Jingga

41 2 0
                                    

Jingga.

Dika Aksarajingga, nama yang diberikan oleh sang ayah. Berada di bumi sejak 17 tahun lalu. Lahir di dalam mobil ayahnya saat perjalanan menuju rumah sakit. Sang ibunda lebih gemar melukis di waktu liburnya sebagai seorang guru. Sedang sang ayah telah berpulang ketika Dika masih duduk di sekolah dasar. Ayahnya seorang jurnalis. Peluru bersarang di kepalanya ketika ia meliput pertikaian di wilayah konflik.

Sang ayah mewarisi banyak koleksi buku di rumah, yang bebas diakses oleh siapapun, tak terkecuali oleh kedua anaknya. Sejak SMP ia sudah senang menghabiskan waktunya untuk membaca beberapa buku yang mungkin akan sulit dipahami oleh anak seusianya pada waktu itu. Hingga menginjak SMA kebiasaan itu tidak lah luntur, kegemaran nya dalam membaca buku justru kian bertambah. Sedang sang kakak, Seruni Akasarahati, melanjutkan kuliahnya di kota Yogja.

Dika seorang remaja beraroama abu-abu lebih senang menggunakan motor tua warisan sang ayah untuk berpergian. Tak heran jika motor tua itu kerap kali membuatnya terlambat jika sudah mogok. Ia begitu mengandrungi sastra. Tak heran jika ia lebih memilih untuk mengikuti ekstrakulikuler jurnalistik di sekolahnya. Dika lebih senang menghabiskan waktunya untuk menulis artikel yang akan upload di portal sekolah setiap minggunya. Serta menerbitkan majalah sekolah di setiap bulannya. Terkadang mengunggah tulisannya di laman sosial media jurnalistik sekolah.

Jam istirahat pun tiba, beberapa siswa tengah asik menikmati makan siangnya di kantin, termasuk Dika dan dua kawan baiknya. Budi Alkatiri dan Yudi Priadi.

"Dik, menurut gue mah mending jual aja tuh motor, dari pada nyusahin mulu." Ucap Budi.

"Enggak mungkin Saya jual Bud." Balas Dika.

"Bener kata Budi, dari pada lu telat mulu masuk kelas, mending lu jual terus beli yang rada bener dikit lah." Ujar Yudi sambil melahap bakwan yang sedari tadi berada di genggamannya.

"Gimana ya Bud, saya sudah gandrung mencintai motor tua itu." Balas Dika.

"Yaah Selera lu kayak bapak gue dong." Seloroh Budi tertawa.

"Eh bentar lagi bakal pemilihan ketua OSIS mending lu nyalonin aja, Dik." Ujar Yudi.

"Saya enggak tertarik, Yud." Jawab Dika.

Budi dan Yudi adalah kawan satu kelas Dika, mereka kenal sejak kegiatan masa orientasi sekolah, hingga akhirnya berkawan baik hingga hari ini.

"Gue bakal dukung banget kalau lu jadi ketua OSIS, tolong hapusin razia rambut biar gue bisa gondrongin rambut nih." Seloroh Budi sambil mengusap rambutnya yang cepak.

"Bud, kalau lu gondrong yang ada mirip kain pel dikasih nyawa." Yudi tertawa.

Beberpa detik kemudian datang seorang gadis dengan rambut dikuncir satu. Tidak terlihat feminim. Namun terlihat begitu manis.

"Nah kan kain pelnya dateng." Kata Budi.

"Yee sialan." Ujar gadis itu seraya memukul pelan bahu Budi.

Gadis itu turut duduk bersama. "Kalian denger enggak katanya si Raka bakal nyalonin jadi ketua OSIS." Kata sang gadis.

"Raka yang satu kelas sama kamu kan, Ra?" Tanya Dika.

"Yang Kapten tim basket itu kan?" Ucap Yudi.

"Yang rambutnya klimis banget kan, kayak pake lem aibon gitu?" seloroh Budi.

"Iya siapa lagi kalau bukan dia, cowok ter hits se-SMA Mandala." Jawab Lara.

"Enggak gue enggak bakal setuju kalau si klimis jadi ketua OSIS." Budi berpendapat.

Dika melipat tagan di atas meja. "Potensi juga sih, sekarang siapa yang nggak kenal dia, satu sekolahan tahu siapa dia, apalagi tahun ini dia sama tim basketnya juara turnamen,"

"Terus dia ganteng pasti cewek satu sekolahan bakal pilih doi." Ucap Yudi.

"Yeee enak aja, aku belum tentu pilih Raka, sekalipun dia temen sekelasku." Ujar Lara.

"Eits tahan dulu, kalau si Dika ikut nyalonin nih anak bakal jadi lawan yang tepat, iya enggak, Dik." Kata Budi sambil merangkul leher Dika.

"Apaansih Bud, Saya enggak tertarik. Saya enggak punya prestasi apapun, lagipula enggak bakal ada yang kenal sama saya, jadi kemungkinan menang cuman 0,03%." Jawab Dika.

"Terus kamu lupa dengan kesempatan 0,97% untuk menang." Balas Lara.

"Nah tuh dengerin kata kanjeng ibunda Lara." Seloroh Budi.

Lara memang tak pernah mau kalah dengan Dika. Gadis itu adalah kawan dekat Dika semenjak dari sekolah dasar. Hingga hari ini mereka selalu sekolah di tempat yang sama. Bedanya Lara masuk IPA sedangkan Dika memilih masuk IPS.

Pemilihan ketua OSIS di SMA Mandala beberapa minggu lagi bakal digelar, perbincangan ihwal siapa yang bakal jadi kandidat dalam politik sekolah ini bakal jadi topik pembicaraan yang hangat bagi para siswa Mandala untuk beberapa waktu kedepan.

Raka bakal menjadi calon terkuat. Lelaki itu dikenal oleh seluruh siswa, ia siswa berprestasi sudah pasti seluruh guru tahu siapa dia, dan parasnya yang tampan bakal menjadi nilai lebih bagi setiap gadis di sekolah. Sedang Dika ia sudah pasti tidak akan tertarik dalam hal seperti ini.

Siang itu selepas pulang sekolah Dika berjalan di lorong sekolah dengan membawa beberapa berkas yang ia hendak simpan di sekre jurnalistik. Namun secara tidak sengaja ada seseorang yang secara tiba – tiba keluar dari ruang guru. Seluruh berkas yang Dika pegang jatuh ke lantai

"Maaf." Ujar gadis itu sembari memunguti kertas yang berserakan di lantai.

"Enggak apa – apa." Dika langsung mengumpulkan kertas yang berjatuhan.

Setelah semua terkumpul mereka kembali berdiri. "Ah kamu—" ucap Dika yang tidak mungkin ia bisa lupa dengan wajah gadis yang berhasil menghentikan semestanya tempo hari. Gadis itu mengerutkan dahi mencoba mengingat.

"Lho kamu kan yang waktu itu berteduh dari hujan?"

"Kamu yang waktu itu enggak suka sama hujan?" balas Dika.

Mata gadis itu masih berbinar tidak ada yang berubah. Wajahnya masih semanis kala itu. hari ini nampak lebih jelas sebab tidak ada mendung yang membuatnya jadi temaram. Debaran itu kembali Dika rasakan, debar yang tak biasa. Ada jeda untuk beberapa saat.

"kok kamu ada di sini?" ucap Dika.

"Aku siswi baru di sini, kelas 11 IPA 2. Aku baru berangkat hari ini, barusan baru kelar ngurus berkas kepindahan." Jawab sang gadis.

Ada ledakan dopamin dalam kepala Dika ketika mendengar perkataan sang gadis. Sebelum akhirnya dia berucap, "Jadi kamu punya nama?"

"oh ya Aku Kinanti Putri Pelangi, panggil aja Kina." Balas sang gadis seraya menarik garis di bibirnya. "Jadi namamu?" ia melanjutkan perkataannya.

"oh Dika Akasarajingga, panggil saja Dika, kelas 11 IPS 3."

"yaudah aku duluan ya, Dika." Ujar sang gadis membalikan badanya.

"Lho Kina tunggu!" ucap Dika.

"Ha, Kenapa?"

"Itu berkas punya saya." Ujar Dika sembari menunjuk berkas yang masih didekap oleh Kina.

"Oh ya ampun, maaf." Ucap Kina tersipu malu, kemudian memberikan tumpukan kertas itu kepada Dika.

"Yaudah aku duluan ya, ayahku udah nungguin di depan." Ucap Kina mohon diri.

Dika mengangguk seraya memberi senyum. Senyum yang lebih lebar dari biasanya.

'Semoga ada banyak hal yang membuat kita kembali bertukar kata' gumam lelaki itu dalam hati.

... ... ...

Semesta selalu memiliki skenario terbaiknya,

Selalu ada alasan untuk setiap pertemuan,

entah mengutuhkan atau malah menghancurkan.

.... ... ...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tempat Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang