yang tengah berusaha untuk hidup.