Tak mengerti apa yang telah terjadi
Kau tak lagi sama
Engkau bukan engkau
Yang selalu mencari dan menelponku
Dering darimu tak ada lagiHela napas terdengar usai bait pertama dalam lagu dinyanyikan oleh seorang Hia. Hias Samudera namanya, penyanyi part time di cafe Senja Sore.
Walau kau menghapus, menghempas diriku,
mengganti cintaku
Semua tak mampu hilangkan cinta yang telah kau beri
Walau kau berubah aku 'kan bertahan
disepanjang waktuku
Biarkan aku mencintaimu dengan carakuBRAK
TRUNGDebuman gitar akustik yang menyentuh lantai panggung menarik atensi seluruh pengunjung. Suara-suara yang mempertanyakan keadaan mulai terdengar bersahutan. Seseorang yang bertugas di bartender mau tak mau turun tangan untuk mengatasi kekacauan.
Disela itu, ia menatap punggung Hia yang berlari semakin menjauh ke arah belakang, lalu menghela napas sebab baru saja kejatuhan beban.Sedang Hias Samudera merasakan dadanya sangat sesak. Ia tak sanggup menyelesaikan lagunya kali ini. Bahkan meski sedang berlari ia sempat memikirkan dua hal. Apakah sesak ini karena lagu tadi atau karena hal yang lain?
Hia menempatkan diri di depan wastafel. Dengan tubuh yang kesulitan berdiri tegak, ia meremas perutnya sendiri, naik ke dadanya dan berakhir menepuknya di sana.
Okho okho
Ia terbatuk usai terlalu keras pada dirinya sendiri. Diraihnya keran wastafel, membiarkan jejak muntahnya menghilang. Ia tatap wajah menyedihkannya di cermin, memaksakan diri untuk tetap tersenyum padahal pikirannya nyaris mengonfirmasi bahwa sesak yang ia rasa bukan karena lagu tadi.
"Astaga Ya, lo muntah lagi?" Barista cafe itu bertanya usai terburu-buru mengikuti langkah Hia tadi. Tanggannya terulur menyentuh pundak Hia yang tak tegak.
"You okay?" tanyanya kembali, berhasil membuat Hia menolehkan kepala dan tersenyum.
"Sorry cafenya kacau gara-gara gue."
•••
Malam hari setelah sore itu, Hia terduduk di meja cafe paling sudut. Matanya menatap sisa titik-titik air yang jatuh ke bumi dari balik jendela, sedikit tenang sampai suara kursi yang ditarik berhasil membuyarkan lamunannya.
"Gue harap ini terakhir kali gue nganterin lo ke dokter. Dasar bulol," umpat Naja --sang barista cafe membuat Hia terkekeh. Selanjutnya ia meraih air hangat yang Naja letakkan di hadapannya dan meraih obat yang ia dapatkan dari hasil memeriksakan diri ke dokter atas paksaan Naja.
"Udah mau tutup?" Naja bedeham membalas pertanyaan Hia tersebut. Ia lalu mendengus seraya menyilangkan kedua tangan di dada. Pungunggunya bersandar pada punggung kursi, sedang matanya menatap tajam ke arah Hia.
"Sampai kapan lo mau pura-pura Ya? Berapa kali lo nyaris mati karena perempuan itu?"
"Dia gak bikin gue mati Na."
"Gimana bisa dia cuma ngasih lo seafood dari sebegitu banyaknya makanan di dunia? Ckk.. Bodoh banget. Dan lo lebih bodoh lagi, udah tahu gak bisa makan masih aja maksain."
"Dia pasti punya alasan."
"Belain aja terus."
Naja menghela napas lagi entah yang keberapa kali, terutama usai mendapat respon tawa yang renyah dari sosok yang sedang diomelinya. Sosok di hadapannya itu kini malah sibuk mengotak-atik handphone tanpa menggubris ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR SONG [Oneshoot]
FanfictionKonon, banyak lagu yang diciptakan terinspirasi dari pengalaman pribadi. Tak jarang, alasan seseorang menikmatinya juga karena merasa ada kesesuaian antara selera, pikiran dan isi hati. Benarkah demikian yang terjadi? Notes: • Berisi tentang potonga...