Bab 1: Nyala Lilin

35 12 1
                                    

"Terkadang api sekecil lilin dapat menjadi api besar yang membara"

Langkah seorang laki-laki yang tergesa-gesa memasuki lobi rumah sakit bersalin "Pelita Ibu". Ia bergegas menuju ruang bersalin di mana istrinya telah berada di sana. Dia adalah Andrean, ia segera menemani sang istri yang sedang bertaruh nyawa melahirkan anaknya.

Tangisan seorang bayi memecah kesunyian rumah sakit itu. Senyuman yang merekah dari bibir Aliana serta tangisan haru dari luar ruang bersalin. Andrean segera memberi kabar pada ibu Aliana yang telah berada di luar ruang bersalin.

"Bu, sudah lahir, anak laki-laki," ucap Andrean pada ibu mertuanya.

"Alhamdulillah Le, wes ndang di adzani," (Alhamdulillah Nak, sudah cepat di adzani) ucap syukur Ibu Ningsih dengan logat Jawanya.

"Waduh Bu, Mas Angkasa mawon nggih sing adzan, kulo tasih ndredeg," (Waduh Bu, Mas Angkasa saja yang adzan, saya masih belum siap) kilah Andrean sambil memandang dan memohon pada kakak iparnya.

"Yo wes, ndi anak'e ndang tak adzani," (Ya sudah, mana anaknya biar saya adzani) pinta Mas Angkasa pada Andrean.

Setelah beberapa proses persalinan hampir usai, Angkasa masuk di ruang bayi yang bersebelahan dengan ruang bersalin. Ia mengadzani bayi itu. Setelah adzan dan iqamah di telinga bayi mungil itu, Angkasa bertanya kepada adik iparnya itu perihal nama bayi.

"Siapa nama anakmu itu?" tanya Angkasa.

"Sekala Mas,"

"Yen ngewehi jeneng anak kui, kudu enek artine sing becik Le, kuwi dungo wong tuwo menyang anak'e," (Kalau memberi nama anak itu, harus punya arti yang bagus Nak, itu adalah doa orang tua terhadap anak) ucap Ningsih memberi nasehat pada menantunya.

"Nggih Bu, Sekala menika artine yang terlihat Bu, monggo nami lengkape Ibu mawon ingkang nyukani," (Iya Bu, Sekala dalam artian yang terlihat Bu, silahkan untuk nama lengkapnya Ibu aja yang kasih)

"Menawi Al-Fatih yok nopo Bu?" (Kalau Al-Fatih bagaimana Bu?) tanya Angkasa pada ibunya.

"Kuwi apik Le, artine Sang Penakluk," (Itu bagus Nak, artinya sang penakluk) Ningsih memberi senyuman di ujung ucapannya. Andrean ikut setuju dengan nama dari kakak iparnya itu.

Sehari setelahnya, mereka mengemasi barang untuk pulang. Mereka masuk ke dalam taksi yang sudah dipesan. Sampai di rumah Ningsih, mereka langsung disambut dengan banyaknya saudara yang sudah menunggu kepulangan Sekala.

"Ya ampun, gantengnya ponakan tante," puji Rena, langsung mengambil alih Sekala dari tangan Alia. Keluarga besar Ningsih sedang berkumpul di ruang tamu, bergantian menimang lelaki mungil yang berstatus cucu pertama di keluarga.

"Mbak cuti sampai kapan?" tanya Rena.

"Dua bulan,"

"Loh bukannya tiga bulan?" tanyanya lagi.

"Aku gak bisa ninggalin kantor lama-lama. Lagian juga ada ibu," Rena hanya diam tak membalas perkataan terakhir kakaknya.

"Masa kamu gak ada yang bisa ganti in kamu untuk hari ini aja?" Dari tadi Andrean memohon pada Alia untuk tidak pergi ke kantornya pada hari acara selapan Sekala.

"Di kantor itu lagi ada seminar, aku harus datang. Ini penting! Lagian nanti bonusnya juga lumayan buat beli susunya Sekala!" elak Alia yang muak dengan permohonan suaminya dari tadi.

"Sekala anak kamu! Penting mana kerjaan kamu sama Sekala?!" rasanya Andrean tak habis pikir dengan pemikiran Alia.

"Aku kerja juga buat Sekala! Kamu pikir aku kerja buat aku doang! Dah, ngomong sama kamu habis in waktu buat ngomong gak jelas!" Alia pergi meninggalkan Andrean di kamar.

Alia pergi meninggalkan rumah ibunya dalam keadaan ramai saudaranya yang sedang mengurus acara selapan anaknya.

Rumah minimalis bernuansa biru diisi tiga insan di dalamnya dengan suasana sunyi. Hanya ada suara anak berumur tiga tahun yang sedang merengek. Pandangan sepasang kekasih yang duduk di ruang tamu hanya terfokuskan pada handphone mereka masing-masing.

"Tuh Kala ngantuk," ucap Alia memecah keheningan yang tercipta cukup lama.
Andrean mengangkat pandangannya pada putranya, "bentar, ya, papa buatin kakak susu dulu." Langkah kakinya membawa menuju dapur.

Sementara dari tadi, ponsel milik Andrean yang sengaja ditinggal di meja ruang tamu terus bergetar dan menampakkan nama "Sindy" di sana.

"Pacar kamu tuh, dari tadi telepon terus!" sindir Alia pada Andrean yang baru saja kembali dari dapur, menyerahkan botol susunya ke Sekala.

Dengan alis yang terangkat satu, ia berkata "ngapain kamu ngomong gitu segala!" balas Andrean dengan nada yang meninggi serta menunjuk wajah istrinya.

"HEH, KAMU PIKIR AKU NGGAK TAU KEDEKATAN KAMU SAMA SINDY ITU!" Alia yang tersulut emosinya pun membalas dengan senyum meremehkan pada suaminya.

Sedangkan mereka tak menyadari bahwa Sekala melihat pertengkaran orang tuanya di depan matanya. Sekala berjalan pelan menuju kamarnya dengan rasa takut, ia memegang erat botolnya. Anak laki-laki itu bersembunyi di bawah meja belajarnya, duduk dengan mendekap kakinya.

"Kamu cemburu sama Sindy? Eh, kami tuh cuma teman. KALAU KAMU SAMA NANDO ITU, BARU SPESIAL HUBUNGANNYA!" emosi Andrean semakin menjadi-jadi. Alia yang tidak terima pun berdiri.

"Gak usah lempar kesalahan deh, anak kamu tuh yang kasih tau foto kamu berdua dengan Sindy dari dompetmu, plus bekas tiket nonton!" papar Alia.

"EH, JANGAN DIKIRA AKU BUTA, GAK LIAT AFAIR KAMU SAMA NANDO. INGET! KAMU TUH SUDAH JADI IBU!" bentak Andrean.

"Lagian aku gak pernah punya rasa sedikit pun sama dari awal, hanya karena kamu hamil aku nikahin kamu,"

"Kalau gak ada rasa, kenapa kamu nglakuin itu? LAKI-LAKI BEJAT KAMU!" maki Alia.

"Dari awal aku tuh suka Rena. Kamunya aja yang ngebet suka sama aku," balas Andrean. Alia yang terkejut, semakin emosi menghadapi suaminya.

"Oh, jadi aku cuma pelarian? ANDAI AKU TAU DARI AWAL, AKU GAK AKAN SUKA SAMA LAKI-LAKI BEJAT DAN GAK BERMORAL KAYAK KAMU!" bentak Alia penuh penekanan.

"Untung Rena gak balas cintamu, mungkin dia ngerti"

Di posisi lain, Sekala memeluk tubuhnya dan terisak pelan. Sebisa mungkin ia memelankan suaranya agar tak terdengar. Dirinya sangat ketakutan karena orang tuanya saling meneriaki satu sama lain.

Pagi ini seperti rutinitas biasanya, Sekala dititipkan di rumah eyangnya. Di lantai dua, kamar paling depan, di sanalah Sekala berada sekarang, kamar milik tantenya.

"Ate, adek boboknya lama ya?" Sekala menghembuskan napas kasar. Ia ingin sekali mengajak anak dari tantenya itu bermain.

"Iya dong, kan adeknya masih bayi, Mas Kala," jawab Rena-tantenya.

"Kemarin, mama sama papa marah-marah, kakak sembunyi di kamar," adu Sekala pada tantenya.

"Kenapa? Mama sama papa marahin Mas Kala?"

Sekala menggeleng, "mama marah karena Tante Sindy telepon ke papa," jelas Sekala dengan nada pelatnya.

Rena mengerutkan keningnya, siapa yang dimaksud Sindy.


See you next chapter rekk!
Bye, ojok kangen ya xixixi

Jangan lupa vote
Sama komen sebagai absen bahwa kalian hidup😃


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I'm Not Your VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang