"Berapa orang?"
Wanita di depanku berjalan dengan gerakan pinggul yang dibuat berlebihan. Membuat rok tipis yang menutupi sedikit bagian pahanya mengayun kesana-kemari. Ketukan sol dari sepatu tingginya teredam karpet tebal yang tergelar di sepanjang koridor.
"Cuma tiga orang. Bisa sendirian 'kan?" tanyanya setelah berhenti di depan pintu kaca patri warna-warni.
"Mau gimana lagi. Lo baru bilang sekarang." Aku mengangkat kedua bahuku dengan malas. Harusnya dia bilang dari awal kalau klienku hari ini lebih dari satu.
"Mereka enggak cocok sama yang lain. Pelanggan lama. Udah tahu barang barang bagus."
Bukannya aku enggak bisa. Hanya saja, jika tahu harus melayani lebih dari satu orang, aku enggak akan ikut ajakan Bima untuk fustsal sore tadi. Gila aja. Dengan badan seremuk ini, harus olah raga tambahan malam harinya.
"Nih." Wanita di depanku menyodorkan sebuah pil berwarna biru. Sangat aku kenal karena sebagian besar teman sepekerjaanku mengkonsumsinya.
Aku mendorong tangannya yang sedang memegang pil itu. "Enggak usah. Gue masih kuat."
Wanita dengan lipstik merah cabai itu menaikan kedua alisnya. "Oke. Gue tahu performa lo. Makanya bayaran lo mahal."
Aku tersenyum getir. Jika bukan karena faktor genetik, kayaknya pil itu akan jadi sahabat setiaku dalam bekerja.
"Have fun." Wanita itu menepuk bahuku pelan dan menyunggingkan senyum kemenangan yang menyeramkan.
Aku manarik napas dalam-dalam sambil melihat pinggul yang menjauh. Dia menghilang di balik pintu lift yang segera bergerak turun.
Aku mengeluarkan kotak putih bergambar leher yang di perban akibat kanker. Aku mengabaikan gambar mengerikan itu dan tetap mengambil tembakau campuran berbalut kertas putih dari dalam kotak itu.
Memantik lalu mengisapnya kuat-kuat. Itu ritualku sebelum bekerja. Pekerjaanku? Ada dibalik pintu ini. Mari kita lihat siapa yang akan mendapatkan pelayananku malam ini.
"Sorry nunggu lama," sapa ku dengan senyum lebar yang tadi aku paksakan menempel di wajahku.
"Agh, akhirnya sama Jerry lagi," pekik wanita dengan riasan tebal. Rambutnya bergelombang tinggi seperti tsunami dan pakaian yang terlalu ketat. Memaksa tiap lemak dalam tubuhnya tersiksa dan minta di bebaskan.
Dia menyebutkan nama yang harus aku pakai jika sedang bekerja. Bisa kacau dunia persilatan kalau klien-klienku tahu nama asliku.
"Eh, ketemu lagi, Tan." Aku menghampiri wanita yang tadi memekik. Dia menyambutku dengan bentangan tangan dan dada yang menyembul.
"Tante siapa coba namanya?" godanya manja. Tangannya sudah menarik-narik bagian depan kemejaku.
Aku larikan tanganku ke pinggangnya. "Aduh aku suka lupa namanya. Tapi, enggak akan lupa goyangannya," bisikku di telinganya. Membuat dia menggeliat seperti ulat bulu besar di dahan pohon rambutan.
"Jeng, bawa sini, bawa sini," pinta dua wanita lainnya dengan mata lapar.
"Ayo Jerry, aku kenalkan sama teman-temanku." Si wanita yang usianya berkali-kali lipat di atas itu itu mendorong pelan punggungku. Sedikit meremas sebenarnya. Namun, aku biarkan.
Aku menurut dan berjalan ke arah para wanita haus lelaki yang sedang menungguku di sofa. "Tenang, Tan. semua kebagian."
Ucapanku memebuat mereka berteriak senang. Lalu pesta dimulai.
***
"Setan! Segala ada kuis dadakan." Umpatku sambil terseok keluar dari kamar kos.
Pagi hari yang melelahkan. Aku baru menyentuh bantal tidak lebih dari dua jam. Namun, sekarang dengan kepala yang rasanya habis terbentur tembok, sudah sibuk mencari sepatu kets di depan pintu kamar kos.
"Lo nyari ini?" Suara lembut terdengar dibelakangku. Aku menoleh.
Cewek dengan kunciran tinggi menggulirkan sepatu kets ke arahku. "Thank's"
"Lo enggak mandi ya?" tanyanya lagi. Dia duduk di sampingku. Sama-sama memakai sepatu di bangku panjang dekat pintu keluar.
"Orang ganteng enggak perlu mandi," selorohku dengan cengiran jahil.
Cewek yang punya semburat merah di pipinya itu memutar bola matanya. Gemes sih, sebetulnya. Tapi yah, dia udah punya cowok. Enggak bisa di godain lebih dari ini.
"Jemmy, gue nebeng ya. Naik angkot ke kampus banyak ngetemnya." Dia berdiri di depanku. Menunggu aku menyusulnya bangkit. Sedikit limbung karena pengar yang belum mereda. Namun, cepat aku kendalikan sambil berpegangan pada bahu kecilnya.
"Cowok lo enggak jemput?" tanyaku setelah berdiri dengan sempurna.
Bukannya menjawab, dia malah mengernyit melihat penampilanku dari atas sampai bawah.
"Enggak jadi ah. Mending naik angkot. Lo masih belum kumpul nyawanya. Takut tabrakan di jalan." Ujarnya sambil berjalan mendahuluiku.
Aku mengangkat bahu tidak peduli. Bagus lah dia takut aku boncengin. Kalau bawa cewek sambil mengejar waktu agar sampai di kampus tepat waktu, bisa bikin cewek ini jejeritan di jalan.
***
"Waktu sudah habis. Kumpulkan." Suara bariton di depan kelas satra memicu berbagai umpatan di kepalaku.
"Anjir, lah. Jawabannya sepanjang ini waktunya cuma sedikit."
"Kenapa Jemmy?"
Aku mendongak dan menemukan pria setengah botak di depanku sedang menatap ke arahku. Tajam juga kuping dosenku ini.
"Pulpen saya tintanya habis, Pak," kilahku dengan santai.
"Banyak alasan kamu. Cepat kumpulkan."
Aku mendengar kekehan pelan dari teman-temanku yang sudah mendahului menyerahkan lembar jawaban ke tangan Pak Botak.
"Mau gue pinjemin pulpen?" Bisik salah satu teman wanita yang dengan terang-terangan meremas pahaku.
"Enggak perlu. Gue masih punya cadangan," tolakku risih. Masih pagi sudah dilecehkan.
"Pulpen lo tintanya putih mana bisa buat nulis," godanya lagi. Kini badannya membungkuk ke hadapanku. Sialan, bikin susah konsentrasi.
"Hey, kamu Sabrina. Jangan ganggu dia. Punya kamu aja masih ngaco begini." Si Pak Botak menyelamatkanku dari cewek berparfum menyengat ini. Beli di mana sih? Masa dia enggak tahu kalau Victoria Secret ngeluarin parfum juga.
"Ih, apanya yang ngaco?"
"Sini aja kalau enggak percaya."
Cewek berambut sepinggang di depanku merengut kesal sebelum menoleh ke arah dosen. Rengutannya seketika berubah menjadi senyum dalam satu kedipan mata. "Ah, masa sih, Pak. Coba saya liat lagi."
Aku mendesah lega.
***
"Tuh, kan. Ninggalin mulu kerjaannya." Sabrina si tukang nawarin pulpen dan kosannya masih mepet padaku ketika kami sudah berjalan meninggalkan kelas.
"Ngantuk gue. Mau nyari tempat buat numpang tidur dulu." Jawabku sambil menyeret kaki menuju perpustakaan yang sepi.
Jadwal kuliah yang nanggung membuat aku urung pulang ke kosan. Tadinya mau ijin absen dan lanjut tidur. Tapi, jatah ijinnya sudah habis. Malas kalau harus ngulang mata kuliah di semester depan hanya gara-gara absensi doang.
"Kosan gue deket lo dari kampus." Tuh, aku bilang apa. Dia memang paling rajin nawarin kosannya.
Aku menimbang tawarannya. Numpang tidur di kasur yang empuk sepertinya bukan ide buruk.
"Gue beneran tidur, ya."
Sabrina sumringah dan meraih lenganku dan bersiul pelan. "Untug gue pakai daleman baru."
Sontak aku melepaskan diri dari rangkulan. "Gue mau tidur. Bukan nidurin."
"Ish, jual mahal."
"Emang mahal." Aku memutar bola mata. Belum tahu saja tarifku semalam berapa.
Males lah. Enggak jadi numpang tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil's Game!
عاطفيةJemmy alias Jerry, seorang mahasiswa tingkat akhir yang juga berprosesi sebagai lelaki penghibur, harus bertemu dengan wanita bernama Arula yang menjungkir balikkan hidupnya. Perjuangannya untuk memenangkan hati sang pujaan hati harus terjegal konfl...