2

1K 162 28
                                    


sebelum lanjut, udah vote, 'kan?

Happy Reading 😜🤍


Mavendra mendorong motornya dengan tergesa-gesa, langkahnya berpacu untuk menyusul Aurora yang sudah berjalan lebih dulu. Setelah berhasil mendekat, ia menurunkan standar motornya dan mempercepat langkahnya, melewati Aurora. Tanpa ragu, ia merentangkan kedua tangannya di depan cewek itu, memaksanya untuk berhenti.

"Ada apa lagi, sih?" tanya Aurora, suaranya penuh kekesalan. Matanya menatap Mavendra dengan tajam, tanda bahwa kesabarannya mulai habis.

"Yuk, bareng gue," ajak Mavendra dengan senyum menggoda, mencoba melunakkan hati Aurora.

"Nggak," jawab Aurora singkat, tak bergeming.

"Ini udah sore, lho," Mavendra menambahkan dengan nada setengah bercanda. "Anak gadis nggak baik keluyuran di jam segini."

"Terus, kenapa?" Aurora balas menantang, alisnya terangkat.

"Nanti kalau ada om-om yang nyulik, gimana? Hm?" Mavendra mencoba membuat alasan yang terdengar konyol, tapi jelas ia serius.

Aurora hanya menghela napas pendek. "Bodo amat," katanya, berlalu tanpa memedulikan cowok itu.

"Lo bakalan dimutilasi, organ-organ lo bakalan dijual. Emangnya lo mau?" tanya Mavendra dengan nada mengejek.

"Mau," jawab Aurora, tanpa ragu.

Mavendra mengernyit heran, tak percaya dengan jawaban itu. "Lah, gila lo. Rada aneh cewek satu ini. Ayo, buruan, mumpung gue lagi baik hati, nih, mau nebengin lo. Eh, ralat, maksudnya calon pacar."

"Najis!" Aurora menolak mentah-mentah, matanya menyipit penuh perlawanan.

Mavendra menghela napas panjang, lalu mendekatkan wajahnya, suaranya menjadi lebih serius. "Mau pakai cara halus, apa pakai cara kasar?"

"Emangnya gue takut sama lo?" tantang Aurora, berdiri tegak menantang balik.

Sudut bibir kanan Mavendra terangkat membentuk seringai licik. "Beneran, lo nggak bakalan takut? Kalau misalnya lo gue apa-apain, nggak takut?"

Aurora tidak bergeming, tatapannya dingin. "Bacot!"

Langkah kaki Mavendra semakin mendekat ke arah Aurora. Seringainya lebar, namun bukannya menakutkan, malah membuatnya terlihat konyol, seperti jamet yang sok jagoan di lampu merah. Bagi Aurora, sosok Mavendra tak lebih dari badut yang berusaha tampil seram.

"Maju sekali lagi, lo bakalan mati!" ancam Aurora, nada suaranya penuh ketegasan.

"Gue mati juga nggak apa-apa, asalkan yang bunuh gue itu lo," jawab Mavendra dengan nada sok cool. Namun, dalam hatinya, dia sudah ketar-ketir, jantungnya berdebar kencang karena cemas.

Aurora melihat Mavendra terus mendekat tanpa gentar. Tanpa ragu, dengan gerakan cepat dan tepat, dia menendang Mavendra di tempat yang paling rentan. Cowok itu langsung terjatuh, menjerit kesakitan sambil memegangi aset berharganya.

"Maaf, gue sengaja," ujar Aurora dengan nada yang nyaris ceria, sebelum ia berlari kecil menuju taksi yang sudah menunggunya di depan.

Mavendra masih membungkuk, memegang erat asetnya yang berdenyut nyeri akibat tendangan Aurora. Sumpah, rasa sakitnya begitu menusuk, hampir tak tertahankan!

"Anj*ng! Kalau ini bukan tantangan, kagak bakalan gue lanjutin, cok! Bangsat, ini sakit banget!" gerutunya sambil menahan rasa sakit yang menjalar. Dengan langkah tertatih-tatih, Mavendra berjalan menuju motornya. Dia menyalakan mesin dan mulai melaju dengan kecepatan sedang, sesekali meringis kesakitan setiap kali ingatan tentang tendangan itu kembali.

MAVENDRA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang