Binar Cinta Semusim

5 1 1
                                    

Gunung memerah, menandakan siap mengeluarkan lahar. Kawasan di sekitar gunung berlubang-lubang. Itulah penampakan wajahku yang penuh dengan jerawat.

"Binar, kamu cantik kalau dilihat dari kejauhan. Tapi kalau dari dekat enggak banget, haha," ucap Dra salah seorang siswi di kelasku.

"Iya, si Binar kayak gunung. Dari kejauhan indah dipandang, dari dekat penuh bebatuan dan terjal," sambung Firman, yang juga teman sekelasku.

"Sabar Nar, sabar. Seseorang disukai bukan hanya karena parasnya, tapi karena sikapnya," Nadia menenangkanku.

Aku sudah terbiasa dengan ulah mereka. Selalu menghina kekuranganku. Kadang hatiku sangat sakit, sering aku mendoakan kejelekan terhadap mereka. Suatu saat mereka akan merasakan yang aku rasakan.

Kadang doa orang yang terdzolimi langsung di dengar Sang Pancipta. Salah satu dari mereka yang mencibirku, akhirnya berjerawat juga. Jika sudah seperti itu, hatiku bersorak gembara.

"Rasakan!" teriakku puas di dalam hati.

***

"Binar, hayu sarapan," teriak mamah di ruang makan.

"Iya Mah bentar," jawabku, aku masih sibuk memencet jerawat yang sudah memerah. Setelah cairan putih keluar, baru aku puas.

"Astaghfirullah Binar, mamah 'kan udah larang kamu mencetin jerawat. Itu muka kamu nanti jadi bopeng!" tiba-tiba mamah ada di belakangku. Mamah segera mencegah tanganku yang sedang sibuk memencet jerawat. Dia mengusap-usap wajahku.

"Ya Allah Nak, jangan jorok kek gini napa Nak!" Mamah nampak khwatir melihat kondisi wajahku yang mungkin terlihat berantakan dan memerah.

"Iya Mah, tapi Binar greget. Jerawatnya makin merajalela," sanggahku.

"Udah ah, sekarang juga ayo keluar. Kita makan. Udah siang. Kamu nanti kesiangan," ajak mamah.

"Bentar Mah, dikit lagi," ucapku yang masih greget dengan jerawat yang sebetar lagi meletus.

"Binar, udah! Nanti ke sekolah wajah kamu merah-merah enggak malu apa?" tegur mamah.

"Enggak, Binar mah udah biasa dengan nasib Binar yang tragis ini." Aku segera keluar, mengekor di belakang mamah, sambil mendengar petuah-petuahnya.

***

Siang ini, rapat OSIS dimulai. Sebagai ketua OSIS aku memimpin rapat dengan tegas. Kali
ini rapat Inti bagi organisasi ini. Rapat pelantikan anggota baru.

"Assalamualaikum, Kak maaf saya telat." Tiba-tiba seorang siswa membuka pintu ruangan OSIS.

"Wa'alaikumussalam, kenapa bisa telat? Kamu tau, Aku paling tidak suka orang yang ngaret. Karena bagiku waktu sangat berharga," seruku kepadanya.

"Udahlah Nar, kasin anak baru. Maklumi saja lah. Mereka baru mau dilantik, belum tau apa-apa!" tutur Firman.

"Iya juga sih. Tapi harusnya diawal rapat anak ini udah datang. Soalnya diawal rapat tadi dibahas apa aja yang harus dibawa anak-anak baru," ucapku kesal.

"Halah ribet amat sih Nar! Gue ga habis pikir, orang macam Lu bisa jadi ketua OSIS!" ungkap Dera teman sekelasku, dan juga merupakan sekretaris OSIS.

Wajahku boleh jelek, berjerawat. Tapi aku pandai, guru-guru menyukaiku. Aku juga ramah, hanya orang-orang sombong dan sok cantik kayak si Dera yang menganggap aku sebelah mata.

"Maaf Kak Binar, nanti saya tanya ke teman lain hasil rapat barusan," ungkap siswa baru itu, seolah menengahi perdebatan aku dengan Dera dan Firman.

"Baiklah sekarang kamu duduk, dan gabung bersama mereka," titahku, sambil menunjuk ke arah sekumpulan anak-anak baru.

"Makasih Kak." Anak baru itu memandangku lama. Tatapannya sangat aneh, sulit diartikan.

***

Hangat mentari menandakan cuaca begitu cerah. Padahal sekarang, sudah memasuki pertengan bulan September, seharusnya musim hujan sudah mulai. Tapi, kemarau panjang melanda daerah kami. Karena itulah, kami putuskan melakukan pelantikan anggota baru di alam terbuka.

Aku membawa ransel dan kantung besar. Aku sudah biasa seperti ini, tak ada tema ama OSIS yang mau membantuku meringankan beban. Kebanyakan dari anggota inti adalah musuh-musuhku di kelas.

"Kak sini aku bantu," tawar seorang siswa, yang ternyata siswa yang terlambat rapat kemarin.

"Ga usah," jawabku ketus.

"Sini Kak." Dia meraih tas tanpa seijinku.

"Yaudah kalau kamu mau, ngomong-ngomong nama kamu siapa?" tanyaku penasaran.

"Kenzi Kak, saya kelas X IPA 2," jawabnya.

"Kenzi?" tanyaku penasaran.

"Iya Kak, Kenzi Dwi Permana. Ayahku suka sastra Jepang. Makanya aku dikasih nama Kenzi," paparnya.

"Unik sekali. Nama saya Binar Cahyani Ayu," tuturku sambil mengulurkan tangan.

"Udah tau Kak, udah lama aku merhatiin Kakak, hehe. Kakak kan pentolan OSIS, orang terkenal," ucapnya.

"Halal, paling terkenal karena jerawatan," tuturku dengan nada malas.

"Enggak kok, bagi anak baru, Kak Binar sosok yang hebat, pintar, public speakingnya bagus. Guru-guru juga pada suka," ungkapnya dengan tegas. Dan aku merasa ingin terbang dibuatnya.

"Tidak dengan teman sekelasku, mereka selalu mengejekku. Mereka jahat, mereka menyebalkan. Ops, maaf jadi curhat." Aku segera berjalan dengan cepat, berusaha lebih depan dan tidak sejajar dengannya. Aku takut, banyak bicara yang macam-macam kepada anak baru itu.

Tanpa terasa langkah ini sudah tiba di mobil bus yang akan membawa rombongan kami. Pak Akmal, guru pembina OSIS melambaikan tangan kepadaku, mengajakku duduk di sebelahnya.

"Kak, ini tasnya," ungkap Kenzi terpongoh-pongoh mengejarku dan menyerahkan tas.

"Makasih Ken." Aku segera melangkah menuju pembina OSIS.

***

Dalam perjalanan aku sibuk berbincang dengan pembina OSIS. Membicarakan program kerja, serta kegiatan sekolah lain. Sesekali aku berjalan hilir mudik di dalam bus, memastikan semua peserta baik-baik saja.

"Kak, sini. Ini ada anak yang mabuk perjalanan," teriak seorang siswa.
Aku segera berlari menghampiri sumber suara.

"Kenzi?" Mukanya tampak pucat, rasa mual tampak tergambar di wajahnya. Aku segera mengeluarkan satu kantung keresek dan menempelkan ke mulutnya.

"Huek!" Ken menutup mulutnya.

"Kelurkan Ken, jangan ditahan!" titahku.

Akhirnya Ken mengeluarkan isi perutnya. Segera aku ikat pelastik itu, dan memasukan ke dalam tong sampah. Ku usap mulut dan peluh di dahinya dengan tisu.

"Makasih Kak Binar," ucapnya.

"Buka kaoasnya," titahku. Ken menggeleng kepala.

"Mau apa?" tanyanya penasaran.

"Membalur punggungmu dengan kayu putih." Aku segera mengambil kayu putih di tasku.

"Ayo Ken buka," titah teman sebangkunya.
Aku segera membaluri punggunya dengan minyak kayu putih.

"Ini perutnya, kamu sendiri yang balur!"
Kemudian aku memberinya tolak angin, dan air hangat dari termos kecil.

"Minum!"
Ken, menerima dan menurut saja apa yang aku perintahkan.

"Tidurlah, setelah minum badanmu akan terasa hangat." Setelah merasa cukup, aku meninggalkannya.

"Untung ada si Binar. Kalau gue, ngurus yang kayak gitu ga kuat," ungkap Dera.

"Iya jijik!" sambung Firman.

Aku hanya diam, orang seperti mereka tidak pantas aku ladenin.

***

Hampir dua jam kami melakukan perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Kami bergegas turun menuju bumi perkemahan. Udara sejuk menyeruak ke dalam rongga dada. Seseorang tiba-tiba menghampiriku.

"Kak Binar, terimakasih. Sini biar tasnya aku yang bawa." Ken mengambil tas yang aku pegang tanpa meminta persetujuan dariku.

Binar Cinta SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang