Prolog

38 2 0
                                    

                               

                                                      

Sore itu kota ini sedang dirundung hujan tatkala lelaki berjaket denim itu memilih untuk berteduh pada teritis pertokoan. Ia mengusap bagian jaketnya yang basah, kemudian mengantupkan kedua telapak tangan lalu menggosokannya untuk memberikan rasa hangat.

"Udah tau di negara kita tuh cuman ada dua musim, kenapa nggak bawa jas hujan?" ujar suara lembut itu yang membuat sang lelaki menoleh.

Lelaki itu baru menyadari ada seorang gadis di sebelahnya. Gadis dengan sweater berwarna putih bergambar kepala panda tengah asik membaca buku. Sepertinya gadis itu sesusia sang lelaki.

"Ah saya memang tidak pernah membawa jas hujan, lebih senang seperti ini." Balas lelaki itu.

Gadis itu menutup bukunya lalu menoleh menatap lelaki di sebelahnya. Tatapan mereka bertemu untuk pertama kalinya. Entah karena rambut panjangnya yang tergerai, atau karena mata cokelat yang berbinar indah, gadis itu membuat semesta lelaki itu terhenti untuk beberapa detik.

"Apa yang disenangi dari hujan, yang cuman bikin sakit." Ujar sang gadis.

Suara lembut itu membuat semesta sang lelaki kembali berputar. Sang gadis lantas mengalihkan pandangannya menatap jauh ke arah hujan yang turun.

"Kalau itu tergantung kenangannya yang ikut turun bersama hujan. Ia turun untuk menumbuhkan banyak hal yang gugur. Memberi harapan untuk hidup." Kata lelaki itu yang kini pandangannya juga menatap jauh pada hujan. Ada jeda beberapa saat.

"Hujan yang aku kenal adalah hujan yang bikin aku sakit." Balas gadis itu yang kini mendekap bukunya. Bola matanya yang berbinar menatap hujan dengan tatapan sendu. Lelaki itu seperti kehabiskan kata untuk menjawab.

"Bagaimana dengan Minke?" tanya lelaki itu untuk mempertahankan percakapan.

"Ah?"

"Buku yang kamu baca, Tetralogi Buru kan. Buku pertama. Bumi manusia, pasti kamu tau siapa Minke?" kata lelaki itu.

"Oh hemmm, untuk setiap orang yang lagi jatuh cinta kadang ngelakuin hal di luar dari dirinya sendiri, yang terkadang membuat hidupnya seperti tidak logis menurut orang lain. Seperti perjalanan cinta Minke kepada Annelies Mellema." Ada jeda beberapa saat.

Gadis itu melanjutkan perkataannya. "kamu pernah baca buku ini?" tanya sang gadis.

"Ah ya saya pernah membacanya."

"Siapa tokoh yang paling kamu sukai?" gadis itu kembali bertanya.

Sang lelaki kian antusias dengan bahan obrolan yang tersaji. Ia melipat tangannya di depan dada.

"Nyai Ontosoroh, saya kagum dengan nya. Perempuan yang bijaksana, dan cerdas. Ia sosok yang kuat." Balas lelaki itu.

"Oh ya aku tahu, sebenernya aku belum selesai baca buku ini, hemmm apa kam—" ucapannya terpotong oleh suara klakson mobil Taft Rocky hitam yang berhenti tepat di depan mereka.

"Eh aku sudah dijemput, aku duluan ya." Ujar gadis itu seraya berjalan mengangguk mohon diri. Berjalan lalu masuk ke dalam mobil. Lelaki itu balas mengangguk lalu tersenyum. Dan bintang itupun pergi entah kemana.

'Ah bodoh, siapa nama gadis itu' ia mengumpat dalam hati. Menyesali karena tidak sempat bertanya. Hujan kian reda berganti dengan rasa penasarannya yang mulai deras.

'Semoga nanti ada lagi hujan yang menahanmu di sini' ujarnya dalam hati, lalu menaiki motor tua miliknya menerobos hujan yang kini hanya menyisakan gerimis.

... ... ...

Waktu akan terus melangkah maju,

Hingga semesta dengan jahilnya membuat orbit

Kita saling bersinggungan, dengan cara – cara

Sederhana, kita dipertemukan.

... ... ...

Tempat Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang