Seandainya waktu bisa dihentikan sejenak, kemudian diajak mundur beberapa menit guna memperbaiki kondisi yang tak diduga terjadi, Jeano Arsenio akan melakukan itu tanpa berpikir dua kali.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasakan aura canggung antara dirinya dan seseorang yang sudah sangat dekat dengannya sedari kecil. Dalam hati ia merutuk, mengapa disituasi yang sulit bagi seseorang ia menambahnya jadi semakin sulit.
"Lo suka sama gue?" pertanyaan yang terlontar dari seseorang bernama lengkap Adikara Maharani membuat Jean membisu. Tak lama kemudian kekehan pedih terdengar samar di telinganya.
"Lo gak perlu ngehibur gue dengan ngajak gue nikah saat gue batal nikah Je. Itu gak buat gue senang. Tapi makasih lo udah berusaha," tuturnya.
"Gue pulang duluan ya, jangan ke rumah! Gue lagi butuh waktu sendiri," sambungnya.
"AAAAAARGH." Berapakalipun Jean berteriak dengan suara yang diredam pada bantal, tak membuat ia merasa lega atau puas karena telah melampiaskan segalanya. Justru malah membuat orang rumah datang satu persatu menanyakan apa yang sedang dilakukannya? Mengapa ia melakukan hal demikian?
"Berisik banget sih lo bang. Kalau mau teriak cari tempat sepi kek, diredam pake bantal juga kalau di rumah tetap aja kedengeran."
"Berisik lo!" tukasnya menyahuti Jiano Anindito; sang adik.
"Dih. Lagian kenapa sih? Desperate lo ditolak cewek?" Jian mengerjapkan mata begitu melihat tatapan Jean yang melotot padanya usai ia menanyakan hal tentang ditolak perempuan. Jadi benar dugaannya?
"Kok lo tahu?"
"Beneran? Padahal gue cuma ngada-ngada. Siapa?" namun bukan jawaban, melainkan lemparan bantal yang Jian dapatkan.
"Slow dong abang. Siapa perempuan yang bisa buat lo kayak gini? Kak Kara ya?" Jean tersedak ludahnya sendiri begitu Jian menembak pada sasaran yang tepat.
"Hoooooo, wah wah berita legend ini. Harus gue teriakin ke seluruh keluarga." Jean dengan buru-buru melompat dari kasurnya; mencegah Jian yang nyaris berlari keluar dari kamarnya untuk melakukan apa yang ia katakan. Beruntung sebagai kakak, Jean punya ketangkasan dan kekuatan yang lebih baik, jadilah Jian kini meronta di bawah keteknya.
"Aduh bang, ketek lo bau," ujarnya seraya mendorong dengan kuat punggung Jean.
"Lagian lo bisa-bisanya nembak orang yang mau nikah?"
"Gue gak nembak, gue ngajak dia nikah."
"Ya sama aja?! Intinya kak Kara udah punya calon kan? Ngapain lo pepet bang?" Jean terdiam dan Jian berdecak menanggapi kebisuan kakanya.
"Dia gak jadi nikah."
"Hah? Kok? Tapi terlepas dari itu, alasan lo ngajak kak Kara nikah setelah itu apa? lo suka sam---"
"Gue enggak..." Jian menaikkan sebelah alisnya menunggu jawaban Jean yang menggantung setelah memotong ucapannya.
"...tahu," sambungnya.
Jian menarik tangan sang kakak untuk duduk di tepi kasur bersamanya. Sejenak yang dilakukan Jian hanya menggelengkan kepala, kenapa kakaknya ini jauh lebih bodoh darinya yang baru saja menginjak dewasa jika tentang masalah cinta.
"Respon kak Kara gimana?" pertanyaan Jian berhasil membuat Jean menoleh padanya.
"Lo suka sama gue? Dia nanya itu juga."
"Terus lo jawab apa?" Jean menggelengkan kepala sebagai responnya, membuat Jian sedikit menghela.
"Gue cuma becanda Ji, gak expect respon Kara seserius itu. Biasanya juga dia bales becanda, bales ngeledek ucapan gue."

KAMU SEDANG MEMBACA
OUR SONG [Oneshoot]
FanfictionKonon, banyak lagu yang diciptakan terinspirasi dari pengalaman pribadi. Tak jarang, alasan seseorang menikmatinya juga karena merasa ada kesesuaian antara selera, pikiran dan isi hati. Benarkah demikian yang terjadi? Notes: • Berisi tentang potonga...