2. Insiden di ...

82 17 7
                                    

Perempuan berambut pendek itu hanya dapat menghela napasnya saja, dia beranjak dari sana dan masuk ke ruangan UKS untuk mengobati luka di lututnya. Fanny menyeka air mata yang baru saja keluar. Hatinya hancur, dan sayang sekali dia masih mencintai orang itu. Orang yang sudah menyakitinya berkali-kali. Perkataan yang dilontarkan oleh Herry dan Kiana bahkan berputar di benaknya.

Mereka berdua benar.

Fanny tidak secantik yang dibayangkan, dia tidak begitu pintar juga.

Ceklek.

Itu Samuel. Teman Herry saat bermain basket tadi. "Soal tadi, gue minta maaf atas nama Herry karena udah ngomong kasar ke lo," katanya.

"Orangnya mana?" Samuel diam.

"Sam?"

"Nganterin Kiana pulang."

"Udah gue duga, lo ke sini bukan karena disuruh sama dia, kan? Karena gak mungkin Herry bakal kepikiran hal kayak begitu. Gue tau gimana tabiatnya, dan—"

"Putusin Herry," tukas Samuel.

"Iya, tapi bodohnya gue gak bisa. Udah terlanjur cinta."

"Herry itu masih anak-anak pemikirannya, dia masih belum sadar apa yang dia lakuin ke lo itu semua salah," ujar Samuel sambil membantu Fanny mengobati lukanya. Perempuan itu diam, andaikan Herry memiliki sikap yang sama seperti Samuel ... mungkin nasibnya akan berbeda dari sekarang? Who knows kan?

"Gapapa kalau lo mau nyerah, jangan sampai lo benci kata cinta cuman karena dia. Hubungan lo dan dia itu racun, Fan. Gue sebagai teman dekatnya udah susah buat bilangin dia. Kalau lo memang masih mau sama dia ... tarik ulur," saran Samuel.

"Gue gak ngerti."

"Gue bisa ban—"

Dering ponsel gadis itu mengalihkan perhatian mereka berdua. Nama Herry langsung terpajang jelas di layar ponselnya. "Halo?"

"Gue tunggu di rumah jam 5."

Tut.

"Sam, gue harus pulang sekarang. Kita ngobrol lagi di lain waktu, makasih ya udah bantu obatin! Bye!" Fanny langsung mengambil tasnya dan melenggang pergi dari UKS. Perempuan itu berlari cukup cepat untuk mengejar bus yang ada di depannya. Sial, bisa-bisanya ketinggalan bus.

"Ah udah lah! Lari aja!" gerutunya.

Dengan sedikit tertatih, Fanny berlari menuju ke rumahnya. Jaraknya memang cukup jauh. Namun, ia sudah tertinggal bus. Ponselnya sudah mati, padahal tadi sempat ditelepon sama Herry. Alhasil begini.

"Sama gue aja, kasian kaki lo."

"Eh? Lo belum balik?"

"Cepet naik," titah Samuel.

Fanny menurut. Dia langsung naik ke atas motor itu. Tuh kan, andai saja Herry berperilaku seperti Samuel. Namun, semua itu tidak akan terjadi. Toh dari dulu sikap Herry memang seperti itu. Fanny juga yakin kalau nanti Herry akan meminta maaf padanya dan bersikap manis sebentar untuk mendapatkan maafnya. Lalu, berbuat hal yang sama lagi keesokan harinya.

Begitu terus, dan Fanny tidak tahu kapan itu berakhir.

.

Sesuai janji, Herry sudah ada di depan rumahnya dengan setelan cukup rapi. Rumah Fanny ini sepi, orang tuanya masih di luar kota dan kakaknya kuliah di Jepang. Dia sendirian di Jakarta.

"Lama banget."

"Ayo."

Herry menyalakan motornya. Setelah naik ke atas motor itu, mereka melaju membelah jalanan kota. Di atas motor rasanya cukup canggung, apalagi Fanny masih mengingat apa yang dikatakan oleh Herry waktu di lapangan basket tadi. Ah, kalau mengingat hal itu dia jadi sedih.

"Lo tadi anterin Kiana balik?"

"Iya, kenapa?"

"Gue nungguin lo supaya ada yang nganter balik, tapi—"

"Lo sendiri dianterin pulang sama Samuel, kan? Masih bilang nungguin gue? Gatel banget jadi cewek." Fanny terdiam, dia menunduk dan menahan air matanya. Namun, sayang sekali malah susah buat ditahan. Alhasil ia menangis tanpa suara.

"Tapi lo anterin Kiana duluan. Kalau aja lo langsung anterin gue balik, gak akan gue numpang ke Samuel! Sebenarnya pacar lo itu gue atau Kiana?" seru Fanny. Namun, ucapannya tidak digubris oleh oknum yang bernama Herry. Pemuda tampan tersebut hanya melihatnya sekilas lewat kaca spion.

Motor yang ditumpangi oleh mereka berdua berhenti di tepi telaga kecil. Tempat pertama mereka kencan dulu, sekaligus tempat favorit keduanya. "Maaf," kata Herry.

"Perkataan gue tadi pasti udah nyakitin hati lo. Perbuatan gue juga udah nyakitin lo, kan? Gue minta maaf karena udah lakuin itu semua, dan soal Kiana. Dia punya urusan penting, dan gue harus bantu dia."

"Her, Kiana gak sebaik itu! Lo minta maaf, udah gue maafin. Tapi, tolong jangan sama Kiana! Gue pacar lo, dan seharusnya lo lebih—"

"Gak bisa."

"Kiana butuh gue, dan gue harus bantu dia."

"Gue juga butuh lo, Her. Tapi, lo gak pernah ada." Kedua mata Fanny berkaca-kaca. Herry diam, ia pun memegang kedua bahu kekasihnya dan menatap Fanny.

"Gue janji, gue gak bakal ulangin hal yang sama. Tapi, Kiana tadi butuh gue. Dia harus ke rumah sakit." Fanny diam.

"Jangan nangis lagi, gue minta maaf ya?"

"Kenapa sih? Apa bener kalau gue memang bukan prioritas lo sekarang?"

"Gue capek, selama beberapa minggu ini lo udah keterlaluan banget, Her."

"I know it, makanya gue mau berubah. Lo percaya sama gue, kan? Lo mau kasih gue kesempatan, kan?" Fanny mengangguk. Walau mau seburuk apapun sikap Herry ke dia, Fanny pasti memaafkannya selalu.

"Jangan sesekali minta putus ya, gue tau tadi lo mau bilang kata-kata keramat itu. Lo tau kalau gue cinta sama lo, kan?" bisik Herry.

"Iya."

"Good girl." Herry mengecup singkat keningnya.

.

Bang Samuel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bang Samuel.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CRAZY LOVE ; LEE HEESEUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang