Umbrella Man

1 2 0
                                    

Ratri duduk bertekuk lutut, menatap sehelai kertas dengan cap merah di sudut kanan atas. Mengembuskan napas geram, dirinya memandangi saksama hasil try out masuk SMA-nya.

Ini memang bukan hal biasa, tetapi Ratri mulai bosan dengan sekolahnya ini. Hasil mengintip pelajaran Bagas yang sudah duduk di kelas XI SMA, membuat gadis berkuncir kuda tersebut ngeri.

"Aku hanya nggak bisa bayangin aja, gimana kalo deretan sin cos tangen itu bakal kupelajari juga," sungut Ratri sembari bersedekap. Lalu, meraih kertas ujian yang berada di atas lantai. Memandangnya lekat, "Ya Allah ... gini amat nasibmu, Rat!"

"Aku sebenarnya nggak apa-apa kalo nggak pinter. Tapi, please. Orang rumah jangan semuanya pinter-pinter banget," keluh Ratri pesimis, "Bunda kepsek HIS. Ayah polisi. Mas Bagas jago banget matematik."

Ratri pun merenung. Duduk bertopang dagu dan menyandarkan tubuh di head board kasurnya. Mendadak kepikiran sesuatu yang di luar nalar.

"Jangan-jangan iya, lagi. Aku ... bukan anak Ayah dan Bunda," terka gadis itu. "Tapi ... anak siapa, dong?"

Untuk beberapa saat, Ratri berpikir atas jawaban pertanyaannya sendiri. Matanya tak berhenti mengerling langit-langit kamarnya yang temaram itu. Dan entah dapat ilham dari mana, Ratri tetiba saja terpikir hal lain yang lebih di luar nalar lagi.

Gelagapan, Ratri menegakkan tubuh dengan wajah serius. "Jangan-jangan ... aku anaknya Om Krishna, hmm? Kata Ayah malem itu, Om Krishna pernah elus-elus perut Bunda pas hamil aku."

Kali ini si gadis sontak bangkit. Berlari ke luar kamar dengan agak pincang. Yah, walau kejadian nyusruk telah berlalu lima hari sebelumnya, tulang kering Ratri belum sembuh total. Akan tetapi, rasa penasaran yang kembali memuncak tersebut membikinnya mesti bergerak cepat.

Tepat di depan kamar orang tuanya, Ratri celingukan. Di jam pulang sekitar satu siang, tidak ada siapa pun di rumah. Ibunya tentu masih berada di sekolah, mengurusi satu-banyak hal yang tak Ratri tahu. Apalagi Ayahnya, Pak Ryan. Penyidik senior itu justru super sibuk lantaran marak sekali kasus penculikan anak dewasa ini.

Dan tolong jangan tanya si sulung Bagas di mana ia sekarang. "Pasti, sih. Si jenius itu, lagi belajar kelompok sama temen-temen superior-nya!" tebak Ratri, yang hapal betul kebiasaan Kakaknya.

And here she goes, di ruang paling rapi di rumah ini. Kamar Bu Berry dan Pak Ryan. Kombinasi pendidik-polisi yang super perfeksionis dan disiplin. Jangan ditanya mereka dapat dari mana sifat itu. Tentu dari masing-masing background pendidikan dan profesi mereka.

Ratri pun menengok ke segala arah. Tatapannya tertuju pada lemari kayu ukir yang ada di sudut ruang. Kakinya melangkah cepat untuk menemukan sesuatu yang berkelindan di pikirannya.

"Bisa jadi, ada sesuatu tentang Om Krishna di sini. Dan yah ... aku harus cari tahu kebenarannya. Iya, nggak sih orang itu Ayahku?" tanya Ratri lagi seenak hati.

Tidak mau lama-lama, gadis berusia 14 tahun tersebut mengobrak-abrik isi lemari orang tuanya tanpa takut kesulitan mengembalikan serapi mungkin. Ia terus saja mengorek isi laci milik Ayah dan Bundanya demi mencari bukti tentang Krishna.

Akan tetapi, sampai beberapa lama tangannya mengaduk hingga ruang terdalam, Ratri tak mendapat apa pun. Ia pun memasukkan sembarangan dokumen-dokumen laci lemari itu dan mengembalikannya ke dalam lemari.

Merasa belum puas, Ratri celingukan ke lain arah. Dan laci yang berada di nakas samping tempat tidur itulah sasarannya. Bergegas ke sana, gadis yang masih mengenakan seragam pramuka tersebut bergerak mendekat. Bersiap pula mengobrak-abrik isi laci lebar itu.

Melihatnya, Ratri memutar mata. Bukan mendapat hal yang ia inginkan, malah diperolehnya benda bulat warna kuning-biru bersemayam di sana. Diraihnya bola voli itu. "Ealaa ... ternyata disimpen sini sama Ayah. Hffft, lumayan, lah. Bisa buat main liburan nanti."

COROLLARY: Amicable NumbersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang