Seperti Lilin yang Menyinari Sisi Gelap

1 0 0
                                    

"Aku sudah mati''

''Kamu belum mati''

''Aku sangat tidak baik.''

''Well, kamu memang gak baik tapi sekarang lagi berusaha buat lebih baik bukan''

''Aku jelek''

''Iya mandi sana, dandan''

''Aku lelah''

''Istirahatlah, jangan lupa bangun buat makan''

''Anda kok nyebelin sih?''

''Uhuh''

Netra hijau laki-laki itu menatap Anastasia acuh. Sedangkan Anastasia mengeraskan ekspresinya. Menggenggam buku-buku jarinya.

"Kenapa anda gak pergi?''

''Karena kamu sedang terluka, dan aku ingin mengobatimu. Ngomong-ngomong namaku Edward.''

Tidak ada yang mengalah, baik Anastasia maupun Edward. Keduanya bersikukuh terhadap siapa yang harus pergi atau tinggal.

"Oke, kalau begitu aku yang akan keluar.''

Anastasia melangkah keluar dari kamar berbau obat. Menghirup udara lain yang lebih segar dan menghindari laki-laki bernama Edward. Akan tetapi, pria yang hendak dihindarinya justru mengikutinya pergi. Melangkah kemanapun ia pergi.

Hingga akhirnya mereka berdua berdiri di atas atap. Menatap seprai dan kain-kain yang diterpa angin. Langit biru pun juga menjadi saksi kedua orang yang saling menatap dengan tatapan berbeda.

"Kenapa anda gak pergi?'' Teriak Anastasia.

''Karena aku tahu, kamu gak ingin aku pergi.''

_×××_

Seperti Lilin yang Menyinari Sisi Gelap

_×××_

''Percaya diri sekali''

''Tentu saja tidak, ...." Edward berjalan mendekat, " ...., aku hanya punya prinsip dan aku mempercayainya.''

Anastasia mendengus, " Jangan terlalu memaksakan prinsip, anda akan sakit nanti.''

Gadis itu menatap tangannya yang terbalut perban. Luka pasti menutup, tetapi setiap rasa perih akan membekas. Meskipun obat meredakan rasa nyeri, penderitaan pasti tidak hilang.

"Kalau begitu aku hanya perlu orang lain untuk mengarahkanku, agar aku tidak tersesat gara-gara prinsipku sendiri,'' tangannya terulur, ''mau jalan-jalan?''

Anastasia menatap tangan Edward, kemudian beralih menatap wajahnya. Wajah datar itu seakan tidak peduli, tetapi tatapan matanya menjelaskan bahwa dia serius ingin mengajak jalan-jalan.

Gadis berambut ikal itu segera meraih tangan Edward. Mengikuti setiap langkah yang diarahkan. Entah itu tempat terapi, kantin rumah sakit, atap rumah sakit, hingga taman.

Hingga lambat laun gadis tersebut merasa kesehatannya mulai membaik. Berbicara dengan orang, melihat bunga, melukis pun bisa dilakukan. Bahkan lukisannya tidak membuatnya mual.

Para perawat membicarakan kesehatan Anastasia yang mulai membaik. Walaupun lambat namun pasti. Seakan-akan sebuah keajaiban telah terjadi pada salah satu pasien mereka.

Di lain tempat Anastasia sedang menikmati taman. Bunga-bunga terlihat segar dan tidak menakutkan. Tidak seperti manusia yang memiliki banyak sisi.

"Bolehkah aku berada disini untuk selamanya?''

''Kamu memang mau apa?''

''Makan, minum, dan melukis tanpa perlu takut dengan omongan orang.''

''Orangtuamu datang lagi?''

Anastasia mengangguk, ''Aku gak menyalahkan orangtuaku kok, mereka gak salah. Aku yang..."

Ctak, sebuah sentilan mengenai kepala Anastasia. Gadis itu mengaduh sambil memegang kepalanya. Menatap tajam terhadap pelaku yang hanya mengangkat sebelah alisnya.

''Apa yang dikatakan orangtuamu?''

''Kata mereka aku harus sekolah, lalu kembali ke pameran,'' Netra Anastasia menatap Edward, "katanya ingat usaha mereka karena aku sudah di posisi ini.''

Edward mengeluarkan sebuah permen dan menawarkan ke Anastasia, "Jadi karena itu gejalamu kembali?''

Sambil membuka bungkus permen ia mengangguk. Edward menghela napas. Tatapannya nampak menerawang ke suatu tempat. Kemudian berbalik lagi menatap Anastasia.

"Jadilah seperti lilin.''

Anastasia menatap heran wajah laki-laki yang tidak biasanya tersenyum, bahkan senyum terpaksa.

''Lilin hanya memiliki tubuhnya sendiri. Mencair sendiri dan hanya menjadi penerang untuk dirinya sendiri. Dia hanya berusaha untuk bermanfaat untuk orang yang memegangnya, tetapi tidak lupa untuk bermanfaat untuk dirinya sendiri. Menerangi sisi yang menurutnya gelap dan tidak mempedulikan sisi yang lain. Jadilah seperti itu, jika berhasil kamu akan menemukan sesuatu yang hilang.''

Anastasia membulatkan matanya dan kemudian tersenyum, ''Terima kasih."

Tidak lama kemudian, dia hampir tersedak oleh permennya sendiri.

''Hati-hati!''

Setelah perkataan di hari itu Edward tidak pernah terlihat di hadapan Anastasia. Serta hal memalukan karena gadis itu hampir tersedak oleh permen yang dimakannya sendiri. Laki-laki bermata hijau itu hilang bagai ditelan bumi.

Bahkan perawat pun tidak mengenal pria yang dimaksud oleh Anastasia. Meskipun dia telah menyebutkan ciri-ciri Edward. Akan tetapi gadis itu mengingat hal yang dikatakan oleh Edward, selain hidup seperti lilin. Yakni untuk menghubungi seseorang bernama Cakra Danuarta apabila dia tidak bisa bertahan.

Anastasia menatap potongan kertas berisi nomor telepon rumah sakit tempat Cakra bekerja. Konyol memang, tetapi gadis itu percaya pada Edward. Walaupun pria itu mungkin ilusi atau hantu, namun pengaruhnya nyata. Netranya menatap cahaya mentari di langit.

***

''Selamat, kamu akan dapat pasien Cakra.'' Ejek Edward.

''What are you doing, Sir?'' Cakra menatap marah pada laki-laki bermata hijau itu, ''Lu udah dateng kek setan, bawa pasien pula. Tempat gue bukan penampungan anak terlantar, right!''

''Tenang, dia gadis manis kok, kan lumayan juga duitnya.''

Cakra mengacak-acak rambutnya, ''Bukan masalah duitnya bego! Tapi gua juga butuh istirahat bukan kasih konsultasi mulu, anjir. Represing you know?''

''Ya alihkan saja ke konsultan lain, beres.'' Ujar Edward.

"Ribet, kau...," suara ketukan menghentikan cecaran Cakra, ''.... sial, dia hilang lagi.''

Langkah kaki berjalan menyusuri lorong-lorong. Netra hijaunya menatap jam genggamnya. Angka di jam genggam menunjukkan angka "0". Sudah waktunya.

"Wah, kau juga sudah selesai. Kau akan minta apa? Aneh iya? Kita harus menggiring 1000 orang supaya permintaan bisa terkabul.''

''Diam dan lihat saja.''

''Oke!''

- Fin

Simple thing to find your happinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang