4

14 2 1
                                    

Dipagi yang cerah dihari selasa ini, tak ada perasaan yang lebih indah selain daripada melihat Kenan sudah terduduk rapih dimeja makan sambil melamun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dipagi yang cerah dihari selasa ini, tak ada perasaan yang lebih indah selain daripada melihat Kenan sudah terduduk rapih dimeja makan sambil melamun. Wajahnya muram sekali, sepertinya anak lelaki berusia tujuh tahun itu sudah kelaparan sebab terlalu lama menunggu Gemma yang tak kunjung keluar dari kamarnya.

Sudah menjadi rutinitas bagi keluarga Gemma untuk tetap setia menunggu sampai seluruh anggota benar-benar duduk dimeja makan-baik sarapan, dan makan malam, semua itu dilakukan bersama. Kecuali jika salah satunya ada yang mempunyai keperluan mendesak dan tidak akan pulang sampai larut malam.

Kegiatan tersebut tetap berjalan hingga pagi ini, walaupun Ayah sudah lama pergi-tak ada yang berubah, hanya saja berkurang salah satunya.

Ayah meninggal saat Kenan baru berusia empat tahun, sementara Gemma baru saja menginjak usia remaja dan akan pergi melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Namun, Tuhan memanggil beliau lebih dulu-tanpa peringatan, dan tanpa aba-aba.

Ayah pergi meninggalkan Gemma, Kenan, dan Ibu sebab penyakit TBC yang dideritanya. Walaupun Ayah sudah lama menderita penyakit tersebut, namun kepergiaannya masih menyimpan sejuta tanya sebab terlalu tiba-tiba-bahkan saat beliau baru saja dinyatakan sembuh total dari penyakitnya. Gemma merasa ini hanyalah permainan alam semesta, bagaimana bisa Ayah meninggal bahkan saat penyakitnya sudah sembuh? Tapi lambat laun Gemma mengerti, bahwa ternyata Tuhan lebih membutuhkan Ayahnya. Tidak memungkiri juga bahwa sebenarnya Gemma yang paling membutuhkan sosoknya, sebab ia belum mampu dan paham soal bagaimana ia harus menjadi Ayah sekaligus Kakak laki-laki bagi Kenan.

Kenan mengetuk-ngetuk sendoknya ke meja, dagunya bertopang pada tangan sebelah kanannya. Wajahnya terlihat masih mengantuk, namun perutnya terdengar kruyuk-kruyuk.

"Kenan kenapa nungguin A'a?" Ucap Gemma sembari menarik kursi tepat disebelah kursi yang Kenan duduki.

Kenan menghela napasnya, "kan dulu kata Ayah suruh tunggu kalo A'a belum dateng..." Jawab anak itu polos dan terdengar agak parau seperti suara khas bangun tidur.

Gemma menyungingkan senyum simpul, hatinya masih merasa sesak saat mendengar Kenan membahas soal Ayah.

Dulu, hari dimana saat Ayah meninggal. Kenan nampak tak mengerti apapun, ia hanya terdiam serta kebingungan sebab ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat anak lelaki itu bertanya kepada Ibu yang sedang menangis tersedu-sedu tepat didalam pelukan Gemma dan tepat dihadapan jasad Ayah-tentang mengapa Ibu menangis dan Ayah tidak bergerak sedikitpun. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dan keteguhan hatinya, Ibu menjawab pertanyaan Kenan, "Ayah bobo, ssssttt!" Ucap Ibu lembut sembari mengarahkan telunjuknya dihadapan bibir.

Gemma saat itu semakin menangis, terbesit tanggung jawab bagi dirinya untuk menjelaskan pada Kenan tentang kemana perginya Ayah-semakin bertambahnya usia, jelas Kenan anak mempertanyakan itu. Menjadi tanggung jawab Gemma untuk menjelaskannya secara hati-hati agar Kenan mengerti.

"Tapi kalo Kenan laper boleh makan duluan kok" Gemma mempersilahkan Adiknya yang terlihat sudah sangat lapar.

Ibu datang dari dapur sambil membawa satu piring berisikan buah apel, "daritadi juga udah disuruh makan sama Ibu, tapi katanya nunggu A'a."

Gemma terkekeh sembari mengusap pucuk kepala Adik sematawayangnya, "anak pinter!"

"Bu, Gemma hari ini pulang agak malem ya"

"Kenapa? Kok tumben?" tanya Ibu yang baru saja menuangkan air mineral kedalam gelas Kenan.

"Ada urusan ..." Suapan terakhir bubur ayam pagi ini masuk kedalam mulut Gemma kemudian meneguk air dalam gelasnya dan segera bangkit untuk bersiap-siap.

Baru saja hendak masuk kembali ke kamarnya, suara Ibu seketika menghentikan langkahnya, "urusan apa? Ibu gak boleh tau?"

Gemma memutar badannya menghadap Ibu yang masih berdiri disamping kursi Kenan, sembari menukikkan senyum indahnya, Gemma kembali terkekeh, "nanti Ibu juga tau..." Jawab lelaki itu kemudian menghilang dibalik pintu kamar.

Kelas hari ini selesai pada pukul empat sore, Gemma berlenggang keluar kelas sambil menyampirkan tasnya dipundak sebelah kanan. Baru saja berjalan beberapa meter menjauhi kelas, suara yang sangat Gemma kenal berteriak keras memanggil namanya.

"GEMMAAAAAA!!!"

Benar, suara tersebut adalah milik sahabatnya-Cheza.

Cheza terengah, berusaha mengatur napasnya sembari memegang lengan Gemma yang saat ini masih berdiri memperhatikan gadis itu.

"Ngapain lo lari-lari?" tanya Gemma datar.

"Ngejar lo, lah!" Ucap gadis itu ketus.

Gemma mengerenyitkan dahi, "DIH!"

"Kok dih?" Cheza menatap Gemma dengan tatapan tidak suka. "Gue mau ngajak lo makan bareng, laper gue ..."

Gemma menarik tangannya agar terlepas dari cengkraman Cheza, "gak bisa, gue ada urusan!"

"Urusan apa? Kok gue gak tau?" Cheza mendongak untuk bisa menatap wajah Gemma yang lebih tinggi darinya.

Gemma mendorong dahi Cheza dengan telunjuknya, "lo gak perlu tau, masih kecil" canda lelaki itu.

Cheza berdecak kemudian menepis telunjuk Gemma dari dahinya, "mau transaksi narkoba lu, ya?" kata gadis itu sekonyong-konyong.

"Stress!"

"Oh mau judi online lu ya? Apa mau jadi sugar baby? Gue tau, Gem! Ah jangan bilang lo bisnis jual beli gas elpiji ilegal, ya? Ngaku lo!" Perkataan Cheza semakin tidak masuk diakal yang membuat Gemma geleng-geleng kepala.

"Apaan sih! Orang gue mau jualan ayam warna-warni ama jambu kristal..." Celetuk Gemma asal kemudian pergi meninggalkan Cheza yang masih berdiri ditempatnya dengan sejuta pertanyaan yang belum Gemma jawab.

Gemma mengendarai motor beat kesayangannya melewati jalanan basah yang dibeberapa sisinya masih tergenang sebab hujan sempat mengguyur bumi siang tadi. Semilir angin sore serta wangi petrichor masih tercium jelas-tiap kali mencium aroma tanah, pikiran Gemma memutar kejadian masa lalu, tentang bagaimana Ayahnya dikuburkan ditengah titik-titik gerimis. Bukan ia tak menyukai aroma ini, hanya saja masih terbesit rasa sakit hati, sedih, maupun sendu sebab mengingat sosok Ayah.

"Gem, hujan itu anugerah" ucap Ayah tempo hari saat hujan deras mengguyur bumi disore hari. Sembari membuang abu yang berada diujung rokoknya, Ayah menghirup dalam-dalam aroma petrichor yang hujan sediakan.

"Kamu tau kenapa kita harus mensyukuri hadirnya hujan?"

Gemma menggeleng.

"Hujan itu anugerah terbaik yang sengaja Allah turunkan untuk kelangsungan hidup seluruh makhluknya, termasuk kita sebagai manusia. Dari hujan, Allah munculkan titik-titik mata air yang mengalir untuk menghidupkan bumi dan seluruh isinya-" Ayah memotong ucapannya, kemudian meneguk kopi hitam yang baru saja Ibu buatkan. "Hujan itu rahmat, sebab jika Allah tidak menurunkan hujan maka akan banyak keputus-asaan dalam segala hal. Walaupun kadang kita sendu sekaligus rindu disaat hujan datang, tapi semua itu adalah keberkahan dibalik perasaan sedih kita. Gemma ngerti?" Lanjut Ayah.

Kali ini Gemma mengangguk, banyak sekali pelajaran yang ia dapatkan dari Ayah. Sosoknya yang santai dan juga penuh canda, membuat Gemma sangat mengagumi Ayahnya. Beliau tak pernah marah, apalagi memukul. Namun Ayah tegas dalam mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang bertanggung jawab dan tak pernah lari dari masalah.

Seperti saat ini, rasanya keluarganya sedang diuji. Dengan atas dasar didikan Ayah dan rasa cintanya pada keluarga, maka Gemma harus menghadapi segala bentuk ujian yang Allah berikan padanya.

Bersambung ...






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FATAMORGEMMA || WOOYOUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang