✨ Ada yang melamar

0 1 0
                                    


"Naraaa selamat!" Teriak seorang wanita dengan baju kebaya yang sama dengan Nara.

"Nadiaaaa selamat juga !" Saut Nara. Seperti sahabat pada umumnya mereka pun berpelukan.

" Nara keren banget, apalagi pas tadi kamu keatas ambil piala. Beuuuhhh, kata anak anak mah berdamage !"

" Dihh, alay kamu nad." Ucap Nara pada Nadia.

"Nara!" Ucap seseorang dibelakangnya.

"Iya kak ?" Tanya Nara dengan muka heran. Mengapa bisa alumni sekolahnya kesini ? Apa ada kerabatnya yang sama sama di SMA ini ?

"Selamat ya, tadi kakak liat kamu didepan. Keren banget!" Ucap lelaki bernama Radit itu.

"Ah iya kak, terimakasih." Setelahnya Nara menarik tangan Nadia untuk pergi keluar aula menghampiri orang tua mereka.

"Ih kamu ga sopan." Ucap Nadia.

"Gasopan apanya ? Orang tadi juga aku udah izin mau keluar."

"Tetep aja gasopan, kayaknya kak Radit masih mau ngomong."

Nara berdecih
"Itumah kamu yang mau lama lama Mandang kak Radit nad."

"Hehehe, iyasih. Kapan lagi kan kak Radit kesini."

Nara tidak menjawabnya, dia malah pergi meninggalkan Nadia menghampiri orang tuanya.

"Mamah Nara menang ini!" Seru Nara.

"Iya, tadi juga mamah liat. Kamu hebat nak!"

Setelahnya, acara hanya diisi dengan mengambil foto bersama siswa siswa lainnya, dilanjut dengan foto keluarga.

"Selanjutnya keluarga dari Nara putri Dzakariyya, silahkan." Ucap asisten tukang foto.

Nara terdiam sekejap mendengar kata "Dzakariyya". Seketika, teringat dimana ayahnya yang menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan Nara.

"Ayah sayang Nara. Nara jaga mamah ya, terus nurut sama mamah, jangan ngebantah. Kalo Nara nanti punya suami, siapapun dia, apapun masalalunya, kamu harus tetep hormat sama beliau ya, ayah percaya, suami kamu nanti bakal bawa kamu ke Jannah Allah. Maaf ayah gabisa jadi wali kamu nanti, ayah serahin wali nikah kamu ke om Burhan."

Begitulah kira kira ucapan terakhir ayahnya sebelum mengucapkan

"Laa ilaaha illallah"

"Hey sayang, ga mau foto ?"

"Eh, hahaha, Nara malah ngelamun ya ? Maaf mah, ayo kita foto." Ucap Nara.

Mau bagaimanapun perasaannya sebisa mungkin Nara tidak memberitahukan kepada mamahnya, karena ia tidak ingin surganya itu meneteskan air mata lagi setelah takdir pahit yang ia rasakan.

Selesai berfoto, Nara dan mamahnya pun pulang. Tapi sebelum itu, mereka mampir ke rumah makan peninggalan almarhum ayahnya.

"Rumah makan raos"

"Nak, mamah ke ruangan ayah kamu ya." Ucap mamahnya

"Iyamah, nanti Nara nyusul."

Setelah kepergian mamahnya Nara segera pergi ke kasir. Mengecek daftar pemasukan dan pengeluaran bulan ini.

"Kak Rini, ini ko ngga balance ya ? Atau emang belum diitung ulang ?"

"Eh.. emm.. itu.. kayaknya belum aku hitung ulang deh, soalnya.. itu, apa namanya ? Em.. restoran lagi rame ramenya."

"Oohh, iya.. santay aja kali kak. Aku nanya doang kok. Oh iya, kalo bisa lusa udah diitung ulang ya kak, mau aku masukin datanya."

"Iya nar siap."

"Yaudah, Nara mau ambil makan dulu yaa." Ucap Nara dan berlalu pergi ke stand makanan.

Memang dirinya lebih suka mengambil semuanya sendiri, meskipun bisa disebut pemilik rumah makan ini, tapi ia enggan terlalu ditonjolkan. Bahkan semua pegawai disinipun sudah tau seperti apa Nara, jadi saat Nara melayani dirinya sendiri tidak ada yang campur tangan membantunya.

Setelah makan siang siap, narapun membawanya ke ruang kerja almarhum ayahnya.

"Mah, ini makan dulu." Ucap Nara.

Mamahnya yang sedang duduk dikursi yang biasanya ayahnya duduki menoleh.

"Wiihh, makasih nak. Ayo kita makan sama sama." Ajak mamahnya sambil beralih duduk di sofa.

Mereka makan makanan itu dengan khidmat, sesekali mengobrol ringan.

"Ekhm, nar. Boleh mamah nanya sesuatu?" Tanya mamahnya saat sudah selesai makan.

"Boleh dong, apa emangnya mah ?"

"Kamu punya pacar ? Atau kamu lagi suka gitu sama seseorang?" Tanya mamahnya.

Nara sedikit terkejut dengan pertanyaan dari mamahnya yang sedikit random ini.

"Ngga mah, kenapa emang ? Kan kata ayah ngga boleh pacaran, dosa." Jawab Nara.

"Ada yang melamar kamu."

"Hah ?!" Teriak Nara reflek.

"Iss kebiasaan, jangan teriak teriak gitu ah."

"Iss kebiasaan, bercandanya jangan gitu ah." Jawab Nara mengikuti perkataan mamahnya.

"Mamah ngga bercanda Nara, ini serius." Ucap mamahnya.

Nara menghela nafas, inilah yang paling malas dirinya hadapi, setelah kejadian 2 tahun lalu, dirinya sudah tidak percaya lagi dengan cinta seorang lelaki kecuali ayahnya.

"Mamah tau kan?"

"Iya sayang, mamah tau, mamah ngerti. Tapi mau sampai kapan kamu kaya gini ?" Tanya mamahnya.

"Gatau mah, Nara mau fokus kembangin rumah makan ini." Jawab Nara.

Ini memang sudah keputusannya. Semenjak ayahnya meninggal, Nara memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya dan memilih untuk mengembangkan usaha peninggalan ayahnya.

Jangan bertanya apakah Nara bisa menghandle nya atau tidak, sebab semenjak kepergian ayahnya itu, Nara menjadi semakin sibuk dengan mempelajari apa yang harus dirinya tau untuk mempertahankan usaha ini secara otodidak, dirinya tidak memiliki guru khusus. Hanya mengandalkan Vidio Vidio pembelajaran di YouTube dan sarana lainnya.

Padahal, nilai rapot Nara akan mudah masuk jika mengikuti SNMPTN, tapi ini sudah menjadi kehendak hatinya.

Dan tentang kejadian dua tahun lalu, dimana Nara merasa harga dirinya sebagai perempuan jatuh, dari situlah dirinya tidak percaya lagi kepada seorang pun lelaki kecuali ayahnya.

Mungkin akan ada yang menyebutnya berlebihan, baperan dan lainnya. Tapi menurut Nara, harga dirinya lebih tinggi dari apapun itu, termasuk cinta.

Dikecewakan oleh lelaki yang dirinya cintai sejak menjadi murid baru di SMA nya, membuat Nara menjadi pribadi yang tidak perduli terhadap lawan jenis, bukan tertutup, dia hanya hilang respect.

Dan ya, meskipun hilang respect, tapi dirinya masih normal, masih bisa menyukai lelaki, tapi entah kapan.

Dan ya, meskipun hilang respect, tapi dirinya masih normal, masih bisa menyukai lelaki, tapi entah kapan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang