Bab 2: Inka Savrinadeya

17 1 0
                                    

Kamu Langit, Aku Bumi

Oleh: Tatiek R. Anwar p

Bab 2: Inka Savrinadeya

"Pak, saya mau ngomong soal Akhza," ucap Inka.

"Akhza? Kamu kenal dia?" tanya Pak Malik heran. Ia melihat ke arah pemuda itu yang sedang memandangnya dan tersenyum kikuk.

"Ceritanya panjang, Pak," sahut Inka disertai senyum lebarnya.

Mengalirlah cerita dari gadis berbibir tipis itu. Alin yang berdiri di samping Inka sesekali menimpali. Pak Malik hanya mengangguk-angguk, sedangkan Akhza hanya diam memperhatikan.

"Inka ... dari dulu kamu memang seceroboh itu," sahut dosen pengampu mata kuliah ekonomi politik itu setelah si gadis menyelesaikan ceritanya. Inka hanya menjawab dengan menyengir.

"Oke, Za ..., " ucap Pak Malik sambil menatap pemuda itu. "kamu boleh presentasi minggu depan."

"Yes! Terima kasih, Pak." Akhza meraih tangan Pak Malik kemudian mencium punggung tangan itu saking senangnya.

"Tapi ingat, jangan sampai mengulangi karena saya nggak akan kasih dispensasi lagi." Pak Malik mengingatkan.

"Tapi, Pak ...," protes Akhza. "Ini bukan kesalahan saya."

"Tidak ada alasan, apa pun itu!" tegas dosen yang disegani mahasiswa itu.

Akhza hanya menanggapi dengan senyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Udah selesai, kan? Saya pamit, ya, assalamualaikum." Dosen itu pun berlalu.

"Terima kasih, Pak," sahut Akhza dan Inka hampir bersamaan.

Pak Malik hanya menanggapi dengan mengangkat tangan kanannya. Namun, sedetik kemudian ia berhenti dan menoleh. "Inka, cobalah mengubah sifat tergesa-gesamu!" pesannya, lalu melanjutkan langkah.

"Eh, iya, Pak," sahut gadis itu dengan senyum tersipu.

"Makasih, ya, Ka," ucap Akhza yang masih berdiri tidak jauh dari Inka.

"Sama-sama," jawab gadis itu sambil lalu. Ia dengan santai meninggalkan tempat itu.

Sesaat ia berbalik. "Lin, ngapain bengong di situ? Aku lapar, ke kantin, yuk!" ajaknya tanpa meminta persetujuan sang sahabat. Langkah cepatnya meninggalkan Alin beberapa meter di belakangnya.

"Lin," panggil Akhza pelan. Ia khawatir panggilannya terdengar gadis ceroboh itu. "Pak Malik itu siapanya Inka?" tanyanya penasaran.

"Tanya sendiri sama orangnya," sahut Alin, lalu menyusul Inka dengan langkah cepat.

***

Sang surya mengintip malu di balik awan. Angin sejuk yang berhembus membuai sebagian orang untuk kembali menarik selimut dan melanjutkan mimpi. Namun, tidak demikian dengan Inka, gadis beriris cokelat itu selalu bangun di awal hari. Ia terbiasa bangun sebelum Subuh dan melakukan shalat tahajjud.

Hari ini Inka kuliah jam sepuluh pagi, jadi ia agak santai. Seperti biasa, setelah shalat Subuh dan membaca beberapa lembar Al-Qur'an, gadis berwajah tirus itu menyiram tanaman di halaman rumahnya yang asri. Melihat tanaman yang subur dan berbunga menjadi kebahagiaan tersendiri baginya.

Sinar mentari mulai mengintip malu, menggantikan gelapnya malam. Bagi Inka, pagi selalu istimewa. Udara segar di pagi hari dan cahaya keemasannya menularkan energi positif dan semangat dalam diri gadis enerjik itu.

"Assalamau'alaikum, cantik." Suara bariton menyapa gadis yang sedang menata letak pot aglonema itu.

"Wa'alaikumussalam, ayah kebanggaan Inka," jawabnya dengan senyum yang menambah keayuannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kamu Langit, Aku BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang