~Suatu saat kita akan tiba di titik menertawakan rasa yang dulu sakit, atau menangisi rasa yang dulu indah~
***
Ini adalah pagi terindah selama aku menjadi istri Mas Malik. Menikmati sarapan berdua meski dalam kebisuan. Namun, cukuplah membuat diri ini merasa benar-benar sebagai istri.
Ah, aku sampai lupa kalau pagi ini ada janji dengan pemilik toko roti yang kemarin butuh karyawan. Segera kuhabiskan sarapan, sebelum aku bicara dengan Mas Malik.
"Mas."
"Alma."
Bersamaan aku memanggilnya, dia pun menyebut namaku. Tatapan kami bertemu, hingga membuat diri semakin gugup. Duh, mengapa pula jantung ini mendadak berdetak dua kali lebih cepat..
"Katakan," ujarnya datar seperti sandal jepit yang biasa kupakai. Huft.
"Eum ... Alma mau minta tolong, boleh?"
"Apa?"
Apa berbicara denganku adalah hal yang tabu baginya? Tak adakah jawaban basa basi yang lebih panjang? Apa pernikahan ini mutlak kesalahanku, hingga kini ia bersikap seolah memusuhiku?
"Kemarin Alma sudah melamar pekerjaan di toko roti. Dan hari ini disuruh ke sana. Tapi, Alma ndak tahu jalan." Aku menunduk menunggu jawaban lelaki tercintaku.
"Lalu?"
Gusti, apa tidak ada kalimat yang lebih panjang? Atau pertanyaan lain yang membuatku bisa menarik napas lega?
"Ka--kalau Mas Malik ndak keberatan, Alma minta tolong untuk antar Alma ke sana," jawabku takut-takut.
"Sudah tahu gak tahu jalan, kenapa nekat cari kerja?"
Nyut ... seperti ada yang menusuk benda lunak bernama hati di dalam sana. Sakit, perih.
"Ya sudah, ndak apa-apa kalau Mas Malik ndak bisa nganter. Nanti biar Alma cari sendiri." Dengan menahan gumpalan sesak, aku bangkit lalu meraih piring dan gelas kotor untuk kubawa ke dapur.
Ya Rabb, sebegitu sakitnya mencintai dalam pengabaian. Sebegitu perihnya berharap dalam ketidak pedulian.
Aku benci rasa ini. Rasa yang selalu membuat air tanda kelemahan ini selalu saja mengalir dari mata tanpa kompromi.
Kuhela napas dalam-dalam, berharap sesak di dada ini sedikit terurai. Kemudian kususut bening yang membasahi pipi dengan punggung tangan. Detik selanjutnya aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap pergi. Sementara sosok lelaki itu tak tampak lagi di meja makan.
***
Kening ini berkerut melihat mobil Mas Malik masih terparkir di halaman. Apa dia tidak pergi ke kantor? Ah, apa peduliku. Saat ini aku hanya harus bergegas ke toko roti itu agar jangan sampai terlambat. Namun, hati meragu saat hendak melangkah keluar. Walau bagaimanapun statusku saat ini adalah istrinya. Jadi, aku perlu izin lelaki itu jika hendak keluar rumah.
Aku menghela napas sebelum akhirnya kaki ini mendekat ke kamar Mas Malik lalu mengetuk pintunya pelan.
Tak lama wajah tampan itu menyembul dari balik pintu yang tak terbuka sempurna.
"Alma pamit pergi dulu, Mas." Tanpa menunggu jawaban lelaki itu, aku pun berbalik dan melangkah cepat keluar rumah.
Kutekadkan hati, bahwa aku bisa mandiri. Hanya dengan berbekal ponsel dan nomor telepon aku akan mencari alamat itu. Toko roti Banana's Cake & Bakery namanya, terletak di jalan Supriyadi. Bismillah, semoga aku bisa tepat waktu ke tempat yang belum pernah aku datangi.
Hanya modal nekat, karena aku sama sekali tidak tahu harus ke mana. Kuikuti saja hati dan langkah kaki ini agar bisa keluar perumahan. Sesekali aku mengedarkan pandangan, berharap ada seseorang yang bisa aku tanyai. Namun, nihil.
Komplek elit ini begitu sepi, bahkan penjual keliling pun kabarnya dibatasi, tidak boleh masuk sembarangan, karena pihak pengembang melengkapinya dengan sistem keamanan 24 jam. Jadi, dijamin aman meski rumah- rumah di sini tanpa pagar.
Saat tengah dalam kebingungan, bunyi klakson disusul mobil yang berhenti di sampingku membuat diri ini tergemap.
"Mas Malik?" gumamku saat kaca mobil diturunkan.
"Masuk!" Bahkan dia tetap terlihat memesona meski sikapnya sangat menyebalkan.
Setengah meragu, aku pun membuka pintu mobil kemudian masuk dan duduk di kursi penumpang.
"Ke mana?"
"Hah?!" Aku yang tengah menata perasaan mendadak tergagap.
"Alamat yang kamu tuju."
Ya Rabb, tak bisakah dia bersikap baik sedikit saja? Tak bisakah bertanya dengan nada yang lebih lembut?
"Oh ... itu, jalan Supriyadi. Toko roti Banana's Cake & Bakery."
Perlahan Mas Malik kembali melajukan mobil. Pandangan lelaki itu lurus ke depan. Kalian tahu? Aku merasa seperti pergi dengan majikan. Lihatlah, betapa kontrasnya penampilan kami.
Dia yang tampil memukau dan penuh kharisma dengan kemeja warna abu-abu yang membalut tubuh, lalu sebuah jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangan. Benar-benar berkelas. Sementara aku, hanya memakai setelan rok dan blus sederhana dengan kerudung instan yang biasa pula.
Mungkin inilah alasan Mas Malik tak bisa menerimaku sebagai istri, selain karena dia juga sudah menemukan seorang wanita yang pantas untuk menambatkan hatinya.
"Tadi Mas Malik mau bicara apa sama Alma?" Aku mencoba memecah kebisuan, meski aku tahu ini akan sia-sia.
"Nanti saja di rumah."
Aku hanya mengangguk tipis lalu membuang pandangan ke samping jendela, tanpa berniat membuka obrolan lagi.
Dulu, aku mengagumi Mas Malik bahkan sampai jatuh cinta karena segala kebaikan juga sikap santunnya kepada siapa pun. Tak memandang kaya atau miskin, pun tak memandang fisik. Benar-benar pribadi yang menyenangkan. Kini, setelah semua kebaikan itu lesap, kenapa cinta ini tak juga ikut lenyap?
Setelah dua puluh menit melintasi jalanan, mobil pun akhirnya menepi. Kepalaku berputar mencari-cari toko roti yang menjadi tujuanku.
"Ini jalan Supriyadi, kamu bisa mencarinya sepanjang jalan ini. Aku harus ke kantor," ujarnya seolah tahu apa yang aku pikirkan.
"Oh ... ya, Mas. Terima kasih sudah mau mengantar." Lelaki itu itu menoleh sekilas dan mengangguk. Segera kubuka pintu mobil dan keluar. Namun, belum sempat kaki ini menjejak tanah, kembali ia bersuara. "Pulangnya kamu bisa pesen gojek atau taksi online."
"Nggih, Mas."
Detik kemudian mobil Mas Malik pun berderap meninggalkanku seorang diri.
***
Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya pekerjaan itu aku dapatkan.
Bu Rini, sang pemilik toko merasa puas dengan jawaban-jawabanku saat wawancara tadi. Besok aku bisa mulai bekerja.Senyumku mendadak hilang saat kaki hendak melangkah meninggalkan toko roti. Aku menepuk kening, ketika menyadari kalau aku tidak tahu alamat rumah Mas Malik. Lalu, bagaimana aku pulang, naik apa dan ke mana?
Sambil berpikir bagaimana caranya aku bisa kembali, kaki pun berjalan menyusuri jalan Supriyadi yang lumayan teduh dengan pohon-pohon trembesi yang ditanam sepanjang jalan. Kunikmati sepoi angin yang menyapu wajah, seraya mengedarkan pandangan ke segala arah.
Sudah hampir tengah hari, dan aku telah berjalan cukup jauh. Kuputuskan untuk duduk sejenak di sebuah bangku panjang yang ada di pinggir jalan sekadar melemaskan otot kaki.
"Apa aku harus telepon Mas Malik?" Kupandangi ponsel di tangan, lalu mulai mencari nomor kontak suamiku. Sebuah kontak yang kuberi nama "My Beloved" pun muncul. Namun, baru saja jari ini hendak menyentuh tombol panggil, telinga ini mendengar seseorang meneriakkan namaku.
"Alma!"
Aku menoleh ke sumber suara. Seketika kening ini berkerut sambil memicingkan mata. Dia ...?
***
Bersambung
Hai haaiii ... Alma kembali untuk menghibur kalian. Jika suka cerita ini, jangan lupa tinggalkan komen dan tap bintangnya yaa, terima kasih 🙏🙏

KAMU SEDANG MEMBACA
Terpasung Janji
RandomKarena sebuah janji aku harus terikat dalam sebuah pernikahan yang menyiksa.