Di siang hari kala sang mentari tengah bersinar terik, gadis bernama [Name] itu merebahkan dirinya di bawah pohon rindang, tepat di belakang gedung sekolahnya sendiri. Tempat itu sepi, hanya ada dirinya seorang yang menikmati suasana nyaman dan sejuk karena angin berhembus dengan lembut mengenai kulitnya.
Itu adalah istirahat makan siang, [Name] ingin menghabiskan waktu istirahatnya dengan bersantai.
Jika bertanya kenapa tidak ada yang menemaninya, jawabannya simpel, [Name] adalah murid baru yang baru saja berpindah dari kota lain ke Mondstadt karena pekerjaan orang tuanya. Ia belum terlalu dekat dengan orang lain dan tidak ingin merepotkan orang lain di hari pertamanya sekolah.
Tangannya mencoba menggapai langit, kedua matanya menatap langit biru yang luas, mulutnya tak sengaja berucap, "Kota Kebebasan..."
Mondstadt dikenal dengan sebutan Kota Angin dan kebebasan. Di masa kedamaian ini pun, sang dewa yang dipuji oleh warganya masih terkenal di kalangan masyarakat. Tak ada yang pernah melupakan sosok yang telah menemani Mondstadt selama ribuan tahun.
Barbatos, sang Dewa Kebebasan, dan Archon Anemo.
Apa kebebasan itu? Ia tidak pernah benar-benar merasakannya. Sedari kecil, hidupnya sudah diatur oleh kedua orang tuanya. Bahkan mungkin, masa depannya juga sudah diatur oleh mereka. Teman, kebutuhan, sekolah, bahkan hobi pun orang tuanya yang memilihkannya.
Lengannya turun, menutupi kedua matanya. Ia menghela napas panjang, dirinya tengah dilanda kegalauan akan kehidupannya sendiri, baru saja ia akan merenungkan kehidupannya sebelum telinganya mendengar suara alunan musik.
"♪~ ♪♪~"
[Y/N] terbangun, bangkit dari posisinya yang terbaring menjadi duduk. Mencari sumber suara, karena ia yakin tidak ada siapa pun di sekitarnya, tidak ada orang yang datang. Kalau pun ada, ia pasti melihatnya, namun sama sekali tidak ada orang. Takut-takut dia mulai halusinasi.
"Yahoo~! Di atas sini!"
[Name] menengadah ke atas, sedikit terkejut, orang itu─yang kemungkinan besar memainkan musik, duduk di atas dahan pohon, tepat di atasnya.
Pemuda dengan seragam dan sweater hijau itu perlahan menuruni pohon lalu duduk di sampingnya. Tangan pemuda itu memegang sebuah lira, menegaskan bahwa memang ia yang memainkan musik barusan. Syukurlah, ia tidak benar-benar berhalusinasi.
"Sendirian saja nih?" tanya sang pemuda. [Name] hanya mengangguk kecil. "Aku tidak melihatmu sejak awal... Bagaimana kau bisa ada di atas?"
"Aku ada di sini duluan sebelum kamu." Pemuda tersebut tersenyum lembut sembari memetik beberapa senar lira-nya. Pembawaan pemuda itu sangat hangat, duduk di antara rerumputan yang tertiup angin.
"...Aku [Name], kamu?"
"Venti, 12-A!"
"Eh, kakak kelas?!"
"Lho, adik kelas?" Venti terkikik pelan, sama sekali tidak merasa bersalah setelah mempermainkan nada yang digunakan [Name] saat terkejut mendengar kelasnya. [Name] berdehem malu.
"Em, musik Kakak, bagus banget."
"Mau aku ajarin?"
"Eh? Boleh??" Kedua mata [Name] berbinar bahagia kala Venti menyodorkan lira miliknya, dengan senyum pemuda itu membalas, "Boleh dong! Sekalian aku jadikan kamu pemain lira paling hebat se-Mondstadt!"
tandanya apa? tandanya angst—
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐖𝐈𝐍𝐃 || Venti x Reader ✓
Fanfic━ 𝐌𝐨𝐝𝐞𝐫𝐧!𝐀𝐔 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟏 𝐨𝐟 𝟔 #𝐖𝐈𝐍𝐃 𝐬𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 "Ah, lihat! Anginnya sudah bertiup lagi!" ┈───────────┈ Warning! Typo, alur tidak jelas, out of character, melenceng jauh dari game dan alurnya, ga masuk akal, cringe. [ ReaderInsert! ] ...