Tentang Chiko Septian
Chiko dengan tangan gemetar dan wajah pucat menyerahkan brosur Dieng Festival Night Light kepada orang tuanya. Ayahnya, bergantian menatap brosur itu dan Chiko dengan sorot tajam. Ibunya, dengan wajah penuh khawatir menatap putranya.
"A, aku mau ke-"
"Tidak,"
"Tapi Ayah-
"Sekali tidak, tetap tidak," final Ayah Chiko.
"Tapi Chiko bagian dari komunitas penyelenggara, Ayah. Masa Chiko gak dateng,"Chiko membela diri.
"Sejak kapan kamu ikut komunitas begini?"
Telak, suara Chiko yang hendak keluar tersangkut di kerongkongan. Dia tidak pernah izin ikut komunitas kepada orangtuanya. Dia tahu pasti orangtuanya akan melarang, selalu. Jadilah anak itu selalu backstreet jika ikut komunitas. Lagipula bagiannya selalu bisa dikerjakan dengan online, tidak pernah keluar dari rumah. Jadi orangtuanya tidak pernah tahu anaknya sudah berkembang melalang buana.
"Chiko ikut komunitas buat pengembangan diri Ayah. Biar tahu wawasan, kenal banyak orang, aku juga jadi paham design,"jawab Chiko menyakinkan kedua orangtuanya.
"Chiko," panggil ayahnya dengan suara rendah.
"SEJAK KAPAN! Ayah tanya sejak kapan kamu ikut komunitas?!" bentak ayahnya dengan murka. Chiko di depannya sudah gemetaran, hatinya berdenyut-denyut takut, air mata sudah ada di pelupuk mata, siap turun kapan saja.
Jika tidak sekarang kapan lagi? Orangtuanya selalu melarang Chiko untuk keluar rumah. Mereka bilang, Chiko anak satu-satunya, omega pula, harus dijaga baik-baik. Mereka takut terjadi apa-apa jika membiarkan anak itu pergi ke dunia luar sana.
''Kalian liat brosur itu? Itu aku yang buat, bagus kan? aku bisa design Yah, Ma, liat deh,'' Chiko mencoba mengambil hati orangtuanya.
''Kakak-kakak di komunitas yang ngajarin aku. Nah, sekarang project kami Dieng Festival Night Light aku harus ke sana sekaligus pengukuhan pengurus Yah, Ma. Please,'' Chiko memohon namun Ayahnya hanya menatap dirinya tajam tidak terpengaruh sementara Ibunya menatap Chiko kasihan.
''Tidak ada festival, kamu di rumah. Masuk kamar, Chiko,'' kata Ayahnya mutlak namun Chiko masih duduk bergeming.
''Chiko, Dieng itu jauh. Kamu ke sana mau sama siapa Nak? Ayah sama Mama gak bisa nganterin kamu. Pekerjaan di sini tidak bisa ditunda,'' Mamanya mencoba menjelaskan dengan lebih baik.
''Kalo Ayah sama Mama gak bisa nganterin, aku bisa ke sana sendiri, pake pesawat, kereta api, mobil travel, banyak alternatif,'' kata Chiko menatap Ibunya agar luluh.
Ibunya menatap teduh. Chiko yang jarang keluar rumah sehari-hari hanya pergi sekolah lalu pulang mau bepergian sendirian? Sulit diijinkan.
''Chiko, kamu gak pernah tau bahayanya dunia luar Nak. Dunia luar itu bahaya, banyak orang jahat. Apalagi.. kamu omega,''kata Ibunya.
Nafas Chiko memburu, tiba-tiba merasa jengkel. Jadi ini karena dia omega? dia tidak pernah merasakan senang-senang seperti anak seusianya karena dunia ini jahat kepada omega? Chiko menyesal terlahir omega, kenapa dia tidak terlahir beta saja atau alpha sekalian.
Praktis, sehari-hari Chiko selalu di rumah. Dia dimanja dengan segala perhatian orangtuanya. Keluarga mereka memang termasuk menengah ke atas. Ayahnya adalah seorang beta yang menjadi tangan kanan pengusaha besar Indonesia sementara Ibunya hanya omega rumah tangga biasa mengurus anak dan suami.
Chiko dibesarkan bagai porselen, tidak boleh lecet, jika sakit akan langsung di rawat, tidak boleh bergaul dengan sembarang orang. Anak itu tumbuh besar dalam sangkar emas. Chiko tertekan, dia ingin melakukan sesuatu dengan usahanya sendiri.
Dimanja bukan keinginannya.
Orangtuanya membesarkan Chiko dengan segala ketakutan anak itu akan pergi dari mereka. Chiko anak mereka satu-satunya, omega laki-laki yang langka. Chiko yang cantik dan bersinar, di depan umum dia langsung menjadi daya tarik orang sekitar.
Orangtuanya hanya takut.. mereka takut kehilangan Chiko. Misalnya ada yang berniat jahat. Namun Chiko tidak ingin dilindungi, ego remajanya membuat dia ingin mencoba banyak hal baru. Termasuk bergabung ke komunitas dan bertemu banyak orang.
Chiko membesarkan hati lalu mencoba menormalkan suara,"Kenapa Ayah sama Mama selalu larang aku? Aku juga mau bersosialisasi Yah! Ma! Aku bosen di sini terus, aku mau ketemu banyak orang. Dunia tuh luas gak cuma kamar aku atau rumah ini aja.
''Paling mentok aku cuma tahu jalan dari sini ke sekolahan. Miris banget tau gak? Aku tuh udah tujuh belas tahun! Aku iri! Iri banget sama mereka yang bebas jalan dan keluar di luar sana,''
Pak Ardi- Ayah Chiko terbelalak melihat anaknya untuk pertama kali bersuara dengan lantang. Sementara Ibu Windi- Ibunya Chiko sudah terisak mencucurkan air mata, kaget karena Chiko berani speak up. Chiko- anaknya ngotot ingin pergi dari mereka.
Mereka membesarkan Chiko dengan penuh kelembutan kasih sayang dan anak ini sekarang melawan? Mata Pak Ardi sudah menggelap karena marah.
''Aku cuma mau dateng ke acara komunitas! Kenapa Ayah sama Mama gak ijinin?!'' teriak Chiko bangkit berdiri menghentakkan kaki kesal, air matanya juga tumpah.
''Kalo kayak gini aku nyesel jadi ome-''
Plakk
Chiko memegang pipinya yang ditampar, terasa panas dan berdenyut sakit. Selama tujuh belas tahun dia hidup, baru kali ini Ayah menamparnya. Rasanya sakit, ketika orang terdekatmu malah tidak mendukung apa yang menjadi mimpimu.
Mereka tidak mendukung mimpimu.
Ibunya sudah menangis bersimbah airmata bangkit berdiri dan memeluk Chiko anaknya. Wanita itu mengusap-usap punggung Chiko sementara anak itu masih bergeming shock habis ditampar.
Chiko melepaskan pelukan Ibunya dia berlari menuju kamarnya di lantai atas.
Blam!
Pintu kamar Chiko ditutup keras. Malam ini anak itu penuh kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mate: Daniel and Chiko [2]
Teen FictionRasanya seperti jatuh cinta pertama kali, feromon ini manis sekali. Feromon yang mau aku hirup, aku dekap, aku ciumi, aku miliki selamanya. Feromon.. feromon, My mate.. where are you, I'm haunting you.. -Daniel Rakai Wijaya (35th) Tolong, Mama.. Pap...