Something happen last night. Yes, aku ketiduran :) Sorry banget yang udah nungguin, tapi nanti malam akan update sesuai jadwal ya! Thx you n enjoy ♡
🔅🔅🔅🔅🔅🔅
"Bye, sayang." Ucap Nara sembari melambaikan tangan kepada Radi yang berada di bangku kemudi.
Tangan kanan Radi ikut melambai, disertai dengan senyuman pada bibirnya. "Bye, aku jalan ya." Sahut Radi kemudian lanjut melajukan mobilnya begitu mendapat anggukan dari Nara.
Seperti orang-orang pada umumnya, hari biasa akan dipenuhi oleh rutinitas pergi ke instansi tempat mereka bekerja. Tak terkecuali Nara. Hari ini jadwalnya masuk kerja setelah sempat cuti kemarin. Tidak ada yang spesial, kerja tetaplah aktivitas yang menguras tenaga. Namun mau bagaimana lagi, namanya juga ia hanyalah pegawai kantor biasa yang rutin digaji tiap bulannya.
Nara melangkahkan kaki ke dalam ruangan tempatnya berada. Semua orang sudah datang, ialah yang terakhir. Nara juga bingung sebenarnya, mengapa orang-orang di ruangannya kelewat semangat untuk bekerja. Ini masih jam setengah delapan dan Nara bersumpah rekan kerjanya itu pasti datang sedari jam tujuh pagi tadi.
"Hai, Nar!" Dewi menyapa Nara begitu wanita itu duduk di kursinya yang saling bersisian.
Nara tersenyum sumringah. Dewi ini salah satu temannya yang lumayan akrab setelah projek di Bali kemarin. Setelah bertahun-tahun tidak terlalu mengakrabkan diri kepada rekan-rekan satu ruangan, akhirnya Nara dapat bertemu juga dengan orang yang nyambung plus seirama dengannya. Tak hanya Dewi, Nino pun turut menjadi teman akrabnya sekarang. Lelaki berbadan gembul yang kerap melontarkan banyolan kepada dua orang receh macam Nara dan Dewi.
"Hi, Wi! Pasti hari-hari lo too flat ya gak ada gue?" Sapa Nara jahil. Suatu kepuasaan tersendiri melihat ekspresi Dewi yang tidak karuan ketika ia goda seperti ini.
Senyum masam dari Dewi terbit sebagai bentuk tanggapan dari sapaan Nara. "Kamu kepedean banget, Nar. Justru kamu ketinggalan cerita baru." Sahut Dewi sembari memutar kursinya agar bisa menghadap Nara yang berada persis di sebelah.
"Paling si Nino, kan? Ketinggalan apa lagi nih gue?" Tebak Nara.
Dewi mengangguk. "Sekarang susah kalau mau ngajakin dia makan siang, Nar. Katanya mau diet, jadi bawa bekal sendiri gitu."
"Loh, ya bagus, dong. Kan gue udah bilang juga dari kemarin-kemarin untuk diet. Kasian soalnya napas dia agak susah kalau disuruh naik turun tangga."
Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum mengenai bentuk tubuh temannya iyang lumayan sedikit besar itu akibat porsi makan yang tidak terkira. Jika lift sedang ramai, biasanya mereka bertiga lebih memilih untuk naik tangga agar bisa lebih cepat sampai ke ruangan kerja. Namun, sering juga Nara dan Dewi sungkan karena takut akan memberatkan Nino. Meskipun Nino selalu bilang jangan mengkhawatirkannya, para wanita itu masih memikirkan agar sebisa mungkin tidak membuat Nino kesusahan. Alhasil, mau tidak mau mereka tetap menetap di depan lift meski keadaan lumayan ramai dan mendekati berakhirnya jam makan siang.
Kepala Dewi bergerak naik dan turun. "Iya sih, benar. Tapi masalahnya, ini bukannya nambah sehat tapi Dewi rasa malah nambah penyakit, Nar."
Alis Nara menyatu kebingungan. "Maksudnya gimana?"
"Itu loh Nar, Nino masa bawa bekalnya kadang cuma nasi merah aja. Kadang juga enggak makan seharian alias cuma minum air putih atau jus buah gitu."
Baru saja Dewi mengadu kepada Nara, batang hidung Nino pun muncul dari arah luar. Senyuman lebar lelaki berbadan tambun itu tercetak jelas untuk dua orang yang sedang membicarakannya di pojok sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika II: When The Blooms Has Fallen Off [ON GOING]
ChickLit[A Sequel of Senandika] Nara percaya hidup penuh kejutan. Nara juga percaya bahwa setiap kejadian di hidupnya punya makna tersirat. Hidupnya yang baik-baik saja, dalam satu malam berubah seketika. Dinding kokoh pernikahannya perlahan mulai retak. Hu...